Pekan depan, para siswa secara serentak bersama-sama ikut UN. Satu mata melajaran kecerdasan komunal saja yang diujikan kepada para siswa. Beberapa siswa terlihat mempersiapkan diri menghadapi UN. Mereka berkumpul dan mengajak yang lainnya menghadapi UN. Mereka membentuk kelompok-kelompok belajar. Masing-masing kelompok sudah menetapkan ketua kelompoknya. Pada dasarnya, para siswa sudah memiliki buku pedoman yang dapat digunakan untuk menjawab soal-soal ujian di mata pelajaran ini. Setiap ketua kelompok kebanyakan berperan mendampingi teman-teman mereka dalam membawahas kisi-kisi cara menjawab soal UN. Ada beberapa ketua kelompok yang mengarahkan teman-temannya belajar pada buku pedoman ini yang telah dimiliki masing-masing siswa. Namun ada ketua kelompok yang menggiring para siswa agar mendengarkan kisi-kisi cara menjawab dari ketua kelompok itu.
Tidak perlu dipermasalahkan siapapun ketua kelompok siswa-siswa. Apa lagi ujian nasional pekan depan bukanlah ujian sungguhan untuk mata palajaran kecerdasan komunal. Para siswa ramai-ramai dan antusias hanya sekedar untuk berharap mendapat kaos dan snack yang dibagi-bagikan oleh ketua mereka. Mereka hanya senang dengan suasana berkumpulnya saja. Meraka menganggap sampaian materi kisis-kisi dari ketua kelompoknya sekedar materi bualan saja. Tidak masalah bagi mereka harus debat atau ribut dengan perbedaan kisi-kisi menjawab, lagian kebanyakan dari mereka sudah lama tidak memacu andrenalinnya saat debat atau ribut dengan kelompok lain.
Tidak hanya pekan depan saja acara ujian mata pelajaran kecerdasan komunal bagi para siswa. Pada dasarnya, kapanpun para siswa menjalani ujian mata pelajaran ini. Pekan depan hanyalah salah satu spot atau soal yang harus dijawab para siswa. Pekan depan bukanlah soal yang tergolong rumit bagi para siswa. Kebanyakan dari mereka tidak terlalu memperdulikan satu soal ini, bahkan ada dari mereka yang tidak mengetaui soal ini. Hanya saja ada dari mereka yang terlalu terpaku mensikapi satu soal pertanyaan ini. Entahlah kenapa kok ada yang seperti ini, mungkin saja mereka terlalu lama mengkuti pelajaran-pelajaran di sekolahan formalnya.
Rata-rata siswa diberi kemampuan menjabab soal-soal mata pelajaran kecerdasan komunal. Dalam diri mereka sudah dilengkapi buku pegangan untuk menjawabnya. Setiap siswa selalu membawa buku pegangan ini, bahkan kebanyakan siswa sebelum mendaftarkan dirinya ke dalam mekanisme pendidikan lingkungan sudah memiliki buku ini. Para orang tua, neneknya, buyutnya, canggah-nya, mbah debog bosok-nya, mbah ampleng-nya, dan seterusnya secara bersama-sama dan berkelanjutan telah men-setup peradabannya dengan plugin kecerdasan komunal yang bermanfaat untuk setiap generasinya. Peradaban telah berperan dengan baik untuk mengarahkan setiap siswa agar selalu membawa buku ini, baik si siswa secara sadar maupun tidak sadar. Tidak heran jika ada siswa yang hafal di luar kepala yang hafal isi buku pegangan ini. Bahkan secara otomatis buku pegangan ini me-run di dalam pikiran mereka.
Hebat benar pendahulu-pendahulu para siswa membekali anak-cucunya dengan buku ini. Pendahulu-pendahulu mereka sepertinya sudah mampu menggambarkan situasi zaman yang bakal terjadi, ya, bagus juga analisa statistik mereka dengan presisinya. Barang kali mereka telah sekolah di luar negeri. Luar biasa peradaban yang telah dibangun mereka dan telah berlangsung di banyak generasi. Buku mereka telah banyak membantu persoalan-persoalan kehidupan di setiap generasi. Namun masalahnya bukan sekedar menjawab soal mata pelajaran kecerdasan komunal saja, tapi apakah para siswa masih tetap mau menggunakan buku pedoman itu, setidaknya menyadari keberadaan buku pedoman itu.
Lupakan saja keberadaan buku pedoman ini. Zaman sudah mencemooh dan memperolok-olok buku ini. Ketua kelas kalian saja enggan mendalami isi buku ini. Bebebera dari siswa sudah mulai mengabaikan pemberian nilai yang diberikan gurunya, malahan lebih tertarik saling menilai atar siswa. Itu sepertinya yang mereka suka. Bayangkan saja, para siswa selalu memilih ketua kelas hingga ketua OSIS yang tidak paham isi buku pedoman ini dan kecerdasan komunalnya saja masih dipertanyakan.
Sepertinya materi dalam buku pedoman ini terlalu berat untuk beberapa para siswa atau mereka tidak sadar telah memiliki buku pedoman ini. Jika mereka sadar memilikinya tapi tidak mau memahaminya, mungkin saja malu kepada zaman. Bisa jadi zaman ini memiliki kekuatan menjauhkan para siswa dari buku pedoman ini. Kekuatan apa itu? Gombalisasi ya...