Anjing Kapten
Cerpen @ayijufridar
SELURUH penduduk kampung nyaris kehilangan nyawa hanya karena kematian seekor anjing. Dia ditemukan gugur – warga sekampung dilarang menyebutnya mati – di sebuah selokan berlumpur di ujung timur areal persawahan. Tergeletak di atas selokan dengan luka bekas tusukan di beberapa bagian tubuh, terutama di perut yang membuat ususnya terburai. Dari situlah darah terus mengalir bercampur dengan air selokan yang membuat tempat itu seperti ajang pembantaian. Hanya ada seekor anjing yang gugur akibat tusukan. Tapi jika melihat darahnya, orang bisa saja berpendapat ada 100 anjing yang meregang nyawa dengan senjata tajam. Mungkin sebilah pisau, sebilang sangkur, atau rencong, tak ada yang tahu.
Untuk itulah warga sekampung dikumpulkan. Laki-laki dan perempuan,tua muda, besar dan kecil, dikumpulkan di depan pos polisi di pinggir jalan utama perkampungan. Di belakang pos tersebut, terdapat beberapa rumah penduduk, salah satunya adalah rumah orang terkaya dan terpelit di kampung itu. Dia mempunyai tanah yang luas, dan binatang ternak yang banyak.
Tapi jika ada pemuda yang datang ke rumahnya untuk minta bantuan untuk klub sepakbola kampung, dia tidak pernah memberikannya. Beda kalau datang itu tentara atau polisi di zaman konflik dulu. Jangankan bola, anak gadisnya pun terpaksa dinikahkan dengan tentara setelah dibuntingin.
Ada jalan khusus untuk menuju rumah orang kaya tersebut dari sebelah kiri pos polisi. Di belakang rumah orang kaya itu terdapat kebun kosong yang luas. Ujung kebun tersebut tersambung dengan selokan di mana jenazah – mungkin juga polisi itu akan marah kalau disebut bangkai – anjing itu ditemukan oleh petugas yang mencarinya sejak sore hingga pagi. Tidak ada yang tahu mengapa polisi yang berjaga di pos tidak mendengar gonggongan anjing ketika tubuhnya dicabik-cabik. Mungkin pelakunya membenamkan mulut anjing itu ke dalam lumpur, sehingga gonggongan yang paling memilukan pun tenggelam di dalam lumpur.
Tidak pernah warga sedemikian takutnya hanya karena kematian (tidak mungkin menyebutnya keguguran) seekor anjing. Paginya, sebelum warga memulai kegiatan di luar, sejumlah polisi dengan senjata laras panjang dalam posisi siap tembak sudah mendatangi rumah warga bersama kepala desa. Mereka menggedor semua pintu dan meminta seluruh penghuni rumah menuju pos polisi. Perempuan yang tidak bisa meninggalkan anak kecil, harus membawanya bayinya dalam gendongan. Atau kalau pun sampai hati meninggalkannya sendiri di ayunan, polisi itu tidak mau peduli. Itu bukan urusan mereka, kendati ada rumah yang terbakar karena penghuninya lupa mematikan kompor setelah dibentak polisi untuk segera menuju pos. Hanya orang sekarat dan orang tua yang sudah pikun yang diizinkan tetap diam di rumah, dan anak kecil yang hanya bisa menangis jika ditanyai, apalagi jika yang bertanya adalah seorang polisi dengan senjata mengacung dan mata yang terus menyorot penuh kebencian.
Bukan hanya orang yang mampu bicara saja dikumpulkan di depan pos, bahkan orang bisu pun – sejauh dia masih hidup – diminta merapat ke pos polisi. Tidak banyak penduduk yang tersisa di kampung itu. Konflik bersenjata telah membuat warga mengungsi untuk menyelamatkan nyawa sebagai satu-satunya harta yang masih tersisa. Sebelum konflik bersenjata berkecamuk pun, jumlah penduduk di kampung itu tidak banyak.
Warga sebagian besar petani, selebihnya bekerja sebagai pencari rotan di hutan. Saat konflik pecah hutan menjadi istana para gerilyawan, dan penduduk diharamkan ke sana untuk mencari makan. Bukan para gerilyawan yang melarang, mereka malah senang karena bisa meminta bantuan penduduk membawakan makanan. Tapi polisi dan tentaralah yang meminta warga tidak masuk hutan untuk memutus mata rantai pasokan barang dan makanan. Polisi dan tentara itu ingin membuat para gerilyawan lapar dan kemudian menyerah. Tapi yang terjadi justru masyarakatlah yang kelaparan karena tidak mempunyai pekerjaan lain.
