Kemarin saya dikirimi foto buah cengkih oleh ponakan saya yang masih kelas 4 sd via WA dan menulis "papi cengkih kita kini kembali berbuah lebat". Saya balas supaya dipetik dan dijual untuk ditabung dan bisa sekolah ke Banda Aceh. Mengingat cengkih telah mengusik ulang masa kanak-kanak saya dulu. Puluhan tahun kemudian kanank-kanak di Simelue, tidak lagi menikmati masa-masa girang memanjat dari satu pohon ke pohon lainnya setelah rempah yang dijuluki "emas hitam" hilang di pasaran.
Pulau yang berada 105 mil di tengah Samudera Hindia itu dulu terkenal sebagai penghasil cengkih-- ‘emas hitam” terbesar dan berkualitas di Sumatera. Pernah mengalami puncak kejayaan pada tahun 70 hingga 80-an. Saat itu harga cengkih melambung tinggi dan orang-orang dari luar —pekerja, pedagang dan pengusaha, hilir mudik ke pulau berpenduduk 70 ribu jiwa itu. Namun, masa keemasannya mengalami ambruk ketika berdirinya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) untuk kemudian memonopoli perdagangan cengkih di seluruh Indonesia, kemudian membuat harga cengkeh anjlok. Sejak itu petani cengkih tidak mengurus kebun mereka, banyak batang cengkih yang masih gadis harus kuncup sebelum dipetik. Bahkan banyak batangnya yang ditebang untuk dijadikan kayu api.
Setelah runtuhnya kerajaan cengkih, Simeulue menjadi lengang. Pulau indah itu ibarat putri yang molek di hamparan laut yang sunyi dan nestapa. Ia sangat memikat tapi tidak terurus dan awut-awutan.
Mengingat Simelue seperti melukis gadis cantik. Teluknya yang bening tak beralun seperti telaga. Lahan subur dengan berbagai potensi, adalah harta karun yang terpendam. Gugusan pantai yang indah dibumbui ombak yang bergulung putih ladang para pesilancar paling menggairahkan, kolam surving para pengembara bawah laut. Bukit dan pegunungan, dan pepohonan, memagari setiap bibir pantai, seperti lisptik alam yang telah menyatu dalam mata sipit gadis gadis remaja menjadi sebuah melodi "ke- Simeulue-an" yang amat kental, terutama ketika rakyat di sana membicarakan masa depan mereka.
Simelue tetap saja memikat meski dongeng tentang cengkih dan kemakmuran orang-orang pulau telah berakhir. Kesenian Nandong menjadi simbol kebesaran dan pengikat inter-kultural Simeulue. Lirik-liriknya telah menjadi tarik ulur dalam merefleksikan aspirasi, baik berupa pujian, kritikan, bahkan kekecewaan -- tapi tetap dalam rentak yang memukau.
Semakin memukau karena memang banyak sekali menyimpan harta yang bisa mendatang duit dan mempergemuk devisa. Dulu, kayu-kayu hitam ---yang amat mahal harganya -- yang menghiasi punggung bukit. Itu sebab, membuat birahi orang-orang luardan cukong-cukong kayu datang ke sana. Juga kayu-kayu biasa yang dijadikan balak langsung diangkut ke luar pulau.
Ketika kapal-kapal menyeret kayu itu ke luar pulau, masyarakat hanya tegak memandangnya, dan yang kelihatan hanya cerobong yang mengepulkan asap, tanpa bisa berbuat apa-apa. Tak banyak protes yang bergema ke luar, kecuali sejumlah LSM yang meneriakkan bahwa alam Simeulue semakin parah. Berita-berita tentang kerusakan Simeulue jarang terekspos di media massa.
Ketika Simeulue sah jadi kabupaten defenitif, pernah sebuah harapan mencuat dengan jelasnya. Siapa pun yang menjadi "raja" di pulau itu adalah orang mengerti Simeulue. Sayang, ini kembali jadi mimpi. Kecuali kisah-kisah kontroversi tetap saja berlangsung.
Berita tentang "keanehan" yang terjadi dalam sistem birokrasi pemerintahan di Kabupaten Simeulue masih saja diperagakan. Ternyata, rakyatnya tak tertolong karena asesoris status otonomi. Mereka tak bertambah kenyang, atau sudah mulai pintar membajak karena status itu. Sehingga jika ada adagium uris maro (usir bahaya) yang didengunkan ketika itu, hanya tersengat di kerongkongan perut, meletup-letupkan kegelisahan yang mencekik.
