Sepertinya tim penyusun pembukaan UUD negara ini bukan orang sembarangan. Mereka orang-orang yang sangat visioner ketika memperlakukan negerinya. Mereka kumpulan orang-orang yang sadar bernegara. Mereka memahami secara utuh bangsanya. Mungkin waktu itu jumlah negarawan masih banyak. Tidak perlu waktu berhari-hari membuat kumpulan paragraf pembukaan UUD Negaranya. Waktu yang relatif singkat merancang dasar negara yang memiliki tingkat kompleksitas rumit di masanya. Bisa jadi masa ini tingkat kompleksitas negara ini tidak serumit kompleksitas masa itu, belum lagi masa itu situasinya masih perang, tidak perlu fasilitas yang bernama medsos, semua orang tahu waktu itu tidak ada medsos, paling banter radio dan telegraf dan itu pun tidak semua orang memilikinya lebih-lebih mengoprasikannya. Sudah sepantasnya kita mengapresiasi mereka. Mereka lahir dari mekanisme seleksi kehidupan yang obyektif, fair, murni, adil, dan jujur. Tidak heran waktu itu bertebaran orang-orang karismatik, berwibawa, dugdeng, cerdik, pandai, dan bijaksana. Di benak mereka mungkin tidak pernah terlintas ingin dianggap sebagai aktris, aktor, atau tokoh cerita kepahlawanan dalam peristiwa sejarah bangsanya dan mereka tidak sempat memikirkan itu semua. Hati dan pikiran mereka benar-benar digerakkan oleh kehidupan melalui tangan-tangan tuhan. Sepertinya begitu mengharukan melihat sikap mereka kepada kita. Mereka berbaik sangka kepada kita, tidak berprasangka aneh-aneh, curiga, dan ragu-ragu atas perjuangannya yang dipersembahkan untuk kita. Mereka berjuang habis-habisan demi kita. Hingga mereka mengemas gagasannya melalu suatu visi mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang dalam undang-undang dasar pada wadah sistem manajemen kekuasaan nasional bernama negara.
Itu wajar, mereka mampu menjadi seperti itu, kita tidak perlu berkecil hati. Kita perlu menghargai, mengapresiasi, dan menjunjung tinggi perjuangan mereka. Setidaknya kita menganggap dan mengingat mereka sebagai generasi pendahulu. Segala kelemahan kita sebaiknya dimaklumi, tapi jangan terlalu ditolelir, minimal masih dijadikan evaluasi. Tidak bermaksud mendiskreditkan dan mengkomparasikan mereka dengan kita. Setiap generasi menghadapi masalah-masalah atau tantangan-tantangan yang berbeda-beda. Generasi pendahulu menghadapi hal-hal yang dapat dengan mudah diidentifikasi artinya hal-hal itu dapat diketahui apakah itu merupakan ancaman atau bukan. Tidak membutuhkan energi pikiran yang tinggi untuk mengaktifkan alat sensor indentifikasi ancaman dan gangguan. Perlakuan dan cara mensikapi ancaman dan gangguan itu jelas dan dapat dipahami. Konteks pikiran atau energi pikiran mereka kebanyakan teralokasikan pada urusan yang layak dipikirkan dan menjadi fokus pencapaian hidupnya. Dapat dikatakan era mereka menggiringnya menjadi fokus di wilayah atau kasta masing-masing. Misalnya bangsa Mongol masa lalu yang fokus dengan kemampuan militernya, bangsa Jawa kuno yang fokus kepada keluhuran manusia, bangsa Cina yang fokus perdagangan yang mungkin sampai sekarang, dan umat islam dahulu yang fokus dengan teknologi dan kebudayaan. Mereka tidak terlalu memikirkan reward yang menjalar kemana-mana dan karakter orang seperti itu sudah jarang ditemui pada orang-orang sekarang. Kebanyakan mereka tidak terlalu melirik reward yang menjalar kemana-mana itu, misal ingin pujian, poin, reputasi, pamor, dan surga. Kebanyakan arah atau energi pikiran mereka sangat fokus dalam mejalani fungsi kasta, pengamalan ilmu, dan bidangnya karena mereka telah menemukan fadilah dirinya. Mereka dengan lancar mampu memahami urutan langkah yang logis dalam kehidupannya. Mereka sudah terbiasa dengan algoritma kehidupan sehingga mereka memahami siapa dirinya.
