Sebagai orang yang suka mengamati bentuk bangunan masjid, seringkali saya mengaitkan ornamen masjid dengan budaya setempat yang berkembang. Masjid-masjid di nusantara itu, kata para ahli, gabungan dari budaya lokal, Arab, Timur Tengah dan juga Cina.
Kubah, misalnya jelas bukan budaya Indonesia. Kubah banyak ditemui di Timur Tengah, India sampai Eropa. Bangunan-bangunan tua termasuk gereja di Eropa ada yang berkubah. Sementara bedug, adalah budaya lokal sebagai penanda waktu. Memang ada juga yang berpendapat, bedug itu datang dari Cina dibawa oleh Laksamana Cheng Ho. Namun karena sudah menyatu dengan budaya lokal, maka baik kubah maupun bedug seolah menjadi milik Indonesia.
Maka tidak heran bila dua ornamen itu kita temukan dalam literatur sastra di tanah air. Setidaknya saya menemukan dua karya novel yang terinspirasi dari kubah dan bedug. Pertama novel karya Ahmad Tohari berjudul "Kubah" dan kedua novel pendek karya Hamka berjudul "Menunggu Beduk Berbunyi".
Novel "Kubah" berkisah tentang seorang pria desa yang miskin, kemudian tertarik masuk Partai Komunis Indonesia (PKI) di awal tahun 1960-an. Karman nama lelaki itu, sebenarnya tidak memahami ideologi komunis. Dia hanya tidak suka pada Haji Bakir yang tidak lain adalah pamanya sendiri. Haji Bakir dalam pandangan Karman adalah sosok penganut agama yang serakah. Soalnya, pada masa pendudukan Jepang ayah Karman pernah menukar sawah dengan padi milik Haji Bakir.
Singkat cerita, ketika kudeta PKI gagal, Karman pun ditangkap dan dibuang ke pulau buru. Selama 12 tahun dia menjadi tawanan Pulau Buru. Usai menjalani masa tahanan, Karman pulang ke kampung halamannya. Dia diterima oleh masyarakat setempat. Dan sebagai puncak penyesalannya, Karman turut membantu kubah masjid milik Haji Bakir orang yang dulu dibencinya.
Ahmad Tohari menjadikan kubah masjid sebagai simbol pertobatan seorang anggota PKI. Almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah memberi catatan pada novel ini sebagai novel pertama yang bercerita tentang hubungan eks tapol PKI dengan masyarakat Indonesia.
Pada novel kedua karya Hamka berjudul "Menunggu Beduk Berbunyi" , juga berkisah tentang konflik batin. Konflik batin seorang Tuan Sharif yang mau bekerja untuk kantor pemerintah Hindia Belanda, di Minang, saat Indonesia sedang berjuang untuk kemerdekaan.
Tuan Sharif berada dalam pusaran kebimbangan antara tekanan masyarakat dan tekanan ekonomi yang menderanya. Dia bekerja untuk pemerintah Belanda karena urusan ekonomi. Sementara masyarakat membenci yang berbau penjajahan. Hingga suatu Jumat, Tuan Sharif tersadar akan datangnya waktu beduk tanda harus segera sembahyang. Beduk oleh Hamka dijadikan simbol penyadaran seorangTuan Sharif.
Dua sasterawan itu berhasil menampilkan dua elemen masjid sebagai simbol pertobatan dan penyadaran. Satu lagi yang juga menarik, menara masjid pernah ditampilkan oleh penulis novel A. Fuadi dalam "Negara 5 Menara". Menara menjadi simbol persahabatan dan karya.
Menurut saya, belum banyak sasterawan yang menggali ornamen masjid sebagai salah satu inspirasi dalam penulisan karya sastera. Padahal, di Indonesia masjid terbilang banyak. Kata Jusuf Kalla, lebih banyak dari Arab Saudi.
Tepat, bukan hanya kubah, ada tiang penyangga, ukiran, sudut, bahkan alasan lokasi mesjid penuh dengan cerita. Bahkan mushalla juga memilki cerita tersendiri.. saya rasa satu mushalla dan mesjid bisa menjadi satu tulisan atau buku cerita... semangat bang
makasih bang adrian...