Setelah konflik reda dan para gerilyawan turun gunung untuk menjadi pemimpin di eksekutif dan legislatif melalui pemilukada yang penuh intimidasi, kampung di pedalaman itu tidak dengan serta merta menjadi ramai. Tidak ada harapan yang tumbuh di sana. Areal sawah memang luas, tapi saluran irigasi belum ada. Warga yang bertani hanya mengandalkan air tadah hujan. Jalan menuju ke desa itu pun rusak parah; berdebu pada musim kemarau dan seperti kubangan kerbau pada musim hujan. Seorang tokoh gerilyawan yang kini menjadi bupati, saat kampanye berjanji akan membuat jalan itu berlapis emas jika dia terpilih nanti. Kini sudah masuk tahun keempat dia duduk di pendopo, tetapi jangankan jalan berlapis emas, pengerasan pun tak pernah dilakukan. Bupati yang bergigi emas itu malah lebih banyak mengabiskan waktu mengayun tongkat golf daripada mengajari rakyat mengayun cangkul.
Baru lima tahun warga hidup tanpa letusan senjata, tetapi kini sudah menyalak lagi. Bukan dari para gerilyawan yang menyerang pos polisi atau tentara seperti dulu, melainkan orang-orang yang disebut sebagai teroris. Warga tidak pernah mengenal mereka, bahkan tidak pernah tahu apakah benar-benar ada teroris yang bersembunyi di kampung mereka, dan melakukan latihan militer di hutan tempat mereka mencari rotan dan jernang. Tapi yang jelas, lebih dari sepekan lalu kampung itu menjadi ramai dengan kendaraan polisi dan ambulan yang datang dan pergi untuk mengangkut korban meninggal dunia baik dari kepolisian (yang gugur) maupun dari anggota teroris (yang tewas) . Sirine ambulan meraung-raung. Kendaraan wartawan berdatangan, tapi mereka hanya diizinkan sampai batas jalan kampung. Tidak boleh masuk ke dalam hutan karena diperkirakan anggota teroris masih berada di sana. “Jumlah mereka puluhan dan mempunyai belasan pucuk senjata. Mereka yang menembak warga hingga tewas ketika menyerang polisi,” kata seorang perwira polisi.
“Identitas mereka diketahui, Pak?” tanya wartawan.
Perwira itu menggeleng. Dia malah minta namanya tidak disebutkan karena masalah tersebut sudah ditangani polisi dari markas besar yang masuk dengan tiga truk reo pada hari pertama, dan membangun pos di sebuah rumah kosong pada hari itu juga. Polisi itulah yang membawa seekor anjing besar berbulu coklat di bagian perut dan kaki, dengan sedikit bulu-bulu hitam di bagian punggung. Telinga dan moncongnya juga hitam, senada dengan kulit komandan polisi itu yang kabarnya berpangkat kapten. Entah karena pengaruh warna kulit, atau memang air mukanya sudah demikian, komandan polisi itu tidak pernah bersikap ramah. Warga menduga sikapnya disebabkan karena tiga rekannya yang gugur dalam baku tembak dengan teroris.
Wajah tak ramah itulah yang diperlihatkan di depan warga yang sudah berkumpul di depan pos. Laki-laki dipisahkan dengan perempuan. Para pemuda yang dianggap berbahaya, diminta bertelanjang dada agar mereka tidak bisa menyembunyikan senjata tajam di balik pinggang. Mereka duduk di atas rumput dan di bawah sinar mentari yang mulai mengirimkan kehangatannya.
“Sudah semuanya, Pak Kades?”
Kepala desa menjawab pertanyaan si Komandan dengan anggukan. Dia sudah tiga kali menghitung warga yang berkumpul di depan pos tersebut. Namun, ketiganya keliru karena dia telanjur menghitung orang yang sama. Kalau pun akhirnya dia melanjutkan penghitungannya dengan telunjuk yang mengarah ke kepala warganya, itu sebagai pendukung semata agar terlihat meyakinkan jika si Komandan bertanya tentang jumlah warganya.
