Character building masih jadi isu bagi bangsa ini. Semua kebobrokan yang terasakan kini lahir dari adanya karakter kita yang rapuh. Karenanya, dalam budaya politik bangsa, karakter harus dijadikan landasan ideal.
Ini terkait eksistensi manusia itu yang hakikatnya sebagai makhluk politik” (The Ethics: Aristoteles). Melalui politik manusia dapat mencapai nilai moral yang paling tinggi. Dan di luar polis, manusia bisa menjadi sub-human (binatang buas) atau super-human (Tuhan).
Karakter sebagai muatan budaya politk bangsa menjadi topik dalam Forum Group Diskusi (FGD) yang diselenggaran Lembaga Pengkajian MPR-RI dan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, pada hari Kamis (1/3), mengundangkan saya menjadi salah seorang pembahas.
Diskusi yang berlangsung di Hermes Hotel, Banda Aceh, sempat membuat saya merasa keder dan rendah diri. Karena memamg, baik strata akademis maupun kepakaran, saya sudah pasti sangat jauh dibanding para professor, doctor dan pakar yang hadir dalam forum tersebut.
Karenanya ketika mendapat giliran yang mempresentasikan makalah yang sebelumnya sudah dikirim ke panitia, saya menggambarkan secara sederhana bahwa karakter itu dibentuk dan dimulai dari rumah, dari setiap orang. Karenanya pendidikan karakter bukanlah satu domain tersendiri, yang dipersepsikan dalam dunia pendidikan atau terpisah dari penguasaan ilmu.
Sebagai mukaddimah, bahwa membentuk karakter seseorang, bukan didasarkan pada ada-tidaknya dalam kurikulum yang berisi teks-teks, harus memerlukan tafsir. Dan pendidikan tidak hanya olah pikir (literasi), dan olahraga (kinestetik), tapi harus selalu berkorelasi dengan olah hati (etik dan spiritual) dan olah rasa (estetik).
Karakter berhubungan dengan eksistensi manusia. Bahwa "manusia berkarakter" mereka yang menempatkan altruisme sebagai kebajikan hidupnya, Individu yang menyadari kemaslahatan adalah milik semua orang. Itu harus diperjuangkan agar benar-benar mewarnai kehidupan setiap orang. Karenanya, agenda pendidikan sejatinya bagaimana mencetak murid-murid yang mumpuni menguasai ilmu juga sekaligus humanistic dan bermoral. Bukan hanya sekadar aksesori semu yang secara substansial dan simbolik belaka.
Penguasaan ilmu harus dijauhkan dan terbebaskan dari tabiat amoral. Agar proses pembelajaran ilmu agar tidak menjadi liar, maka sepenuhnya diperlakukan dialektika jiwa dan moral lewat pendidikan karakter. “Ini ibarat melihat mutiara dalam kotak perhiasan yang cantik. Kebanyakan orang hanya fokus pada kotak pembungkus di luarnya, dan bukan pada mutiara di dalamnya. Terlalu fokus pada kotak luarnya hanya akan membuat mutiaranya jadi terlupakan. Ini paradigma yang harus diubah orangtua saat bicara pendidikan," kata Bill McIntyre, Director of International Education Practice Franklin Covey, dalam seminar guru dan kepala sekolah "The Leader in Me" di Jakarta, Sabtu (5/4/2014)
Anak-anak adalah mutiara di dalam kotak. Artinya, mendidik mereka bukan sekadar memoles luarnya--sisi akademik, tapi juga membentuk karakter dalam dirinya. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan berupa nilai moral dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.
Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Maka pendidikan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pendidikan karakter individu seseorang. Secara hakiki manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan (Pusat Kurikulum, 2010).
Menjadikan karakter sebagai muatan budaya politik bangsa, di antara yang harus dilaksanakan adalah membangun karakter yang berkemampuan dan berkebiasaan memberikan yang terbaik, giving the best, sebagai prestasi yang dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran. Karenanya pendidikan karakter tidak hanya untuk membangun karakter pribadi berbasis kemuliaan semata, tetapi secara bersamaan juga bertujuan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa, yang bertumpu pada kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa dan negara (Kompas, 2 Mei 2011).
Sebagaimana dikatakan mantan Mendiknas, Muhammad Nuh, bahwa sedang terjadi fenomena sirkus, yaitu tercerabutnya karakter asli dari masyarakat. Fenomena anomali yang sifatnya ironis paradoksal menjadi fenomena keseharian, yang dikhawatirkan pada akhirnya dapat mengalami metamorfose karakter.
