Konsep dan Teori Sosiologi Islam Ibnu Khaldun
Salah satu sumbangan yang orisinal dari Ibnu Khaldun adalah teorinya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan Negara, kejayaan, dan keruntuhannya. Konsep Ashabiyah ini merupakan poros utama dalam teori-teori sosial Ibnu Khaldun. Secara etimologis Ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti mengikat. Secara fungsional Ashabiyah menunjuk pada ikatan social budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Selain itu, Ashabiyah juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok (Al-Khudhairi, l996: l43).
Dalam berbagai penjelasan Ibn Khaldun tentang masyarakat, istilah nomaden dan menetap menjadi dua konsep selalu muncul, yang pertama identik dengan keterbelakangan, primitif dan desa sedang yang kedua identik dengan kota, berperadaban dan maju (kota) dan diklasifikasikan dari sudut pandang kontrol sosial, menjadi dua tipe; badawa dan hadarah (primitif dan peradaban). Di kalangan masyarakat primitif hubungan darah lebih diutamakan, kontrol sosialnya masih cukup tinggi. Sebaliknya, dalam masyarakat berperadaban, kontrol sosial lebih rendah (Baali, 2003). Pengklasifikasian ini juga di dasarkan pada konsep ashobiyah dengan asumsi bahwa pada masyarakat badawa ashobiyah masih sangat kuat sedangkan pada masyarakat hadarah, ashabiyah sudah cenderung melemah.
Tinggi-rendahnya kadar Ashabiyah dapat dijadikan alat ukur untuk menggolongkan masyarakat Badawah atau Hadarah. Masyarakat badawa dengan ashobiyah yang kuat cenderung sederhana, hidup mengembara dan lemah dalam peradaban. Tetapi perasaan senasib, dasar norma-norma, nilai-nilai serta kepercayaan yang sama pula dan keinginan untuk bekerjasama merupakan suatu hal yang tumbuh subur dalam masyarakat ini. Berbeda halnya masyarakat hadarah yang ditandai oleh hubungan sosial yang impersonal atau dengan tingkat kehidupan individualistik. Masing-masing pribadi berusaha untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, tanpa menghiraukan yang lain. Demikian, Khaldun menjelaskan bahwa semakin moderen suatu masyarakat semakin melemah nilai ashabiyah (Muslim, 20l2).
Menurut khaldun (dalam Muslim, 20l2) maju-mundurnya suatu masyarakat bukan disebabkan keberhasilan atau kegagalan sang Penguasa, atau akibat peristiwa kebetulan atau takdir, tetapi terletak pada ashobiyah-nya. Tumbuh dan berkembangnya masyarakat dari badawa menuju hadarah memiliki kunci yaitu ashobiyah, semain kuat ashobiyah akan semakin kuat struktur masyarakat. Dan yang menjamin ashobiyah paling kuat adalah ikatan persaudaraan, keturunan, kekerabatan setelah itu ashobiyah persekutuan atau ashobiyah kesetiaan atau perbudakan. Agar masyarakat hadarah tetap kuat dan tidak menuai kehancuran dengan cepat maka ashobiyah harus kuat karena semakin longgar ashabiyah maka masyarakat akan semakin lemah sehingga gerbang kehancuran sebuah peradaban akan menjadi lebih dekat dan lebih cepat.
Konsep ashobiyah yang digagas ibnu khaldun tentunya didasarkan pada pengalaman dan pengamatannya atas realitas sosial masyarakat muslim pada masanya dan tidak didasarkan pada masyarakat barat sehingga analisa yang kemudian dikembangkan bersifat konstekstual dengan kompatibel dengan fenomena masyarakat muslim dan dapat digunakan dalam menganalisa perkembangan masyarakat muslim juga. Artinya, pengetahuan dan analisa yang dikembangkan berdasarkan data-data empiris masyarakat islam/muslim pada masa Khaldun tidak memiliki dimensi hegemoni pengetahuan karena benar-benar didasarkan pada realitas objektif masyarakat muslim. Hal ini tentu berbeda apabila corak panda barat yang kita gunakan dalam menganalisa masyarakat muslim pada masa khaldun. Bisa jadi kesimpulan atas keruntuhan peradaban islam yang terjadi pada masa lalu jika menggunakan persepktif barat adalah karena masyarakat muslim pada masa itu masih terbelakang dan corak berikirnya masih sangat teoligis dan belum berkembang menjadi positivis sebagaimana yang dikatakan oleh Comte misalnya. bersambung
Sort: Trending