Kemudian si Komandan itu bercerita tentang anjing terlatih mereka yang gugur di dalam selokan, sebuah tempat yang paling hina untuk mati. Menurutnya anjing itu bukan sekadar anjing, tetapi secara teknis dia adalah polisi. “Bahkan keterampilannya bisa disetarakan dengan seorang kapten. Maka siapa pun yang membunuhnya, harus mengalami nasib yang sama, bahkan harus lebih menyakitkan.”
Warga membisu.
“Mungkin ada yang melihat orang asing yang membunuh anjing kami. Katakan saja terus terang, tidak perlu takut. Kalian tidak boleh melindungi teroris, seperti kalian melindungi separatis seperti dulu! Kalau tidak ada yang mau bicara, maka kalian akan tetap di sini sampai sore nanti!”
Seberapa pun menakutkan ancaman tersebut, tetap saja tidak ada yang mau bicara. Warga tetap diam. Entah karena memang tidak tahu, atau karena tidak mau memberitahu, atau karena takut, atau campuran di antara kemungkinan tersebut. Bahkan ketika ketika si Komandan mengangkat senjata laras panjangnya, warga tetap bergeming.
“Jangan sampai senjata yang memaksa kalian bicara!”
Akhirnya kepala kampung yang berdiri di samping si Komandan, memberanikan diri bicara. “Kalau warga tetap diam, itu karena mereka memang tidak tahu. Percayalah Pak, warga tidak pernah mendukung teroris itu. Kalau ada warga tahu siapa yang telah membunuh kapten anjing itu, eh, maksud saya anjing kapten itu, saya akan ajak warga bicara dengan Bapak. Saya jamin warga pasti mau.”
Entah karena percaya dengan janji kepala kampung, si Komandan itu kemudian membubarkan warga dengan ancaman akan memanggil mereka kembali kalau tidak ada yang bersedia bicara. Para pemuda segera berebutan mengambil baju mereka kembali dari tumpukan. Sempat terjadi keributan kecil karena memperebutkan kemeja yang berwarna sama dan sama pula lusuhnya. Kemudian para warga itu pulang ke rumahnya dan meninggalkan kepala kampung yang masih berbicara dengan komandan polisi.
Setelah berada jauh dari pos, seorang pemuda yang berjalan paling depan berbisik kepada rekannya. “Sudah kuingatkan, kamu tidak percaya.”
Pemuda di sebelahnya melihat ke belakang. Gerombolan orang masih berada jauh di belakang. Setelah yakin mereka tak akan bisa mendengar, ia berujar; “Anjing itu yang menggigitku duluan. Apa aku harus diam saja. Kami juga ikut mencekik lehernya.”
“Tapi aku tidak menikamnya.”
“Sama saja. Kamu juga punya andil membuat anjing itu mati.”
“Gugur….” ralat temannya.
“Iya, gugur…”
Pemuda itu mencolek bahu temannya. “Lain kali, kalau ada anjing kapten yang mengigitmu karena ketahuan mencuri, lebih baik kamu membunuh polisinya saja.”
Pemuda itu tidak menjawab. Dia hanya mempercepat langkahnya. Dia ingin segera tiba di rumah, membungkus pakaian, lalu segera meninggalkan kampungnya. Dia tidak ingin dituduh terlibat terorisme hanya karena membunuh seekor anjing dalam keadaan terpaksa.***
Lhok Seumawe, akhir 2010
Catatan: cerpen ini pernah dimuat di harian Jurnal Nasional (Jakarta) edisi Minggu 9 Januari 2011. Saya posting di Steemit sebab Jurnal Nasional sudah tidak terbit lagi. Semoga Steemians bisa menikmatinya. Terima kasih sudah membaca. Terima kasih untuk komentar dan upvote-nya.
Captain's Dog
Short Story by @ayijufridar
ALL villagers almost lost their lives just because of the death of a dog. He was found dead - villagers forbidden to call him dead - in a muddy ditch at the eastern end of the rice fields. Lying on a ditch with stab wounds in some parts of the body, especially in the stomach that keeps the intestines out of shape. That's where the blood keeps flowing with the gutter water that makes the place look like a massacre. There was only one dog who died from a stab. But if you look at his blood, one could argue that there are 100 dogs with life-threatening weapons. Maybe a knife, a bayonet, or rencong, nobody knows.