“Memang kadang-kadang menjadi lucu dan mengherankan, betapa tidak mengherankan penegak hukum yang mestinya harus menegakkan hukum ternyata harus dihukum. Para pendidik yang mestinya mendidik malah harus dididik. Para pejabat yang mestinya melayani masyarakat malah minta dilayani dan itu adalah sebagian dari fenomena sirkus tadi itu. Itu semua bersumber pada karakter,” ujar Mohammad Nuh, dalam satu sarasehan membangun pendidikan karakter. (baca: http://dpmg.bandaacehkota.go.id/2011/05/10/membangun-karakter-jujur/)
Budaya politik
Sebelum membahas pentingnya karakter sebagai muatan budaya politik, terlebih dahulu kita mendifinisikan budaya sebagai suatu proses induksi ke dalam suatu kultur politik yang dimiliki oleh sistem politik. Karena hasil akhir dari suatu politik yang berbudaya dan menjadi karakter bangsa, adalah bagaimana seperangkat sikap mental, kognisi (pengetahuan), standar nilai-nilai, dan perasaan-perasaan terhadap sistem politik dan aneka perannya, serta peran itu yang berlaku.
Para ahli mendifinikasikan budaya politik sebagai pola yang muncul dalam berbagai aspek dari suatu perilaku masyarakat dalam melaksanakan kehidupannya politiknya. Secara umum dijabarkan dalam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, pelaksanaan adminstrasi dalam negara, sistem pemerintahan, norma atau hukum yang berlaku.
Budaya politik sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat memiliki ciri-ciri yang lebih khas, mencakup masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang me¬merintah. Semua aspek itu digunakan sebagai tempat untuk mewujudkan budaya politik dimaknai sebagai suatu sistem nilai yang berkembang di dalam kehidupan bermasyarakat.
Secara umum budaya politik terbagi atas tiga tipe. Pertama, budaya politik apatis (tidak acuh, masa bodoh, dan pasif). Budaya politik ini, tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Masyarakat yang memiliki orientasi budaya politik ini, umumnya mereka yang bermukim dan komunitas khusus di pedalaman. Biasanya kepala suku, kepala kampung, kyai, atau dukun, yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis atau religius.
Kedua, budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi). Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi). Masyarakat sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya, akan tetapi akibat keterbatasan pengetahuan, edukasi atas system politik sehingga mereka masih bersifat pasif dan berpandangan bahwa masalah politik adalah masalah pemerintah Sehingga frekuensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Intinya, budaya politik mobilisasi suatu aktifitas atau kegiatan politik yang bukan berdasarkan keinginan sendiri tetapi atas dorongan dan ajakan dari pihak lain dalam arti dikerahkan secara sengaja. Misalnya kegiatan aksi pembatalan hasil Pilkada yang dikoordinir oleh team sukses dari kandidat yang kalah, massa melakukannya tidak atas inisiatif sendiri (wikipidya)
Ketiga, tipe budaya politik partisipatif (aktif). Ini ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Budaya partisipasi politik yang mulai tumbuh pasca reformasi, menandai lepasnya partisipasi politik dari ikatan perjuangan partai politik.
Budaya politik partisipan merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung diarahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Secara umum, gambaran budaya politik di atas harus ditelaah dan dibuktikan lebih lanjut dengan variabel konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam. Misalnya, adanya perbedaan bahasa, agama, dan stratifikasi sosial masyarakat, yang semuanya relatif masih rawan/rentan.
Budaya politik Indonesia yang masih apatis-mobilasi di satu pihak, dan budaya politik partisipan di lain pihak, di satu segi masa masih ketinggalan dalam mempergunakan hak dan dalam memikul tanggung jawab politiknya yang mungkin di sebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, dan ikatan primordial lain.
Sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar yang dikenal dengan indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukaan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; purutanisme dan non puritanisme dan lain-lain. Dan kecendrungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat di sebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang.
Budaya Politik Berkarakter
Di tengah semakin kompleksnya jalan bangsa Indonesia, karakter sebagai keunggulan moral sangat penting untuk membangunan manusia seutuhnya. Selama ini pendidikan kita hanya fokus pada aspek pengetahuan dan keterampilan dan mengabaikan aspek watak dan kepribadian. Tentu, sektor pendidikan (sekolah) bukan satu-satu peyumbang atas keadaan buruknya karakter bangsa, akan tetapi sektor politik jauh lebih dalam karena semua kehidupan kita pada hari ini berhubungan dengan politik. Karena politik masih dipandang sebagai panglima yang dapat mengatur segala-galanya. Bahkan politik telah menjelma seperti Tuhan yang mengatur, menghukum, dan menentukan nasib setiap orang di Indonesia.
Sayangnya, program pendidikan karakter di sekolah- sekolah, belum diikuti oleh program pendidikan karakter dalam bidang politik. Buktinya, berbagai kasus korupsi dan perselingkuhan politik antara pengusaha, penguasa, dan kehakiman terkuak yang melibatkan pemimpin, kepala daerah dan wakil rakyat terbukti dalam karakter di dunia politik di Indonesia belum dijadikan dasar. Praktik money politic yang semakin subur dalam sistem demokrasi kita akibat tidak diamalkannya politik yang berbasiskan nilai-nilai.
