A Prostitute in a Little Mosque

in #prostitute7 years ago (edited)

Mata saja.jpg

Bilingual short story by Ahmadun Yosi Herfanda
(Part Two)

“Enough already. Don’t ask questions that do not make sense. I am just a dumb nobody. I only became an imam because this place used to be empty. No one was taking care of it, no one was leading it. I only know that prostitution, stealing, whore, immoral, drinking, gambling, corruption, conning, and the other acts like it are bad. Forbidden by religion. I could only hope that all of you could become decent people someday. Tugiyem stop being a prostitute, Bruno stop stealing, and Barjo stop being a scavenger. Find a better job. Who knows, while you are looking for things to pick, you are also scavenging other’s clothes,” said Pak Somad in the mosque’s porch while they were chatting after the Magrib prayers.

“Don’t be like that Pak Somad, I could swear only life that I only take things that are thrown away!” said Barjo, trying to defend himself from the reprimand of the imam. All of the sudden, he stood up and whispered to all of them.
“Please don’t report that I’m here!” he said as he ran inside the mosque and hid behind the altar.

They were all shocked, but they were quick to realize. Under the scarcely lit road lights leading to Gajah Wong River, two police man were seen walking down the steep steps towards the old mosque. Realizing who was coming, Bruno ran behind the altar as well. Tugiyem was also rushing to hid, but Pak Somad caught her hand.

“Relax, they wouldn’t arrest you here,” plead Pak Somad.
As the two police man approached, they greeted Pak Somad.
“Assalamu alaikum!” said one of the police officers.
“Wa’alaikum salam,” replied both Tugiyem and Pak Somad.

Then the police officers gave extended their arms and they shook hands.
“Excuse me, Sir, could we please pray here?”
“Oh, help yourselves, we were just done with the Magrib prayers, there is the wudu place,” said Pak Somad while directing the police officers to a place that they could wash theirselves in.

The two police officers took of their shoes and did their wudu near the bucket on the left side of the mosque. Then they prayed inside with a loud and distinct voices, with one becoming the makmum while the other acted as the imam, with a fairly loud and eloquent reading.

"They are good and righteous policemen. May the pious also his conduct while performing the duty, "said Pak Somad, with a relieved face, gratitude.
(Continued)

SEORANG PELACUR DI MASJID KECIL
Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda
(Bagia Dua)

“Sudahlah. Jangan bertanya yang aneh-aneh. Saya ini orang bodoh. Hanya kebetulan saja jadi imam di sini, karena dulu sebelum ada saya, masjid ini kosong. Tidak ada yang mengurus, tidak ada yang mengimami. Saya ini cuma tahu bahwa melacur, mencuri, madon, minum, main, korupsi, menipu dan sebangsanya itu tidak baik. Dilarang agama. Saya cuma bisa berharap, kamu semua suatu saat bisa menjadi orang-orang yang benar-benar baik. Tugiyem berhenti melacur, Bruno berhenti mencopet, dan kamu Barjo, juga berhenti jadi pemulung. Cari kerja yang lebih baiklah. Saya dengar, selaim mencari barang-barang bekas, kamu juga nyambi memulungi jemuran orang,” kata Pak Somad di serambi masjid itu ketika mereka ngobrol-ngobrol sehabis sembahyang Maghrib.

“Jangan begitu, Pak Somad. Berani jamin, saya ini pemulung yang bersih, Pak! Pemulung yang tahu jalan lurus, siratal mustaqim,” Barjo langsung menangkis sindiran imamnya.

Sehabis berkata begitu, tiba-tiba ekspresi wajah Barjo berubah. Ia seperti mencium tanda-tanda bahaya. Ia berdiri dan berkata setengah berbisik pada mereka, “Tolong, jangan katakan kalau aku ada di sini!” Lalu ia berlari ke dalam masjid dan bersembunyi di balik mimbar.

Mereka kaget, tetapi segera tersadar. Dalam keremangan cahaya lampu jalan yang sampai ke ledok Kali Gajahwong, tampak dua orang polisi sedang berjalan menuruni jalan setapak yang terjal menuju masjid tua itu. Menyadari siapa yang datang, Bruno ikut-ikutan kabur dan bersembunyi di balik mimbar masjid yang terbuat dari kayu lapis. Tugiyem juga mau ikut-ikutan kabur. Namun, Pak Somad cepat-cepat menangkap tangannya.
“Tenanglah. Mereka tidak bakal menangkapmu,” bujuk Pak Somad.