That is why villagers are collected. Men and women, young and old, big and small, were collected in front of a police station on the edge of the main street of the village. Behind the post, there are several residents' houses, one of which is the house of the richest man and is entangled in the village. He has vast land, and many livestock. But if any young man comes to his house to ask for help for the village football club, he never gives it. Different if it came the soldiers or police in the conflict era first. Never mind the ball, his daughter was forced married to the army after impregnated.
There was a special way to get to the rich man's house from the left of the police station. Behind the rich man's house was a vast empty garden. The end of the garden is connected to the ditch where the body may be - it may be that the cop will be angry when it is called a carcass - the dog was found by the officer who searched it from evening until morning. No one knows why the police on guard at the post did not hear the dog barking when his body was torn apart. Perhaps the culprit dunked the dog's mouth in the mud, so that the most grieving barking was sinking in the mud.
Never a citizen is so afraid just because of death (can not possibly call it a miscarriage) a dog. The next morning, before the residents started activities outside, a number of police with long-barreled weapons in a ready-to-fire position had come to the villagers' house with the village head. They pounded on all the doors and asked all the occupants of the house to go to the police station. Women who can not leave a child, should carry her baby in a sling. Or even if the heart left him alone in the swing, the policeman would not care. That is not their business, although there is a burning house because the inhabitants forgot to turn off the stove after the police barked to get to the post. Only dying people and senile elders are allowed to stay at home, and a small child who can only cry when asked, especially if the one who asks is a policeman with a gun pointing up and eyes that continue to be full of hatred.
Not only people who are able to speak are gathered in front of the post, even the mute - as long as he is alive - is asked to move closer to the police station. Not many residents are left in the village. Armed conflict has made people evacuate to save lives as the only remaining treasure. Before the armed conflict even raged, the population in the village was not much.
Residents are mostly farmers, the rest work as rattan seekers in the forest. When the conflict broke out the forest became the palace of the guerrillas, and the population was forbidden there to find food. Not the guerrillas who forbid, they are happy because they can ask for help from the residents to bring food. But the police and the army are asking people not to enter the forest to break the supply chain of goods and food. The police and soldiers wanted to make the guerrillas hungry and then surrendered. But what happens is that people are starving because they do not have other jobs.
After the conflict subsided and the guerrillas went down the mountain to become leaders in the executive and legislature through the intimidation of the election, the village in the interior did not necessarily become crowded. There is no hope that grows there. Wetland area is wide, but irrigation channels do not exist yet. Farmers rely on rain water only. The road to the village was badly damaged; Dusty in the dry season and like buffalo buffalo in the rainy season. A guerrilla leader who is now a regent, as the campaign promised to make the road gold-plated if he was elected later. Now that he has entered the fourth year he sits in the marquee, but let alone a gold-plated street, hardening was never done. The gold-toothed regent spent more time swinging golf clubs than teaching people to swing a hoe.
Only five years old people live without gunshot, but now it's barking again. Not from the guerrillas who attacked the police or army posts as they once were, but the so-called terrorists. Citizens never know them, never even know if there really are terrorists hiding in their village, and doing military exercises in the forest where they search for rattan and jernang. But clearly, more than a week ago the village became crowded with police vehicles and ambulances that came and went to transport the dead from both the police (the deceased) and from the (dead) terrorist members. Sirens ambulance wailed. Vehicles of journalists were arriving, but they were only allowed to the village limits. Can not enter the forest because it is estimated that the terrorist members are still there. "They have dozens and have dozens of weapons. Those who shot people to death while attacking the police, " said a police officer.
"Their identity is known, sir?" asked the reporter.
The officer shook his head. He asked not to have his name mentioned because the matter had been handled by police from the headquarters who entered with three reo trucks on the first day, and built a post in an empty house on the same day. It was the police who carried a big brown dog in the abdomen and legs, with a little black hair on the back. His ears and muzzle are also black, in tune with the skin of the police commander who is said to be a captain. Either because of the color effect of the skin, or indeed the face was so, the police commander was never friendly. Residents suspect his attitude was caused by his three colleagues who were killed in a firefight with terrorists.
That unfriendly face is shown in front of the residents who have gathered in front of the post. Men are separated with women. The young men who were considered dangerous, were asked to be bare-chested so they could not hide the sharp weapons behind the waist. They sat on the grass and in the sunshine began to send warmth.
