Tulisan ini dibuat untuk mengetahui siapa lebah dan siapa kunang-kunang. Anggap saja tulisasn ini tentang perumpamaan.Mari kita simak deskripsi cerita singkatnya. Tulisan ini bukan hasil analisa ilmiah, ini hanyalah tulisan cerita fiksi deskriptif. Di alam ini, kedua jenis serangga ini mungkin saling mengenal. Hanya saja bukti interaksi keduanya sangat jarang dijumpai, bahkan mungkin saja tidak ada.
Seting lokasi ada di bumi saja, dan pola hidup kedua jenis serangga itu sebagaimana umumnya kita ketahui. Bangsa lebah yang tugas hariannya mengumpulkan madu atau makanan, ada sebagian lagi yang merawat telur dari ratu, mejaga sarang, dan tugas-tugas struktural lainnya. Melihat kecerdasan komunalnya, sudah boleh dikatakan organisme dan terlalu baik jika dikatakan sebagai organisasi. Anatomi tubuh pada masing-masing lebah merupakan gambaran fungsional mereka. Selain semut, lebah juga digunakan sebagai perumpamaan oleh tuhan untuk mahluk-mahluknya yang mau berpikir. Ya, saya harap anda mau berpikir. Di sudut pandang bangsa kunang-kunang, saya anggap sebagai mana mestinya kita jumpai di alam. Keistimewaan jenis serangga ini yang sudah biasa kita kenal berupa kemampuan tubuhnya memproduksi cahaya.
Cerita ini mengumpamakan mereka sudah saling kenal, sebagai mana layaknya antar bangsa manusia yang saling berinteraksi. Dikisahkan kedua jenis serangga ini awalnya tidak saling memperdulikan perbedaan dan prilakunya masing-masing. Sedikitpun keduanya tidak saling mengamati prilaku dan pekerjaan utama yang menonjol di keduanya. Kedua jenis bangsa serangga ini hidup berdampingan dalam satu lingkungan. Ekosistem berjalan seperti biasanya saja, tidak perlu diimajinasikan yang tidak-tidak. Namun saya tambahkan sedikit seting peristiwa alam yang tidak biasa di dunia nyata dan merupakan awal dari klimak dalam jalan cerita ini.
Lebah dengan peradabannya terlihat solid dalam menjaga masyarakatnya. Kompak dan tekun dalam melestarikan tradisi-tradisinya. Bangsa lebah sangat konsisten dalam menjalani peranan sosialnya masing-masing. Mereka tidak mempermasalahkan perbedaan tugas mereka masing-masing. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai gotong royong. Nilai-nilai gotong royong mereka sudah lengkap dan terlaksana dengan baik. Kebersamaan, Persatuan, Sukarela, Sosialisasi, Kekeluargaan, dan Tolong menolong, dan semuanya sudah sah dikatakan terpenui dan berlangsung dengan baik. Bahkan nilai gotong royong yang poin kekeluargaan benar-benar terjadi secara harfiah, karena seluruh individu dalam satu kawanan berasal dari satu induk. Mereka terus upto date dengan kebijakan-kebijakan alam yang berlasung berjuta-juta tahu. Faktor gotong royong yang mereka miliki disinyalir menjadikan mereka jenis serangga yang berhasil menjalani evolusi denga baik. Sedikit melebar dari bahasan, di sini saya tidak memasukkan fariabel keberadaan manusia. Manusia saya anggap tidak ada, agar mekanisme ekosistemnya konstan. Dalam dunia nyata, manusia " dipasrahi " sebagai manager baru dalam pengelolaan alam ini, mereka bahkan banyak melakukan custom. Namun saya menilai manusia sangat ceroboh, ngawur, dan asal-asalan dalam pengelolaannya sehingga banyak bermunculan bug-bug di alam ini sehingga ekosistem yang ada di alam tidak berjalan secara default. Ya, sudahlah, saya kembali ke wilayah ceritanya lagi.
