Hari itu adalah hari kedua Mukidi di sekolah kami. Ketika Pak Budi tanpa ada angina tau pun hujan apalagi badai bertanya satu hal sebelum pelajarannya di mulai yang membuat seluruh isi kelas tercengang. Apa tidak tercengang, pertanyaan ini tidak pernah kami dengarkan. Tidak seperti biasanya. Pak Budi biasanya langsung saja memulai pelajarannya. Dan Meskipun memberi nasehat-nasehat kepada kami itu sudah pasti hanya persoalan kalian itu harus rajin belajarnya, kalian itu harus berbakti kepada orangtua, kalian itu harus berbuat baik kepada siapa saja. biasanya juga nasehat-nasehat seperti ini yang di nasehati.
Hari ini sungguh berbeda. Nasehatnyanya berbeda sekali seperti hari-hari biasanya. Nasehatnya di mulai dengan sebuah pertanyaan besar yang kami belum pernah pikirkan sebelumnya dan sekarang kami bingung berkhayal atas jawabannya. Entah apa gerangan Pak Budi bertanya pertanyaan seperti itu.
Biasanya juga paling pertanyaan sekedar basi basi sebelum memulai pelajaran. Bagaimana keadaan kalian? Sudah pada sarapan kan? Paling juga itu-itu saja yang di tanyaakan. Akan tetapi kami tidak pernah bosan belajar dengan Pak Budi. Bagi kami Pak Budi adalah guru yang hebat. Meski sudah mengajar selamat 30 tahun di sekolah kami. Tapi sampai hari ini pun beliau belum di angkat menjadi Guru PNS. Padahal hampir semua anak-anak kampung kami adalah muridnya dulu. Pasti kalian bertanyaan kenapa Pak Budi tidak kunjung di angkat menjadi seorang guru PNS padahal jasanya begitu besar di sekolah kami. Pengabdiannya dalam mengajar lebih dari cukup untuk menjadi seorang guru PNS. Sedangkan Ibu Ani baru juga mengabdi satu tahun dan sekarang sudah resmi jadi guru PNS. Ada apa dengan Pak Budi. Sudah, jangan penasaran. Besok lusa akan saya ceritakan apa yang terjadi sama Pak Budi kenapa sampai hari ini pun beliau belum jadi guru PNS. Sudah sabar saja, karena hari ini kita tidak akan bercerita tentang Pak Budi. Namun, kita sedang bercerita tentang pertanyaan Pak Budi kepada kami. Pertanyaan yang besar untuk anak kampung seperti kami.
Apa Pertanyaan Pak Budi?
Lima menit berlalu, matahari sudah semakin tinggi sinarnya mulai memasuki kelas kami. Membuat suasana semakin menjadi-jadi. Pak Budi di depan kami terus menuggu jawaban dari kami. Tiba-tiba ada yang mengangkat tangan di sampingku. Siapa lagi itu kalau bukan si Mukidi. Teman kelas yang aneh. Eh tapi Pak Budi malah merespon “ Sudah Mukidi, ini pertanyaan bukan untuk kamu. Tapi, untuk kawan kamu yang lainnya”. Mukidipun mengangguk sebagai tanda mengiyakan apa yang Pak Budi katakan.
Pak Budi sungguh tak adil. Masak Mukidi tak boleh menjawabnya. Seharusnya kebingungan kami akan terselamatkan setelah Mukidi menjawab pertanyaan tersebut. Tidak berlebihanlah jika kami nobatkan Mukidi sebagai pahlawan yang selalu menyelamatkan kami dari pertanyaan-pertanyaan Pak Budi. Kelas kami memang sudah berbeda semenjak Mukidi hadir dan menjadi bagian kelas kami. Padahal ini hari kedua Mukidi di kelas kami. Tapi, seakan-akan dia sudah menjadi bintang di kelas kami. Setiap pertanyaan sudah pasti dia yang selalu menjawabnya. Sedikit-sedikit pak Budi juga mengatakan “Kalian itu harus harus mencontohi Mukidi”. Apa yang harus kami contohin? Cara berpikirnya yang aneh itu? Ihhh kami kagak mau menjadi aneh seperti dia. Ada-ada saja Pak Budi ini.
Sepuluh menit berlalu, tak juga satupun dari kami yang menjawabnya. Agar waktu tidak terbuang terus menunggu jawaban dari kami, Pak Budi pun memutuskan untuk menjadikan ini PR bagi setiap kami. Maka, hari itu satu PR besar harus kami pecahkan.
Tapi, tenang. Kalau sudah soal PR. Itu gampang sekali, Bapak sudah pasti akan membantu saya memjawabnya nanti. Bapak selalu saja tahu jawabannya. Entah dari mana jawaban itu datang. Padahal SLTP pun tidak selesai. Tapi, beliau seperti professor saja ketika bercerita dan mendidik kami. Sungguh saya sangat mengagumi Bapak. Jika Mukidi Pahlawan di dalam kelas dan Pak Budi Pahlawan di Sekolah. Maka, Bapak adalah pahlawan di rumah kami.
Semakin Kebingungan
Pak Budipun melanjutkan pelajaran hingga bel tanda jam pelajaran selesai di bunyikan. Maka, selesailah pelajaran hari ini bersama Pak Budi. “sekedar mengingatkan, jangan lupa pertanyaan bapak tadi ya” Pak budi mengingatkan. Seperti biasa sebelum Pak Budi keluar, saya akan memimpin doa sebagai tanda syukur terhadap Allah SWT telah memberi kesempatan untuk kami mendapatkan begitu banyak pengetahuan.mudah-mudahan besok lusa pengetahuan ini berguna untuk bangsa dan Negara.
Setelah doa selesai saya bacakan. Maka, Pak budi mengakhiri kelas dengan “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”
Maka, selesailah pelajaran hari ini.
Ketika saya sedang memasukkan semua buku pelajaran Pak Budi kedalam tas. Tiba-tiba saja Mustafa muncul di hadapanku. Apalagi kalau bukan bertanya soal PR tadi seperti biasanya. “Eh saya lupa apa ya pertanyaan pak budi tadi” Tanya Mustafa.
“Siapa kalian sepuluh tahun kedepan?” Sedikit jengkel saya menjawabnya.
“Oh iya, kok saya lupa ya?” Jawab Mustafa tanpa sedikitpun merasa bersalah.
“Emang kapan kamu tidak lupa? Dasar pelupa” jawabku.
Begitulah akhir dari cerita pada hari itu. Besok lusa akan saya ceritakan cerita lainnya. Sabar saja ya.
Tak ada satupun murid di kelas kami yang mencoba-coba menjawab pertanyaan Pak Mukidi. Memang kami tak ada jawaban atas pertanyaan tersebut. Kelas hening sejenak, Pak Budi masih menunggu jawaban kepada kami. Sedang kami malah melihat kesana kemari, saling tatap dengan teman malah bertanyaan kepada teman-teman di samping, seakan-akan mereka tahu jawabannya. Padahal sama saja mereka juga sedang bingung akan jawabannya. Malah dibuat bingung dengan pertanyaan tambahan dari teman sebangkunya. Maka, seluruh kelaspun kebingungan oleh Pak Budi hari itu.
Posted from my blog with Steempresshttps://asrusteem.000webhostapp.com/2018/12/cerpen-mimpi-gila-mukidi