"All of it, Mr. Kades?"
The village head answered the Commander's question with a nod. He has three times counted the citizens who gathered in front of the post. However, all three are mistaken because he already counts the same person. If he ends up counting with his forefinger that leads to the head of his citizen, it is merely a supporter to look convincing if the Commander asks about the number of his citizens.
Then the Commander told him about their well-trained dog falling in a ditch, the most despicable place to die. He thinks the dog is not just a dog, but technically he is a cop. "Even his skills can be synchronized with a captain. So whoever kills him, must suffer the same fate, even more painful. "
The peoples is silent.
"Maybe someone saw a stranger who killed our dog. Just tell me frankly, no need to be afraid. You can not protect terrorists, as you protect separatists as you used to! If nobody wants to talk, then you'll stay here till late afternoon! "
No matter how frightening the threat is, still no one wants to talk. Residents remain silent. Either because they do not know, or because they do not want to tell, or because of fear, or a mixture of those possibilities. Even when the Commander took up his rifle, the people remained immobile.
"Do not get guns that force you to talk!"
At last the head of the village, standing next to the Commander, dared to speak. "If people stay silent, it's because they do not know. Believe me sir, people never support the terrorist. If anybody knows who killed the captain of the dog, uh, I mean the captain's dog, I'll invite people to talk to you. I guarantee people will. "
Either out of confidence in the village chief's promise, the Commander then dismissed the people with the threat of calling them back if nobody was willing to talk. The youths immediately scramble to take their clothes back from the pile. Had a little commotion for fighting over the same colored shirt and the same bad. Then the villagers went home and left the village chief still talking to the police commander.
After being away from the post, a young man walking the front whispered to his companion. "I warned you, you do not believe me."
The young man next to him looked back. The mob is still far behind. Once they were sure they would not hear, he said; "The dog bites me first. Do I have to be quiet. We also strangled her neck. "
"But I did not stab him."
"The same. You also have a stake in making the dog die. "
"Not die, passed away ..." corrected his friend.
"Yes, allright. He’s passed away ..."
The young man poked his friend's shoulder. "Next time, if there's a captain's dog that bites you for caught stealing, you'd better kill the cop."
The young man did not answer. He just accelerated his pace. She wanted to get home soon, wrap up her clothes, then leave her village immediately. He does not want to be accused of terrorism just for killing a dog in a forced state. ***
Lhok Seumawe, the end of 2010
Note: this short story was published in National Journal of National (Jakarta) edition Sunday, January 9, 2011. I post in Steemit because National Journal is no longer published. Hopefully the Steemians can enjoy it. Thanks for reading. Thanks for the comments and upvote.
Source: https://pixabay.com/en/dog-running-abstract-canine-active-863557/
cerita yang sangat menarik, mengngingatkan saya pada masa aceh konflik dulu. kalau boleh tau apa kisah diatas dianut dari kisah nyata?
Nauval, follow aku. Aku follow akunmu.
siap , langsung kita engkol@bismayaput
@nauval, kenapa belum ada postingan baru? Barusan Bang Ayi lihat masih yang kemarin. Produktif, kreatif, kualitas. Itu motto Journalists Steemians Aceh.
tadi. saya diperjalanan pulang ke agara bang
Okay, deh! Don't forget to five our your gift from Agara' just some story and nice photos about Agara, beuh!
siatteukK langsoNG ta eNGkol. heheheh
Suka sekali dengan kalimat percakapan: “Jangan sampai senjata yang memaksa kalian bicara!”
Terima kasih, @bismayaput. Ini Bisma Unimal yang penulis itu, ya? Maaf, fotonya kecil sekali, tidak kelihatan. Btw, selamat bergabung di Steemit, ya?
cerpen yang sangat bagus @ayijufridar
Terima kasih, @jodipamungkas. Saleum.
sama-sama @ayijufridar
nice story
Thanks you very much, Rahmat
allright
Nice post @ayijufridar
Thanks you very much @foarsyad.
Cerita yang bagus kawan @ayijufridar
Sekarang saya mengikuti anda.
Ikuti saya supaya bisa saling membantu @andyriza
Terima kasih, @andyriza. Saleum.
Congratulations @ayijufridar! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of comments
Click on any badge to view your own Board of Honnor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
By upvoting this notification, you can help all Steemit users. Learn how here!
Thanks you.