Kunang-kunang terkenal dengan kemampuan tubuhnya menghasilkan cahaya. Pikiran kita ketika mendengar binatang ini kebanyakan berkaitan dengan serangga malam hari yang bersinar. Binatang ini kerap kali dijumpai di persawahan, kumpulan semak-semak liar, wilayah yang masih rimbun tetumbuhan, dan yang jelas jauh dari hiruk pikuk keramaian manusia. Mungkin di antara kita sudah mulai jarang menjumpai binatang ini. Bahkan mungkin ada yang merasa terheran-heran ketika melihatnya lagi. Padahal masa kecil dulu kerap kali bermain-main dengan binatang ini. Jika Anda sudah merasa tidak pernah lagi melihat binatang ini, anggaplah keadaan ini secara wajar-wajar saja. Ya, itulah resiko yang harus diterima binatang ini saat kedatangan manusia moderen. Saya juga prihatin dengan nasib tikus, tokoh terkenal ratai makanan dan selalu menjadi tokoh antagonis di kalangan para petani. Saya curiga, bisa jadi kelak suatu saat tikus terjadi kepunahan. Mereka punah bukan dibasmi secara sistematis oleh manusia, tapi karena sering terkelindas ban mobil di setiap jalan beraspal. Hampir setiap hari saya menjumpai bangkai-bangkai baru tikus berserakan di jalan beraspal. Jika kepunahan tikus menjadi kenyataan, marilah kita berterimah kasih kepada para pemilik mobil, Mudah-mudahan terus dilakukan pelebaran jalan demi melayani pemilik mobil saat mereka mengendarai mobilnya. Dan mudah-mudahan tuhan tidak mengendarai mobilnya agar tidak mengelindas tikus-tikus yang kebanyakan memiliki mobil dengan merampok soudara-sodaranya secara sah, resmi, terlindungi, dan sistematis. Tentang tikus, itu hanya tambahan saja, jangan terlalu serius dipikirkan. Berikutnya, kita fokus saja ke ceritanya.
Alam masih bersikap wajar-wajar saja. Siang malam saling berganti tepat waktu. Matahari masih rutin menyinari bumi sesuai durasi yang telah ditetapkan tuhan. Begitu pula jatah durasi yang diberikan kepada malam. Siang dan malam mendapatkan porsi tampil yang tepat dan dan sempurna dari tuhan. Di siang hari intensitas aktifitas Bangsa lebah sangat tinggi dan ada jenis-jenis tertentu di bangsa lebah yang masih bekerja di malam hari. Dengan ukuran tubuh mereka seperti itu, wilayah operasi kerja mereka tergolong sangat luas. Keberadaan sumber makanan merekalah yang menentukan luas tidaknya wilayah operasi kerja mereka. Terang hari, pagi, siang, dan sore merupakan waktu kerja bangsa lebah yang dapat diperhatikan. Kawanan lebah penjelajah bertugas mencari sumber makanan untuk disampaikan kepada lebah pengangkut. Lebah penjelah seolah-olah tim ekspedisi dan lebah pengangkut bagaikan kurir pengiriman barang. Di sarang mereka terdapat divisi-divisi pekerjaan yang lebih banyak dan komplek. Ada yang membangun sarang dengan ciri khas objek heksagonal. Ada yang mengatur penyimpanan makanan, ada yang merawat ratu, telur, larfa, dan juga memantau perkembangan lebah yang kelak menjadi cikal bakal ratu dikemudian hari. Lain halnya bangsa kunang-kunang, tidak sekompleks pekerjaan yang dimiliki bangsa lebah. Bangsa kunang-kungan tidak memiliki sarang yang sangat permanen seperti halnya bangsa lebah. Mereka seolah-olah nomaden. Mereka sering terlihat berkelompok saat kondisi tertentu, biasanya saat dekat dengan makanan yang mereka temui. Anggap saja mereka berkafilah-kafilah. Aktifitas mereka umum dilakukan di malam hari. Kunang-kunang menjadi hiasan alam saat hari gelap. Kehadiran mereka tidak membuat malam terlalu gelap gulita.
Mungkin sudah berjuta-juta tahun kedua bangsa serangga ini tinggal di bumi ini. Mereka berdua tidak pernah membuat masalah dengan alam. Alam telah menyediakan kebutuhan mereka setiap hari. Alam men-setup dirinya agar kompatibel dengan kedua bangsa serangga ini. Hingga tiba pada waktunya, tuhan menguji kedua bangsa serangga ini melalui alam. Kondisi alam menjadi tidak biasa. Malam tidak jelas kapan berakhirnya. Bangsa lebah merasa resah dengan kondisi alam seperti ini. Cahaya matahari yang menopang aktifitas pekerjaan bangsa lebah tidak ada lagi. Gejolak internal bangsa lebah mulai bermunculan. Mereka berharap ada kemunculan cahaya demi berlangsungnya aktifitas mereka mencari makanan, terserah apapun cahaya itu.
Pada suatu ketika kawanan kunan-kunang melintas di dekat sarang bangsa lebah. Beberapa lebah menyaksikan cahaya yang dipancarkan kawanan kunang-kunang. Beberapa lebah bergegas menghapiri sumber cahaya itu. Namun dengan sendirinya, kawanan kunang-kunang itu menghampir sarang bangsa lebah. Inilah awal mula kedua bangsa lebah dan bangsa kunang-kunang saling berinteraksi.
Sort: Trending