katoptrofobia dan sebuah elegi tentang akhir.

in #relationships6 years ago (edited)

ditulis dan diterbitkan pada 2 juli 2018, via medium.

Memang tidak ada buram yang hadir ketika ritme ketukan jantung kita pertama kali bersahut-sahutan dengan penuh hasrat dalam satu kurungan ruang dan waktu bahwa

“memulai” cinta terhadap seseorang yang kita anggap sebagai subyek golongan romantisme itu memang diselimuti hangat oleh sekeranjang janji berisikan manisnya rasa berkelakar dalam percintaan usia muda yang didewa-dewakan oleh para manusia telanjang.

Terpapar secara akut oleh proses infeksi rasa ingin mencintai dan dicintai.

Hasilnya? Cinta yang diinginkan — yang dianggap sebagai tujuan, menjadi sebuah esensi utama perkara menjustifikasikan apa yang menjadi roda dan mesin — yang adalah rasa mencintai dan dicintai, dalam meraih piala keberhasilan cinta itu.

Aku paham apa yang aku pikul ketika aku memilih untuk berlari kearahmu yang sedemikian cerah itu. Sambil bercintakan persepsi, imaginasi, dan kebiasaan untuk selalu mengkaji cinta kita dalam sebuah kolektifitas momen romantis ataupun melankolis, aku sadar aku sedang memikul sesuatu.

Sebuah cermin.

--

Ketika “akhiran” tiba, keranjang janji tak cukup perkasa dalam menampung manis. Pahit menelan bak paus yang menyantap.

Tanpa diberkati tatapan mata, akhiranku datang mencabik-cabik. Merobek awan cerahku yang adalah gadis yang selalu terperangkap dalam dunianya sendiri. Gadis yang selalu berhasil membuatku mendengkurkan kebahagian karena sentuhan gaibnya mampu membuatku terlelap dalam tenangnya lautan cinta dengan sangat pulas.

Didobrak oleh tanya yang tertuju kepada akhiran itu, aku menjadi gelisah, serupa dengan turut menjadi bagian dalam prosesi sidang.

“Apa yang terjadi? Apa penyebabnya? Siapa pelakunya dan siapa oknumnya? Alat apa yang digunakan dan mengapa terjadi?”, tanya batinku dengan bodohnya.

Aku teringat akan pikulanku, tekanan melawan daya tarik vertikal semakin sulit diacuhkan.

“Cermin”.

Seluruh pertanyaan batin yang tertumpuk berhasil mencapai puncak. Gunung dan runcingnya itu menikam batas awan keacuhanku yang menahan tengkok terhadap cermin tersebut, karena aku terlalu dengan diriku.

Lembaran-lembaran halaman berisikan “mantra acuh” yang sebelumnya tertempel dengan lantang dalam eksistensiku, yang dipenakan oleh kondisi terlalu sering berada dengan diriku sendiri, secara bersamaan terbakar habis dan lenyap.

Aku lihat asap terahkir itu mendayung pergi. Pupus acuhku, pudarlah mereka yang menyembunyikan curigaku terhadap apa yang ditawarkan cermin.

Aku bergestur, otot-otot leher berkontraksi untuk memindahkan jalur pandang kearah cermin itu.

Kekecewaan, amarah, kesedihan, keletihan, keputusasaan, dan iba. Rasa jijik, muak, mual, dan ketakutan. Semua itu aku rasakan terhadap diriku yang sekarang kuanggap hina.

Sejak petikan detik itu, aku phobia bercermin. Katoptrofobia.

Sadar,

aku bobrok yang merusak kita. Aku wabah yang membunuh cinta. Aku sangkakala akhir zaman dari indah kita, dan aku tuhan yang menghendaki sangkakala itu disuarakan. Aku tuhan yang hina. Aku tuhan yang mengutuk kita. Aku seorang cabul yang menodai. Aku seorang penakut yang menusukmu dari belakang. Aku anak kecil yang lari ketika memecahkan jendela dengan sepakan bola, dengan tangis yang terus diusap untuk menyembunyikan rasa takut. Aku semua itu, dan lebihnya.

Sekarang kamu sembunyi. Tidak lagi kita berbunyi. Terekam dengan baik untuk menggarami luka atas semua kenangan yang aku eratkan dan dalami.

Jika saja cermin tidak aku biarkan, mungkin aku tidak akan memiliki pipi yang basah. Jika saja cermin aku izinkan berfungsi, aku yakin kamu masih terikat dalam peluk, dan kita masih terlilit jadi satu dengan bahagia.

— —

Kamu pantas disana, dikotamu. Kota kembang yang berbungakan kenangan kita. Biarkan aku terbatuk-batuk oleh polusi ibukota yang anjing ini. Aku menyesal, aku harap kamu tahu itu. Jarak dapat membantumu menjadi kebal Aku harap kamu temukan lagi ritme yang seirama dari jantung baru yang cocok menjadi rekan.

Aku tangisi kamu dengan seluruh, karena kamu adalah sebuah “sangat” dalam cinta-cintaku.

Biar kupenggal dengan resmi rintih ini: “Selamat tinggal gadis, semoga terus kamu terperangkap dalam dunia kecilmu yang begitu agung. Aku yakin hasrat yang mengalir deras dari hadirmu yang elok dapat menjadi pijakan langkah dan angin yang memberimu cinta yang baru, yang lebih patut.”

— —

hembusan rokok yang didepanku akan terus “selalu”, sama sepertimu yang ada di dalamku.

Sort:  

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://medium.com/@bernandohalauwet/katoptrofobia-dan-sebuah-elegi-tentang-akhir-840e29990333

Congratulations @sauceciety! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 1 year!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!