Lain halnya zaman ini. Orang-orang saat ini menghadapi keadaan yang sangat komplek dan rumit. Apa yang dihadapinya tidak mudah diidentifikasi yaitu apakah itu merupakan ancaman atau bukan. Sangat dibutuhkan energi pikiran yang lebih untuk mengaktifkan alat sensor ini agar menghasilkan resolusi yang sesuai dalam membaca permasalahan yang ada di zaman ini. Banyak orang-orang sekarang yang tidak sanggup mengaktifkan kemampuan sensrornya. Banyak yang salah mengidentifikasi ancaman dan gangguan. Ada kalanya ancaman dan gangguan yang muncul semakin dijaga dan di biarkan begitu saja. Era yang penuh dengan obat bius pikiran bahkan obat bius ini sudah dianggap sebagai makanan pokok. Sering ada seseorang yang mampu memahami suatu hal dan hal itu merupakan ancaman dan gangguan terhadap pikirannya, orang itu bergegas menjahuinya, tapi tiba-tiba alat sensornya mati dan kemampuan algoritmanya hang, ia tidak sanggup melangkah lagi karena orang-orang di sekitarnya menciptakan hambatan untuk menjahui hal itu seolah-olah orang-orang di sekitarnya bagaikan gas lemas yang dihirup pikirannya. Ia mengikuti arus yang menghanyutkan banyak orang-orang. Arus itu adalah tren yang lahir dari sekumpulan orang yang pertama mengawali minum bahkan makan obat bius itu. Sekumpulan orang itu bagaikan ahli sosiologi plus psikologi yang tahu cara bagaimana menciptakan tren sesuai kemauan mereka agar tren itu diikuti orang banyak.
Kebanyakan orang-orang saat ini tidak dapat menghindarkan dirinya untuk tidak berakting. Pikiran mereka dipaksa membaca sinopsis yang dibuat oleh Si Trend itu lalu memerankan tokoh yang bernama "gaya" yang dirancang oleh Si Tren itu. Tidak bermaksud menganggap kebanyakan orang-orang saat ini memiliki ketajaman pikiran yang rendah dan sensor zaman yang murahan, tapi itulah adanya. Kita telah dipaksa untuk akting sesuai kehendak tren di dalamnya. Pola zaman ini tidak memberi kesempatan untuk memahami diri kita dan mencegah diri kita untuk menemukan fadilah kita di dalam kehidupan. Ketika kita tidak menggubris kemauan pola zaman ini, ia akan membungkam kita hingga pikiran kita tidak sanggup bernafas sampai ahirnya pikiran kita menyerah kepadanya.
Pada dasarnya pola zaman ini juga memaksa kita untuk akting agar kita menanggalkan kemampuan alogritma kita. Kemampuan algoritma bukan hanya urusan ilmu IT dan Matematika. Algoritma sesungguhnya banyak diterapkan di gambaran kehidupan dan peristiwa zaman. Setiap orang memiliki kemampuan algoritma berbeda-beda, tapi kemampuan ini dapat diasah. Kemampuan algoritma mampu membiasakan pikiran seseorang bekerja secara logis dan tajam. Seseorang yang memahami hakikat dan terbiasa menggunakan kemampuan algoritma kemungkinan besar terhindar dari situasi sifat fanatik, doktrin, dokma, dan radikal brutal. Situasi itu seperti akting yang tidak disadari artinya orang itu sebenarnya akting, hanya saja mereka tidak sadar jika dirinya sedang akting. Sama saja situasi ini memaksa seseorang menjadi sosok yang bukan dirinya. Perancang zaman mungkin beranggapan bahwa seseorang mampu disibukkan dengan cara membuat seseorang itu sibuk menjadi sosok yang bukan dirinya. Keadaan seseorang yang sedang akting cenderung membuat orang enggan menggunakan kemampuan algoritmanya karena energi pikirannya terpecah dan sia-sia hanya untuk acting yang tidak perlu. Perancang zaman sadar dengan kausalitas ini. Meskipun tidak ada kajian empiris mengenai kemampuan algoritma seseorang berbanding lurus dengan kemampuan memahami peristiwa zaman, tapi setidaknya tulisan ini mampu memancing seseorang menghubung-hubungkan gambaran kondisi-kondisi yang dibahas di tulisan ini.
Para perancang pola zaman ini enggan diketahui rencana di baliknya. Perancang zaman ini menyibukkan umat manusia dengan tren-tren yang dibuatnya. Maksud tren di sini adalah kebiasaan gaya dan hampir seperti tradisi, tapi bersifat sementara dan tidak permanen. Di samping itu kemunculannya secara tiba-tiba dan booming lalu selang beberapa lama lenyap. Tren-tren yang dirancang mereka kemungkinan merupakan bagian dari formulasi yang mendukung terwujudnya rencana para perancang pola zaman. Seperti halnya wilayah pendidikan, mereka sudah merancang tren-tren di dalamnya. Tren-tren ini bagaikan kutil yang muncul dengan sendirinya di atas sistem pendidikan yang ada walaupun tren-tren ini di luar bagian dari ekosistem sistem pendidikan. Sebenarnya kemunculan tren-tren itu sudah diperhitungkan dan dilakukan riset yang matang oleh mereka. Kita soroti tren-trend yang muncul di kaum pelajar, lihatlah gaya pergaulan, gaya pakaian, dan penampilannya. Kebanyakan terlihat kontras dengan adat dan tradisi budaya ketimuran. Tren-tren ini telah merendahkan manusia yang sedang menimbah ilmu untuk mendapatkan cahaya tuhan. Tren-tren ini cenderung menyuruh manusia berakting menjadi kaum cerdas melalui alat-alat bernama gelar, poin, dan sertifikat.
