“Kau curang, tidak bisa cadik ini dinaki 3 orang,” teriak Lintang.
Cadik itu kini oleng, hoyong tidak jelas arahnya. Mulai tak sanggup menahan tiga bocah berkelahi di atasnya. Tanpa badai dan hujan, bahkan mendungpun tak melintas, namun cadik itu kini terlihat seperti diaduk tangan jahil yang berusaha menjawilnya. Seperti digoda gelombang pasang. Cadik itu mulai retak kiri kanan, rangkanya yang tua dan terbuat dari kayu sisa membuat pertahanannya lemah. Salah seorang bocah tak sengaja mematahkan dayungnya, hilang keseimbangan terinjak sana sini dan putus pasaknya, hingga…
“Byarrr”
Bujang terbangun, tetesan hujan dari atap rumbia yang bolong mengenai mata sayunya.
“Ah, harusnya dari kemarin aku tukar rumbia itu,” batin Bujang.
Bujang meracik rokok lintingnya, potongan cengkeh dan kemenyan yang halus bertemu dengan pemantik merupakan pertemuan pertama hari itu. Tatapan kosong menerawang pada deretan pinang yang berjejer, mirip formasi berbaris murid SD setiap senin. Tatapan kosong itu kini berganti tamparan di kaki, tangan, sesekali juga mendarat di pipinya. Nyamuk-nyamuk tak menyia-nyiakan kekosongan Bujang. Jangkrik- jangkrik dalam botol yang persis di sampingnya menjadi alunan pagi yang tak beraturan.
“Kau tidak jadi mengail belut dengan Amir”?
Suara mak Inah mengejutkan Bujang yang langsung memadamkan linting di tangannya.
“Iya Mak, selepas subuh,” jawabnya.
Jadilah sepagi buta, Bujang berangkat ke pondok tepi sawah meski alam sadarnya belum sempurna berdamai dengan kantuk. Terpaksa menuruti permintaan Amir. Mengail belut di tengah sawah di pagi buta? Jika bukan karena sepotong kisah itu, tidak akan dia rela menunggu di pondok ini. Pondok yang bertahun lalu adalah sarang terbesar mereka, tempat pelarian paling strategis dari kejaran kepala sekolah atau bisa jadi hotel dadakan saat dimarahi mak Inah seharian. Bujang keliru, pertemuan pagi ini tak hanya sekedar mengail belut di petak sawah.
“Hoi, boy . Bangun kau!”
Suara Amir menghentikan sesi kenangan itu. Bujang yang masih terkejut bercampur haru masih membutuhkan waktu untuk menyambungkan semua kejadian, memaksakan senyumnya demi menyambut sahabat lama.
“Untuk apa kau kemari? Katakan sebenarnya,” Kata Bujang datar.
“Mengail belut,” Amir menjawab sekenanya.
“Bohong! Kalau soal belut kau bisa dapat dari pengepul atau di pasar setiap minggunya. Tidak perlu menunggu 8 tahun setelah kau pergi dan pindah ke kota yang hanya berjarak 45 km dari sini. Kenapa pagi ini? kenapa hari ini?” Pertanyaan itu mengalir begitu saja dari Bujang.
“Terlalu banyak kau bertanya, ingat apa akibat dari keterlaluan kita yang terlalu banyak? Sudahlah kalau kau tak ingin menemani aku, biar aku yang menyusuri semuanya sendiri”.
Amir berjalan menuruni pematang diikuti langkah Bujang yang menyeret sisa–sisa kantuk, tanpa sengaja menyeret semua kejadian bertahun silam. Kepalanya masih dipenuhi segala penyesalan dan kebutuan akan penjelasan.
“Amir berhutang penjelasan,” batin Bujang.
Sepagi itu tidak banyak belut yang berhasil mereka dapat, memang bukan itu tujuan utama Amir mengajak Bujang. Mengail belut hanyalah pembukaan dari penyusuran jalan lama yang harus dikunjungi atau bisa jadi diperbaiki. Selepas sawah kunjungan berikutnya adalah danau, butuh 30 menit berjalan kaki melewati hutan-hutan kecil yang begitu damai ditimpali suara jangkrik yang masih bising.
“Ah, Lintang senang sekali menangkap jangkrik,” Amir memecah keheningan.
Lintang. Nama yang sedari 8 tahun lalu sangat berat diucapakn Bujang, bahkan sekedar mengingatnya saja sangat menyayikitkan. Hanya dengan memandang jangrik yang setia dalam botol di biliknya bisa sedikit meredam rasa bersalah Bujang, dan kini begitu santai Amir mengoyak masa kelam itu. Mengungkitnya sama saja membalik semua lembar yang susah payah ia kubur.
“Kau dan Lintang selalu memaksaku bangun pagi subuh demi misi kalian mencari belut, berburu jangkrik dengan berbohong pada mak Inah, ingat hari ketika kita naik cadik?” tanya Amir.
“iya, dan kenapa kau mau mengulangnya?” Bujang menjawab datar.
“Kenangan,” jawab Amir.
“Kenangan buruk, bahwa aku penyebab kematian Lintang?” Bujang berteriak.
Bersambung