Ketika hujan tak lagi datang, Mel. Terik ini laksana amarahmu. Ia membakar kenakalanku, lalu q seperti pelepah yang lalu tertunduk atas percikan katamu mematahkan siuran di antara kancah angin membawaku hingga larut malam. Aku bahagia. Tak ada jengah ataupun lelah sebab kutahu bahwa penjagaan embun demi tegak inilah inginmu.
Kau yang masih teramat jauh untuk kujangkau. Sementara hanya kepedulian saat ini yang mampu kauberi. Selagi tiada waktu bagimu mendampingiku, masih saja kauperhatikan tiap batas di mana saat kusudahi petualangan aksaraku menjelajah alam semu. Dan dari seberang, di kisiterali jarak kau berteriak.
Ah. Aku bosan sebenarnya, Mel! Seakan di manapun terasa hampa tanpa kau datang mengantar untai celoteh. Aku rindu, teramat rindu padamu. Apakah kaudengar irama dari sekian degup engkau kusebut?
Segerakanlah waktu kembali. Kita akan bersama lagi dalam lingkar kalimat terajut dari manik-manik kebersamaan lagi.
Datanglah, Mel. Kabarkan untukku kapan kaupulang.