sejarah buya hamka ulama indonesia

Assalamualaikum para sahabat steemian kita sekarang bahas tentang ulama Indonesia yaitu Buya Hamka.

image
Buya hamka adalah sosok yang lembut dan jugak keras pada tempat menegakkan kebenaran seperti di jakarta (Panjimas) . Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka lebih memilih mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketimbang mencabut “Fatwa haramnya mengucapkan selamat Natal dan ikut merayakannya.”

Buya Hamka berkata “Sayalah yang bertanggung jawab atas beredarnya fatwa tersebut. Jadi sayalah yang mesti berhenti,” kata Hamka pada Harian Pelita,” kata Buya Hamka saat berkhutbah di Masjid Al-Azhar semasa hidupnya.

Buya Hamka mengingatkan kaum Muslimin, bahwa kafir hukumnya jika mereka mengikuti perayaan natal bersama.

Fatwa haram Buya Hamka tentang ucapan Natal dan merayakannya, membuat Presiden Soeharto meminta beliau agar mencabut fatwa itu, dengan dalih kemajemukan Bangsa Indonesia, demi menjaga kerukunan Umat beragama. Lantas apa yang dilakukan Buya Hamka? Apakah beliau mencabut fatwa MUI? Tidak! Beliau memilih mengundurkan diri menjadi Ketua MUI ketimbang mencabut Fatwa haram mengucapkan Natal dan ikut merayakannya.

Beliau melanjutkan, sebenarnya kelahiran Yesus adalah tanggal 1 Januari, makanya dinamakan Tahun Masehi, mesiah atau Al Masih. Karena jarak yang tidak terpaut jauh antara 25 Desember dengan 1 Januari, maka ucapan itupun disandingkan. Karenanya, bagi umat Islam sangat fatal jika ikut-ikutan mengucapkan kedua hari raya itu.

Saat ini fatwa Ulama Besar Buya Hamka mulai dilupakan. Termasuk pejabat, dan sebagian tokoh aktivis Islam. Sebagian dari mereka malah menghalalkan ucapan Natal atas nama toleransi beragama. Bahkan menuduh umat Islam yang tidak mengucapkan selamat Natal sebagai kelompok yang intoleran.

Ustadz Insan LS Mokoginta memberikan tips kepada umat Islam yang bersentuhan dengan Umat Kristiani apabila harus mengucapkan sesuatu ketika kepada Mareka, Ungkap beliau, kita jangan mau mengucapkan “Selamat Hari Natal”, tapi ucapkanlah “Semoga Allah Memberimu Hidayah pada hari ini!”.

Di hadapan penguasa, Hamka bicara tegas menolak upaya-upaya Kristenisasi. Ia juga tegas melarang umat Islam mengikuti perayaan “Natal Bersama” yang menggunakan kedok toleransi.

Buya Soal Kristenisasi

Suatu hari menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 1969, dua orang perwira Angkatan Darat datang menemui Buya Hamka. Keduanya membawa pesan dari Presiden Soeharto, agar Hamka bersedia memberikan khutbah Ied di Masjid Baiturrahim, komplek Istana Negara, Jakarta.

Hamka terkejut, karena disamping permintaan tersebut mendadak, ia heran mengapa istana memilihnya menjadi khatib, padahal pada waktu itu ia dikenal sebagai ulama yang dalam setiap ceramahnya selalu tegas mengkritik upaya-upaya Kristenisasi. Maklum, pada masa-masa awal Orde Baru, gurita Kristenisasi mulai membangun jejaringnya. Baik di tingkat elit kekuasaan, maupun aksi-aksi di lapangan.

Atas saran dan dukungan umat Islam, Buya Hamka akhirnya bersedia memenuhi permintaan istana. Umat ketika itu berharap, ulama asli Minangkabau ini bisa menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada para pejabat, terutama dalam menyikapi maraknya Kristenisasi. Inilah kali pertama Hamka, seorang mantan anggota Partai Masyumi, berkhutbah di Istana.

Dari atas mimbar, ulama yang juga sastrawan ini menguraikan tentang bagaimana toleransi dalam pandangan Islam. Islam sangat menghargai agama lain, dan tak akan pernah mengganggu akidah agama lain. Di hadapan Presiden Soeharto dan para pejabat Orde Baru.

Inilah kisah ulama Indonesia lembut tapi keras dalam menegakkan kan nahi mungkar. Inilah pengalaman paling besar yang bisa kita acungi jempol dan harus kita jadikan Sauri teladan bagi penerus penerus negri ini.

Sort:  

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://www.portal-islam.id/2017/12/generasi-milenial-ingatlah-fatwa-buya.html

Kita saya rangkai sendiri
@cheetah