Beberapa waktu lalu, seorang kawan memamerkan puisi-puisi buatan AI (Artificial Intelligence) alias kecerdasan buatan. Saya sudah tahu hal ini beberapa tahun lalu, tepatnya pada 2019, dalam sebuah seminar, tapi belum sempat mencobanya. Nah, baru sekarang benar-benar mencobanya.
Saya menggunakan aplikasi openai.com. Cara kerjanya sederhana, setelah bikin akun dan verifikasi email, lalu buka chat bot di: chat.openai.com. Lalu buatlah perintah di kolom chat apa yang kita mau. Bisa kita minta bikin surat cinta, narasi iklan, khutbah Jumat, pidato politik, dan sebagainya. Sebutkan pula kata kunci yang kita inginkan agar lebih spesifik.
Untuk membuat puisi, saya membuat perintah seperti ini: buatkan saya lima puisi dengan kata kunci panci, venus, mars, uvo, dan penggorengan. Setelah menerima perintah itu di kolom chat, robot langsung menuliskan puisi sesuai kata kunci tersebut. Berikut hasilnya:
Pencinta Panci
Panci di atas kompor berdentang-dentang
Aku terpesona oleh senyumnya
Ketika dia menyebarkan bau aroma ke seluruh dapur
Aku jatuh cinta pada panci, oh panci tercinta
Debu Venus
Debu Venus terbang tinggi di angkasa
Menghiasi langit malam yang cerah
Di sana, di Mars, ada penggorengan yang menyala
Mengeluarkan suara menggoda, dan memanggil-manggilku
Panggilan Mars
Mars memanggilku dengan suaranya yang merdu
Kau bisa mendengar suara penggorengan, begitu menggoda
Aku berlari ke sana, ke tempat di mana Venus bersinar
Aku menarik panci dari rak, dan mulai memasak dengan cinta
Uvo yang Menakjubkan
Uvo adalah sesuatu yang menakjubkan
Seperti panci yang menghidangkan hidangan yang enak
Tapi ada keindahan yang lebih dalam bentuk planet
Venus dan Mars di langit, seperti panggilan dari surga
Penggorengan Cinta
Penggorengan di atas kompor sedang memasak
Aku bisa merasakan cinta yang menyala-nyala
Seperti planet Venus yang menyala di langit malam
Dan Mars yang menyala terang di cakrawala
Persis lima puisi seperti yang saya minta. Tidak kurang dan tidak lebih. Hasilnya, silakan lihat sendiri. Itu murni karya robot, tidak saya apa-apain. Tentu saja, karena ini "barang baru", hasilnya pun masih seperti itu. Tapi penyair bisa mengeditnya sesuai kebutuhan sekaligus memberi roh pada puisi itu. "Tapi lambat laun hasilnya akan lebih bagus," kata penyair Jamal D. Rahman dalam sebuah kesempatan ketika kami membincangkan ihwal puisi karya robot itu.
Kecerdasan buatan ini bekerja berdasarkan database alias data yang tersimpan di "otaknya". Ia mengolah data itu menjadi karya seperti permintaan kita. Makin lama dan makin banyak ia bekerja, tentu saja data yang ia simpan dan olah akan makin banyak, sehingga ia makin bagus memenuhi permintaan manusia. Dengan kata lain, teknologi akan terus berkembang dan memperbaharui kemampuan dan kapasitasnya.
Sejauh ini, robot itu sudah berhasil memenuhi permintaan sederhana, ya puisi sederhana. Bahkan, ia bisa membedakan jenis-jenis puisi. Sabtu malam lalu, 24 Februari, bersama Jamal, Agus R Sarjono, dan Mahwi Air Tawar, kami menguji dengan meminta robot pintar iut membuat puisi haiku, dan ia bisa melakukannya dengan baik. Begitu pula ketika meminta puisi berbentuk pantun, ia pun bisa memenuhinya, meskipun ada beberapa rima yang tak sesuai.
Hal itu makin membuat penasaran Agus Sarjono, Jamal, Mahwi, dan kawan-kawan lain saat kami ketemu di Adakopi, warung kopi yang dijuragani Mahwi, sehabis peluncuran buku puisi penyair Mahtuhah Jakfar. Kami lalu meminta "manusia tak bernyawa" itu membuat narasi iklan Adakopi. Ia pun melakukannya dengan baik dan tentu saja dengan kecepatan yang melebihi kemampuan manusia menulis.
Bahkan, yang lebih menakjubkan ketika kami meminta sang robot membuat khutbah Jumat dengan memberi tema "maulid Nabi". Ia bisa menulis khutbah itu dengan sangat baik, lengkap dengan pengantar, ayat-ayat, dan kesimpulan. "Bahasanya bagus sekali," ujar Jamal. Tentu saja ini bisa menjadi ancaman bagi kerja-kerja manusia, termasuk kerja kreatif dan seniman. AI bisa mengerjakan sesuatu dengan sangat cepat.
Nah, bagi yang suka membuat puisi pesanan, narasi iklan, pidato, khutbah, dan sebagainya tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda menyelesaikan permintaan klien. Tinggal minta bantuan robot pintar, edit seperlunya, dan tinggal kirim. Tidak perlu cari ilham, menunggu mood, dan banyak mikir. Semua bisa dilakukan dalam hitungan detik. Sebuah puisi yang lumayan panjang bisa selesai sekitar 30 detik. Khutbah Jumat bisa diselesaikan kurang dari satu menit.
Lalu masih perlukah penyair? Tentu saja penting. Sejauh ini puisi yang dihasilkan oleh AI hanya "deretan kata tanpa roh". Nah, tugas penyair adalah memberi roh itu dengan mengedit, mengganti diksi, simbol, dan seterusnya. Tentu saja ini akan kontroversial. Apalagi bila semangat kreatif penulis mengendor dan lebih cenderung meminta bantu "komputer" untuk mengerjakannya. Tapi saya yakin penulis serius akan tetap berkarya tanpa perlu bantuan AI.
Tapi lagi-lagi ini pilihan. Yang pasti perkembangan teknologi tidak akan pernah bisa kita hentikan. Berpulang pada kita meresponnya. Penasaran? Silakan coba sendiri.
MUSTAFA ISMAIL,
penulis bayaran dan tukang cilok digital,
pemangku akun Twitter & IG @moesismail.