Itulah yang akan membayangi kita ke depan, dan akankah setiap momentum politik itu mengurangi catatan buruk itu atau justru mendaur ulang. Itulah yang pernah dipesankan tiga tokoh politik bangsa, Soekarno, Hatta, dan Mandela, dalam redaksi yang berbeda, mengingatkan menjadi pemimpin politik haruslah diawali dlu dengan melakukan pengabdian. Karena, kekuasaan yang diamanahkan merupakan perpanjangan tangan dari pengabdian dan perjuangan itu.
Politik hanya cara untuk mencapai masyarakat yang baik, maka sejatinya aktifitas perpolitikan harus dipandang sebagai rangkaian pengabdian. Sedangkan karakter adalah sikap batin--dimana segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki sesuai nilai kemanusiaan dan kemaslahatan. Karakter adalah cermin moral politik. Cermin memiliki dua sifat, menyerap dan memantul cahaya. Bila cermin itu menyerap kegelapan atau obyek yang buruk, maka buruk pula yang dipantulkannya. Sebaliknya bila cermin itu menyerap cahaya ilahiah, pastilah yang akan memendar cahaya kebaikan dan kebenaran.
Jadi, budaya politik yang berkarakter harus bermuara pada kedua esensi pemahaman di atas. Bagaimana budaya politik mampu mewujudkan seluruh gagasan melakukan perubahan atau perbaikan kehidupan masyarakat luas yang dibingkai nilai-nilai moral dan budaya masyarakat itu. Artinya gerakan dibangun adalah gerakan nilai (value poltical movement).
Sebaliknya, politik akan kehilangan karakter dan mengalami destorsi budaya ketika politik dipandang sebagai alat perebutan kekuasaan, kedudukan dan kepentingan yang instan. Power political guverment (gerakan poltiik kekuasaan). Politik akan kehilangan karakter ketika kepentingan secara terorganisir itu hanya berkompromi untuk mewujudkan keinginan pragmatik untuk sukses para pelaku atau politisi. Para politisi tidak lagi menempatkan diri untuk kepentingan umum, mereka mengabaikan budaya politik.
"Mengerikan melihat apa yang terjadi kalau ambisi dan kekuasaan tumbuh berkembang dalam benak orang idiot." - Doung Thu Huong
Membangun karakter budaya politik bangsa, seperti ditekankan Eberhard Puntsch (Politik dan Martabat Manusia), pertama, pentingnya penguasaan pengetahuan. Karena tingkat pengetahuan yang tidak dimilikinya, atau melebihi kapasitasnya, maka seorang politisi akan terjebak pada ketidakmampuan dalam berbagai bidang, dan sekaligus ia harus menyembunyikan ketidakmampuannya itu. Karenanya para politisi dituntut menguasai banyak pengetahuan walaupun tidak secara mendetail agar ia dapat mengambil keputusan.
Politisi harus memperhitungkan dampak-dampak dari keputusan itu karena mereka lah yang akan bertanggung jawab. Ironinya, karena ambisi politisi sering harus bersikap tidak jujur untuk menyembunyikan ketidakmampuannya, dan tindakan pemaksaan ini akan berpengaruh pada kepribadiannya. Ketidakjujuran yang awalnya hanya menjadi kewajiban saja, namun kemudian menjadi kebiasaan, dan menjadi budaya politiknya.
Kedua, idealisme politik. Kara seorang filsuf, bahwa yang sempurna adalah ide, di luar itu tidaklah sempurna, termasuk juga tindakan manusia. Namun manusia selalu membutuhkan kegiatan berpikir untuk melakukan tindakan walaupun nantinya tidak sesempurna yang telah direncanakan.
Nah, memahami keadaan politik dapat mengubah karakter manusia, maka ideology politisi menjadi patron bagi terbangunnya karakter, selalu bersikap objektif atas apa yang diperjuangkannya, memahami kehidupan politik baik bersifat material maupun imaterial.
Praktik politik berkarakter sebenarnya sangat sederhana. Yaitu bagaimana semua praktik atau kegiatan politik pada nilai yang ada dalam diri bangsa harus dijadikan bingkai politik. Agama, budaya, adat, etika, hukum, undang-undang, dan norma merupakan sumber yang merupakan yang terbaik untuk bangsa Indonesia. Yang terpenting adalah bagaimana hal itu direvitalisasi sebagai dasar praktik politik agar politik benar-benar memberi manfaat bagi rakyat.
Para pemimpin dan wakil rakyat yang berada pada wilayah politik perlu menyadari keberadaannya menjadi model pembentukan karakter bagi publik. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan pendidikan karakter adalah model atau panutan. Para pemimpin dan wakil rakyat berada pada posisi sebagai panutan mereka adalah orang-orang yang terpilih menjadi pemimpin dan representasi rakyat.
