Lomba pacuan kuda tradisional di dataran tinggi Gayo, Provinsi Aceh biasanya digelar setahun sekali pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia.
Ada tiga daerah yang rutin menggelarnya, yakni Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Tengah, dan Kabupaten Gayo Lues. Tapi biasanya pesertanya ditambah dari Kabupaten Aceh Tenggara. Mereka saling mengundang ketika menggelar even pacuan kuda tradisional.
Para pemilik kuda dari empat daerah di kawasan tengah provinsi Aceh tersebut selalu mengirim kuda-kuda pilihan untuk berlomba di landasan pacu. Ada yang membawa joki sendiri, ada juga yang hanya membawa kuda saja, yang kemudian mengikuti lomba dengan joki yang sidah disediakan panitia. Menariknya para joki tersebut kebanyakan masih anak-anak.
Karena ramainya peserta dan antusiasme penonton yang membludak setiap gelaran pacuan kuda tradisional, Pemerintah Kabupaten Gayo Lues melakukan uji coba menggelar pacuan kuda setahun dua kali, selain pada momentum HUT RI juga pada event HUT daerah dengan julukan negeri seribu bukit tersebut.
Para joki cilik di garis start lintasan pacuan kuda foto
Uji coba gelaran dua kali setahun dilakukan pada 14 dan 15 Maret 2020 kemarin di Stadion Buntul Nege, Kabupaten Gayo Lues. Peserta hanya hanya dari dua kabupaten saja, yakni Gayo Lues sebagai tuan rumah, dan beberapa ekor kuda lokal dari kaupaten tetangga mereka, Aceh Tenggara.
Meski hanya gelaran uji coba, event pacuan kuda ini diikutimoleh 89 ekor kuda. 80 ekor diantaranya berasal dari Gayo Lues, sisanya sembilan ekor dari Kabupaten Aceh Tenggara, hadiah yang disediakan juga lumanya, yakni Rp 352 juta untuk 12 kelas yang diperlombakan.
Pada saat gelaran pertama digelar, Sabtu, 14 Maret 2020, enak kuda digiring ke garis stars, di atasnya duduk para joki cilik yang sudah berpengalaman menunggang kuda pada beberapa lomba pacuan kuda sebelumnya.
Enak kuda ini akan memulia lomba, para penonton yang memadati tribun stadion mulai girang memberi semangat untuk kuda dan joki jagoan masing-masing. Begitu panitia memberi aba-aba, kuda-kuda itu dipacu dengan sangat kencang. Keenam joki cilik menepuk punggung kuda dengan penuh semangat, kadang-kadang saling mendahului di lintasan. Para penonton bertambah riuh ketika enam kuda itu saling mendahului, suara derap kaki kuda terdengar ketika melewati depan tribun, para penonton saling bersorakan, semakin kencang kuda dipacu, semakin besar dan riuh suaran sorakan penonton.
Tapi naas bagi seorang joki cilik, ketika kuda yang ia tunggangi akan mendekati garis finis, kudanya berlari agar dekat ke pagar, tagi kuda tersangkut di pintu besi pagar lintasan, kuda tersentak dan lari ke luar lintasa, joki cilik itu jatuh terpental ke tanah.
Melihat musibah itu, petugas kesehatan yang berdiri siap sedia di pinggir lintasan segera berlari kencang, mengkat tubuh joki cilik itu, membawanya masuk ke mobil Ambulance, tubuhnya diperiksa dengan seksama, beruntung joki cilik itu hanya mengalami luka di bagian punggung.
Lomba pacuan kuda tradisional sudah mendarah daging bagi masyarakat di dataran tinggi Gayo, sejak zaman kolonial berkuasa di nusantara sudah digelar. Karena itu pula lomba pacuan kuda di sana selalu ramai dikunjungi penonton dari berbagai daerah, apa lagi kadan ada hal-hal mistik yang menyertainya demi memenangkan perlombaan.
Menonton pacuan kuda dengan joki-joki cilik di lintasan merupakan sebuah hiburan tersendiri, yang tentunya hanya ada di dataran tinggi Gayo saja, tidak pernah ada pacuan kuda di Aceh bagian pesisir.