Kita dapat memperhatikan generasi tepat sebelum kita. Generasi itu merupakan generasi terahir di mana anak-anak masih mengalami permainan klasik. Permainan klasik kebanyakan dirancang untuk mengemas gambaran kehidupan manusia sesungguhnya. Leluhur kita mungkin menciptakan permainan klasik sebagai salah satu cara mencerdaskan kehidupan bangsa. Permainan ini memberikan kesempatan anak kecil untuk mendongeng, bersimulasi, berakting peran tokoh virtual yang masih logis wujudnya dan kira-kira 60 % ke atas masih mudah ditiru, serta mengarahkan untuk terjun langsung secara fisik maupun pikiran dalam permainan. Kelak ketika dewasa ia menemukan makna permainan itu, dan ia menyadari simulasi permainan yang dilakukan di masa anak-anak bahwa permainan itu merupakan gambaran yang benar adanya di kehidupan nyata.
Lain halnya dengan masa sekarang, anak-anak era sekarang cenderung disibukkan dengan permainan yang menyita banyak waktu, imajinasi berlebihan yang kerap kali muncul kekejaman yang kadang fulgar. Mungkin saja para perancang pola zaman menggunakan permainan moderen untuk memperlancar tujuan mereka. Permainan moderen kebanyakan merupakan simulasi yang tidak ada di kehidupan nyata. Ketika mereka dewasa, mereka terpatri bahwa kehidupan itu tidak nyata dan ia bebas semau-maunya. Permainan moderen ini tidak membekali mereka dengan informasi kehidupan sesungguhnya yang ujung-ujungnya membuat mereka terkejud ketika hadir secara nyata di masyarakat. Mereka bingung , tidak percaya diri, dan gugup membawa dirinya di tengah-tengah masyarakat yang menyebabkan mereka mencari tempat yang memungkinkan mereka membebaskan ekspresinya dan inilah tempat yang bernama medsos yang banyak mereka tuju. Energi pikiran mereka terfokus pada urusan sosok dirinya memakai topeng di dunia virtualnya agar topeng itu diketahui sosok-sosok sejenisnya dengan kata lain energi pikiran mereka terkuras hanya untuk akting. Inilah ekosistem bernama nitizen yang isinya orang-orang seperti itu. Mereka menjadi alat yang digunakan oleh para perancang pola zaman untuk memproduksi isu.
Mungkin narasi di tulisan ini menggiring kita menyalahkan para perancang pola zaman. Tapi sebaiknya kita tidak serta merta menyalahkan mereka. Mereka bisa saja dikirim tuhan untuk menghukum kita karena keangkuhan kita sebagai generasi yang merasa paling cerdas, maju, dan canggih. Di hadapan generasi sebelumnya kita jumawa hanya karena pencapaian yang telah kita lakukan sedangkan kebanyakan dari kita lupa bahwa pencapaian itu tidak pernah terwujud atas peran generasi sebelum kita. Mungkin saja keselamatan pola pikir kita diuji tuhan dengan ancaman dan gangguan yang sangat rumit, kompleks, dan susah diidentifikasi. Pada dasarnya kita sedang diserang dan serangan itu bukan menyerang fisik kita lagi tapi serangan itu berupa serangan pola pikir.
Anda telah berhasil mengidentifikasi pemikiran orang Indonesia zaman dulu dan zaman now, orang zaman dulu pemikirannya dilandasi nengan Nasionalis tanpa pamrih, sedang orang sekarang pemikirannya hanya pada bagaimana mengumpulkan materi untuk kehidupan pribadinya.
Kita seharusnya mengingat-ngingat masa silam. Kita bisa mengambil hal baik dari masa lalu begitupula kita bisa mengambil hal yang mungkin baik di masa sekarang, tentunya semua hal itu konteksnya tentang kemaslahatan bersama. Sayangnya sekarang kurang melakukan pengambilan hal baik dan maslahat itu, lebih parah lagi tebalik-balik, yang baik ditinggalkan yang buruk malah dipakai.