Ritual Ngopi dan Budaya Kreatif | The Rituals of Drinking of Coffee and Creative Culture in Aceh |

in #realityhubs5 years ago

Ngopi_01.jpg


Oleh Ayi Jufridar
Setiap generasi memiliki tantangan budaya sendiri untuk tetap mengakar pada budaya leluhur atau malah ikut tergerus budaya luar yang menggempur dari berbagai sisi teknologi. Pilihannya bukan semata menolak dan menerima, terkadang generasi itu sendiri memilih tanpa kesadaran sebab perubahan budaya bukanlah bom atom yang menelan korban dalam sekali hantam. Riak muncul lebih kepada even tertentu yang dinilai berbenturan dengan keyakinan dan budaya yang ada. Selebihnya berlangsung senyap dalam durasi panjang, nyaris tanpa disadari.

Gempuran teknologi

Kemajuan teknologi informatika memberi ruang seluasnya bagi masuknya budaya asing. Prosesnya bisa dibilang seperti kisah katak dalam rebusan air. Mulanya ia nyaman berada di dalam air sejuk yang perlahan berubah hangat. Ketika air berubah panas dan lalu membara, semuanya sudah terlambat untuk melompat. Sang katak tewas mengenaskan dalam air mendidih. Lebih kurang begitulah budaya bekerja di tengah masyarakat.

Teknologi informatika bekerja lebih cepat dibandingkan dengan migrasi manusia yang terbatas di wilayah perkotaan. Penetrasi budaya melalui teknologi memberikan perubahan perilaku yang nyaris alamiah (natural change). Masyarakat kita tidak memiliki agenda untuk mengendalikan dan merencanakan perubahan (planned change) ke arah yang lebih baik. Agama yang sering disebut sebagai benteng kuat menahan gempuran budaya buruk, hanya dijadikan sebagai ritual ibadah semata. Nilai-nilai luhur agama belum dijadikan acuan dalam semua lini kehidupan. Akhirnya, masyarakat cenderung menyumpah perubahan budaya yang sejatinya tak bisa ditolak.

Itulah yang terjadi di tengah masyarakat Aceh saat ini. Kritik Rektor UIN Ar Raniry, Prof Farid Wajdi Ibrahim MA, yang menyebutkan 80 persen generasi muda Aceh suka menghabiskan waktu dengan duduk di warung kopi (warkop), merupakan bentuk kekhawatiran akademisi sekaligus orang tua terhadap perubahan perilaku generasi muda Aceh (Serambi, 22/3/2018). Kekhawatiran ini sudah disuarakan bahkan jauh sebelum booming kafe yang kini melanda Aceh. Dengan komparasi yang terdengar seram, Farid Wajdi menyebutkan budaya nongkrong di warung kopi siang dan malam merupakan bencana yang lebih besar dari bom atom.

Dampak dari bencana itu memang tidak langsung terlihat seperti bom atom yang menelan korban kasat mata. Bencana budaya ngopi merupakan perubahan perlahan yang akan terlihat dampaknya sepuluh sampai lima puluh tahun kemudian. Aceh tidak bisa menikmati bonus demografi karena karena generasi yang hidup di masa mendatang sebagian besar merupakan generasi tidak berketerampilan, generasi yang kalah saing dengan generasi dari daerah lain, apalagi negara lain yang lebih dulu melesat. Dunia bergerak cepat, maka siapa pun yang lambat akhirnya tiada.

Apa sesungguhnya yang mendorong perubahan budaya di kalangan generasi muda Aceh? Menjamurnya kafe dengan desain menawan dan pilihan minuman kopi dan non-kopi yang kian beragam rasa, merupakan sebuah tuntutan yang menurut pemikiran Wilbert Moore (2008) bukanlah sebuah gejala masyarakat modern—melainkan sebuah hal universal dalam pengalaman manusia. Sebenarnya ini juga terjadi di luar Aceh bahkan di belahan bumi mana pun. Kafe-kafe tumbuh dan mati, orang-orang datang dan pergi.

Konsep warung kopi yang kumuh dengan pelayanan seadanya kini mulai terpinggirkan. Pemilik kafe kini mau mengeluarkan ratusan juta rupiah “hanya” untuk interior demi menyedot perhatian pengunjung dan betah di dalamnya. Kenyamanan suasana, cita rasa, ditambah jaringan internet membuat pengunjung bisa berselancar dengan nyaman dan cepat.