Anak-anak negeri terus saja meratapi cinta lewat syair Nandong. Sementara di Pendopo, para pejabat membicarakan proyek pulan-pulen, sarana infra struktur dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Di sawah yang masih semak, anak-anak negeri meurancah. Mereka menghalau kerbau, menggelitik-gelitik kemaluannya, agar binatang itu kegelian, agar ia melompat-lompat hingga tanah becek dan ditanami padi. Itu pun hanya bisa membuat kita tersenyum getir, tidak melihat sesuatu apa pun dalam status otonomi yang absurd. Padahal rakyat harus dituntun bagaimana membajak sawah, dan mengajari kerbau-kerbau mereka mengolah tanah, mengawetkan sisa-sisa cengkih agar tak membusuk bersama asa. Sementara di pusat-pusat pemerintahan, orang-orang terus berdialog, melontarkan ribuan konsep, tentang masa depan yang lebih cerah pada Simeulue. Lalu, orang bicara, pidato-pidato, dan pers pun menulisnya dengan patuh.
Sekarang tidak banyak berubah. Namun titik balik keemasan cengkih mulai ditoreh sejak tsunami tahun 2004. Cengkih-cengkih yang masih produktif kembali dikelola, tidak ada regulasi ataupun bantuan langsung dari pemerintah untuk petani cengkih. Semua dikelola dengan insiatif sendiri para petani.
Musim panen cengkih di Simelue kembali lagi, setelah sekian lama dinanti-nanti masyarakat di sana. Alhamdulillah, dan sudah berjalan 13 tahun, sejak dilakukan perawatan kembali cengkeh di Simeulue, dengan pasang surut komoditas dan harga yang kerap anjlok sehingga tidak sesuai antara penghasilan biaya produksi. Belum lagi cuaca alam seperti hujan akan sangat berdampak pada kerugian besar yang dialami petani akibat tidak bisa menjemur hasil panen mereka.
Semoga ini awal mula bunga memekar lagi setelah rakyat kenyang dengan kebanggaan, larut bersama slogan Simelue ‘atee fulawan’ (berhati emas) yang penuh tulisan-tulisan, konsep-konsep yang mencengangkan. Semoga semua itu tidak hanya menatap kertas-kertas. Sehingga seni etnic Nandong dengan suara lengking bukan menjadi ratapan batu batu karang yang dihempas ombak laut, atau ratap yang menyairkan tetang tanah kampung yang lenguh.
Bunga cengkih kembali mekar menjadi setitik harapan masyarakat kecil untuk bisa menaruh masa depan yang lebih baik. Tentunya, nasib seperti yang dialami ketika gurita BPPT tidak lagi terulang. Pemerintah harus mengawal rakyat, terutama dalam mengatur standar pasar yang sekarang masih tidak menentu. Harga cengkih yang masih rendah belum seimbang dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok di pasaran, dan tuntutan hidup selalu tidak memihak terhadap rakyat kecil.
Program mensenjahtrakan rakyat bukan sekedar Iming-iming, inafi dan tuerang da nenekta (cerita dongeng nenek) menjelang tidur para bocah-bocah. Tidak hanya cengkih, tapi juga pohon kelapa yang menjadi tanaman sejarah di pulau Simelue, harus kembali ditata dan diremajakan sehingga berapa generasi ke depan bisa menikmatinya.***
cengkih berbunga
diberanda nenek bercerita tentang harapan
sementara di pasar para tengkulak saling menyerigai
mata mereka laksana naga mencari mangsa
cengkih berbuah
nenek masih bercerita di beranda
sementara para bocah tertidur pulas bermimpi panen tiba
cengkih berbunga jadi puisi
menyusuri jejak perahu
diombang alun samudera
pucuk-pucuk yang melambai
berpagut uap air laut menjadi garam
nyanyian beribu bangau di pantai
memadu kesuraman
Ku tahu ini pulau sejak dulu
Sejak kecilku
Orang-orang di kampungku
Beramai-ramai menyeberang
Ke sinabang atawa simeulue
Memetik cengkeh berbunga-bunga
Pulau di hamparan samudera
Mengingatnya rinduku berdiwana
pada putri melur yg melukis di pasir
lalu dijilat ombak yg menghempas pantai
Mudah-mudahan cengkeh Simeulu dapat kembali mendunia
Mungkin perlu mengikuti langkah Bu Susi memasarkan lobster langsung ke Singapura, cengkeh kiranya seperti itu pula, apalagi bila telah menjadi minyak cengkih