Tetiba, secangkir kopi terasa pahit, saat kutemui matahari Sulaiman mengembun pada sisa kehangatan kita
di atas jamuan meja Jati, sebelum senja.
Matamu ; rumah bagi sajak-sajak merdu Ismail, tatapannya kerap menidurkan kegelisahan, menyempurna makna terang. Tetapi, langit 'tlah menulis namamu, menanam jasadmu di balik tanah, menghadiahi ingatanku dalam hujan yang wajah.
Bilakah kita?
Seperti embusan hangat angin musim semi ; menasbih kedamaian bagi bukit, ladang, dedaun, dan kupu-kupu. Tetapi tidak dengan laut. Sebab, debur ombaknya tak jua membawa kabar rindu yang tersesat di pulau perempuan puisi, begitupun kau.
Ada warna yang berbeda di segelas kopi ini, puan. Mungkin abu-abu, tetapi pekat. Bahkan jika kata-kataku menyentuh, menyesapnya sedikit saja, kau berpikir tidak ada rasa manis dari suatu kesakitan, sepenggal perpisahan, dan selebihnya kau akan sangat tahu.
Sebelum senja dinyatakan langit, aku harap namamu adalah jingga matahari, agar lebam biru dalam dada ini beranjak redup, dan cukuplah sajak-sajak merdu Ismail tak lelah dibaca, tak samar diterka sampai penghujung usia.