Nongkrong produktif

Entah disinggung atau tidak oleh Prof Farid, kafe sekarang bukan sekadar tempat nongkrong, menikmati kopi, dan lalu pulang. Sejauh memiliki jaringan wi-fi, kafe sekarang menjelma perkantoran, tempat generasi muda dengan sejumlah profesi bekerja di jam produktif—bahkan terkadang sampai dinihari—bersaing dalam jagat maya. Bisnis dan perdagangan di dunia maya juga merambah Aceh.

Bahkan para mahasiswa yang mengelola blog juga mendapatkan keuntungan dari Google adsense dengan kafe sebagai kantor. Beberapa penulis, menjadikan kafe sebagai tempat menulis berita, cerpen, dan novel. Segelas sanger Rp6.000 menghasilkan sebuah tulisan yang nilainya lebih dari sepuluh kali lipat.

Meski harus diakui, kehidupan sosial di Aceh belum mendukung karier tertentu di warung kopi. Konsentrasi sering diinterupsi. Kita adalah masyarakat sosial yang saling bertegur sapa—kadang terjadi ketika diri di puncak konsentrasi. Ini berbeda dengan kehidupan kafe di kota besar yang memberikan banyak pilihan untuk bekerja di tempat yang nyaris tidak dikenal siapa pun. Keberadaan di kafe siang malam, harus dijadikan sumber kreatif dan produktif.

Sejauh ini belum diteliti, berapa banyak perputaran uang dari pertumbuhan kafe yang menjamur. Bukan saja dari gelas-gelas kopi atau sanger yang terisi lalu kosong, ada perputaran bisnis ikutan yang panjang, mulai dari petani kopi, distributor, peracik, sampai penikmat di kafe. Kafe memang bukan sekadar tempat poh beurakah, ngalor-ngidul yang tak jelas juntrungnya, tetapi bisa menjadi tempat produktif bagi generasi kreatif. Sayangnya, hanya sebagian kecil generasi muda Aceh berada dalam irisan ini. []

Ayi Jufridar, penulis dan jurnalis. Peminat masalah budaya urban.


d621ec2f-976d-4712-9a3b-7d40da14bc8b.JPG


Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Perubahan memang harus disikapi dengan arif. Jika saat nongkrong bukan hanya seadar senda guaru atau temu kangen, tapi jadi bagian dari peningkatan produkstvitas, maka sudah sepatutnya ada dorongan positif. Namun, perlu dingat pula bahwa pengaruh buruk yang ada akibat nongkrong yang sangat mungkin timbul. Semua harus melakukan dengan penuh kesadaran bahwa apa yang dilakukan semata-mata mencari jaalan bagi menemukannya pintus solusi dalam era yang terasa berat ini./
muda mudi kreatif, prduktif dan disertai kecakapan dalam teknologi tentu harus jadi syarat mutlak yang juga harus diimbangi dengan kepekaan sosial dan tidak lupa akr budaya sendiri.
Salam dari Klaten bang @ayijufridar

Barangkali berbeda dengan ngopi zaman dulu yang hanya bagian dari kegiatan sosial, meski ada juga perbincangan bisnisnya. Sekaran berbisnis dan bekerja di kafe atau warung kopi sudah membudaya di berbagai daerah di Indonesia.

bahkan bukan hanya kafe. Bisa jadi perbincangan ringan yang berhasil menarik nilai ekonomi atau lainnya bisa hadir dari sepeminuman teh dan sebungkus nasi hik di angkringan. Memang saat ini kafe jadi lebih terlihat wah..

Bie ie u muda le bacut 😁

Kapan nich bisa kopdar dengan para penulis hebat?

Kopdar bisa kapan saja. Kami sering menulis dan membuat postingan di warung kopi. Tapi, belum hebat, kok.

Hehe saya dm melalui discord, mungkin bisa chat/dikusi private.
Masalah menulis saya harus banyak belajar kepada Pak Ayi :D

Jarang buka Dircord @khanza.aulia. Saya kirim nomor WA, ya di dircord.

Oke bang, ditunggu no nya. khanza.aulia#1710

link.Congratulations, your post has been selected by the @tys-project curator to get UPVOTE. Continue to share your content using the #actnearn tag. We are here to support great content creators on the ActnEarn platform. Learn more about @tys-project at this

PicsArt_07-17-03.16.05.png
If you are interested in supporting us, please delegate Steem Power through this link 25, 50, 100, 250, 500, 1,000, 2,500, 5,000, 10,000.

Thanks so much.