Kedua polisi itu benar-benar menuju masjid, dan mendekati mereka. Wajah Tugiyem tampak pucat, khawatir kalau kena razia, dan diseret ke mobil patroli secara kasar untuk dimasukkan penjara. Ia trauma betul, bagaimana dua oknum polisi yang merazianya memperkosanya di atas mobil patroli, sebelum menghempaskannya ke balik terali besi. Tubuhnya bergidik mengingat itu. Tapi, Pak Somad mencoba menenangkannya, “Tenanglah, saya akan melindungimu.”

“Assalamu ‘alaikum!” salah seorang polisi mengucapkan salam.
“Wa ’alaikum salam,” jawab Pak Somad.

Tugiyem hanya diam mengamati wajah kedua polisi itu sambil agak bersembunyi agak di belakang punggung lelaki tua tersebut. Ia mencoba mengenali, jangan-jangan merekalah yang memperkosanya, ketika baru tiga bulan ia menjajakan diri di ujung Stasiun Tugu. Tapi itu terjadi tiga tahun lalu, ketika wajahnya masih cantik, ranum dan lugu. Kini alisnya sudah dicukur dan bibirnya penuh bekas gincu.

Kedua polisi itu mengulurkan tangan. Pak Somad menyambutnya. Mereka berjabat tangan, dalam keramahan dan kehangatan. Dengan takut-takut, Tugiyem ikut mengulurkan tangan, menjabat tangan-tangan kekar kedua polisi tersebut.

“Maaf, Pak, kami mau numpang shalat.”
“Oh, silakan, silakan. Kami baru saja selesai berjamaah Maghrib,” kata Pak Somad. “Itu tempat wudunya.”

Kedua polisi itu segera melepas sepatu dan berwudu di pancuran air kali yang terletak di samping kiri masjid. Mereka kemudian sembahyang berjamaah di dalam masjid. Seorang polisi menjadi makmum, seorang lagi menjadi imam, dengan bacaan yang cukup keras dan fasih.

“Mereka polisi yang baik dan saleh. Semoga saleh pula kelakuannya saat menjalankan tugas,” kata Pak Somad, dengan wajah lega, penus rasa syukur.
(Bersambung)

https://steemit.com/prostitute/@ahmadunyh/a-prostitute-in-a-little-mosque

Sort:  

Sedikit saran nih, Pak. Tautan yang pertamanya juga bisa dicantumkan, jadi lebih mudah untuk mencarinya hehehe...

Saran diterima. Segera saya laksanakan. Tks.

Cerita ini begitu dekat dengan kenyataan hidup orang-orang kecil. Tapi selalu disampaikan dengan lembut dan menggetarkan. Ditunggu sambungannya Pak @ahmadunyh.

Terima kasih, Pilo. Masih bersambung. He he he....

Semoga sambungannya makin asyik ya, Pilo, agar tetap dibaca dan dapet vote dari kawan2. Salam

Menarik sekali jadi bacaan pagi. Mengalr..

Terima kasih, Rayful. Ayo rame-rame nulis cerpen di steemit. Suatu saat bisa kita bukukan jadi kumpulan cerpen para steemian. Asyik kayaknya....

Penerbitan buku kumpulan cerita dari steemit mungkin dapat kita rancang bersama mulai sekarang....

Masih bersambung ternyata. Heheee.....

Ya, bersambung lagi.... kayak kereta api....

Somad oh somad

He he he .... di mana somad ya...

hmmmmm menarik

Tks. Semoga kelanjutannya ntar malam makin menarik...

Ada kenyataan pahit di kalimat terakhir part #2 ini ya, Pak @ahmadunyh

Ya ya, Divin. Begitulah kenyataan hidup. Ada manis ada pahit

Hidup itu selalu berjalan dalam keberimbangan dan berpasangan, seperti fenomena alam. Ada siang ada malam ada manis ada pahit.... dst. Dalam berkarya juga begitu, siapa bekerja keras skan mendapat hasil yg lebih baik dari pada yg malas-malasan. Saya kira begitu juga dalam bersteemit ini....

ditunggu sambungannya Pak @ahmadunyh

Siap. Insya Allah nanti malam ya

ditunggu sambungannya

Siap. Nanti malam yah...

nice story and maked to be learning about this life :)

Tks, Batue. Really, I wrote the short story base on reality story....

Agak aneh ya ada Barjo dan Somad ngobrol dalam bahasa Inggris. Hihihi