Sebagai orang terpilih, mereka diberikan kepercayaan, mandat, dan kuasa untuk membangun bangsa ini. Secara fungsional mereka seperti nabi yang berperan menyelamatkan umatnya. Semua ucapan dan perbuatan mereka akan diperhatikan rakyat.
Bagi rakyat, pemimpin dan wakil rakyat adalah idola atau tokoh masyarakat. Rakyat sangat menghormati mereka. Bahkan diberikan perhatian secara khusus, disapa secara khusus dan khusus secara khusus karena mereka itu harapan bagi rakyat. Dan sesungguhnya, harapan rakyat itu menjadi yang sangat berat bagi mereka. Atas dasar beratnya tanggung jawab itu, maka rakyat rela memberikan fasilitas khusus yang berkategori keunggulan kepada mereka seperti, gaji, rumah, kendaraan dan sebagainya. Memenuhi, syarat keunggulan yang mereka terima harus dibalas dengan kinerja dan karakter yang mulia untuk melayani rakyat. Nilai-nilai luhur yang ada dalam pendidikan karakter perlu benar-benar diamalkan oleh pemimpin dan wakil rakyat agar mereka menjadi orang yang berkarakter mulia.
Muatan budaya politik yang berkarakter pada hakikatnya adalah keteladanan. Itulah yang sudah dicontohkan Muhammad saw. Beliau adalah politisi ulung, di antara bukti, beliau sebagai pemimpin/komandan perang, telah berhasil mendirikan komunitas islam, dapat menghimpun dana dari umat untuk membangun masjid, mengaku dan memberikan kesempatan ibadah bagi nonmuslim, dan mendirikan jamaah islam, menjadi pemimpin kafilah.
Islam mengibaratkan politikus adalah “pengembala” umat yang bertanggung jawab atas ideologi Tuhan di muka bumi. Karenanya kedekatan sepiritual dalam hubungan vertical selalu berkroelasi dengan sosiial menjadi hal utama. Hal tersebut harus dicerminkan dalam etika lazim keseharian seorang politikus. Dan kerusakan moral pada diri politikus atau pemimpin adalah tanda kehancuran suatu bangsa.
Politikus yang baik dalam Islam, adalah politikus yang dekat dengan rakyat. Bila kesuksesan politik yang diraih dengan mengorbankan prinsip dan pemonopolian rakyat adalah awal dari kehancuran. Dan menjauhi rakyat sama saja dengan membuat buta mata mereka akan persoalan bangsa, karena sesuatu yang kecil tampak besar, yang benar tampak salah, yang salah tampak benar di hadapan masyarakat, sehingga kebenaran harus bercampur dengan kepalsuan.
Pendekatan rakyat telah diterjemahkan dalam biografi para sahabat Nabi, yang memanggul gandum tengah malam karena mendengar tangisan kelaparan rakyatnya. Sebab di mata Islam kepemimpinan adalah amanat serta pengabdian tanpa pamrih.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib kwh dalam suratnya ke gubernur Basrah, mengatakan, “Pemimpinmu (Ali) hanya memiliki dua pakaian usang dari potongan kain-kain. Kalau saja aku mau, bisa saja aku minum madu, berpakaian sutra, menyimpan gandum, namun naudzubillahimindzalik, mungkinkah aku lalui malamku dengan perut kenyang, padahal di sekelilingku banyak rakyatku kelaparan? Takutlah pada Allah wahai putra Khunaif! Dan merasa cukuplah dengan lembaran roti yang kau dapatkan.” Bagi beliau (Ali), kepemimpinan adalah amanat yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. Tujuan berpolitik adalah menegakkan ideologi Allah, bukan tempat menimbun harta. Sanggupkah?
Reference: Sujianto. Muhlisin, (2007). Praktik Belajar Kewarganegaraan. Editor: Friska Liberti. Jakarta. Ganeca Exact; Buku Pendidikan Kewarganegaraan SMA XI Rini Setyani - Diah Hartati
Materi yang baik dan mudah dipahami. Terima kasih ilmunya pak.
terimakasih atas apresiasinya, salam
Mencari model politik berkarakter, barangkali boleh juga kita menengok sistem gampong -- desa dalam konteks tata pemerintahan tradisional. bukan desa atau kelurahan dalam konteks birokrasi modern. Laku politik gampong beserta elemen-elemennya -- seperti tuha peuet, tuha lapan, imum, dll itu sangat menarik.
benar, dalam forum itunjuga berkembang gagasan tentang pentingnya menghidupkan kembali kearifan lokal masyarakat Aceh lewat lembaga2 gampong, di antaranya peserta yang menyampaikan itu adalah bang barlian AW, M Adli Abdullah, dan Prof Yusni Sabi