Begitu mendapat tantangan tema soal Jodoh, saya sebetulnya bingung. Apa yang mau saya tulis sementara saya adalah perempuan yang belum menemukan jodoh. Kalau mau nulis tips mencari jodoh, kok ya nanti orang sulit percaya. Kalau mau nulis pengalaman menemukan jodoh, saya sama sekali belum punya cerita untuk dibagikan. Tapi, baiklah, saya cerita tentang pandangan saya soal jodoh dalam kacamata seorang jomblowati. Tentang pertanyaan-pertanyaan yang datang atau bahasan-bahasan yang bermunculan di sebagian besar grup WhatsApp.
Kadang-kadang saya berpikir bahwa Indonesia ini adalah negara yang sangat tidak ramah jomblo. Pikiran itu lahir dari pengalaman saya sendiri, selama mengarungi usia belasan akhir hingga saat ini. Kenapa ya, jomblo dicap sebagai seseorang yang kesepian, kurang teman dan image lain yang semisal? Padahal, tidak semua jomblo itu menderita. Ada juga yang memang sengaja menjomblo untuk memastikan bahwa dirinya terjaga dari hal-hal negatif.
Yang lebih membuat saya heran, dari zaman tinggal di indekos semasa kuliah, selalu ada saja yang iseng ngeledek saya. Kebetulan saya gemar masak. Sampai-sampai teman satu indekos pernah iuran belanja dan minta saya memasak untuk mereka. Beberapa kali, ketika masakan saya dirasa terlalu asin, selalu ada yang nyeletuk “Ih, kamu pengin nikah ya?” Bahkan, kakak dan kakak ipar saya juga sering begitu ketika saya masak. Sampai sekarang, saya masih bertanya-tanya, apa hubungan nikah dengan keasinan? Sebegitu tidak ramahnya sama orang yang belum bertemu jodoh, sampai-sampai dihubungkan dengan menaruh garam kebanyakan.
Asumsi saya soal Indonesia tidak ramah jomblo ini sebetulnya sudah dimulai sejak awal saya kuliah. Ketika obrolan-obrolan dengan teman dan senior selalu diselipi perkara jodoh. Sampai-sampai saya punya semboyan yang sesuai dengan kondisi demikian. Dimanapun nongkrongnya, apapun makanannya, minumnya jodoh. Eh, bukan. Saya ulangi, apapun makanannya, obrolannya pasti ada jodoh-jodohnya.
Nah, saya sebetulnya juga masih bingung, memangnya jodoh itu selalu berarti pasangan hidup, ya? Hingga suatu ketika saya menulis tentang jodoh di tumblr saya. Saya mencoba melihat jodoh dalam ruang yang lebih luas, bukan hanya sekadar pasangan laki-laki dan perempuan yang kemudian menikah.
Waktu itu saya menulis, sebetulnya lebih tepat dibilang bahwa saya membantah bahwa jodoh itu harus selalu diartikan pasangan hidup, pasangan yang menikah. Ya, kalau tulisan itu dibaca sekarang ini, saya lebih melihat itu sebagai pembelaan diri “Meskipun saya jomblo, saya ini berpasangan loh!” kurang lebih begitu premisnya, Tanya kenapa?
Begini, manusia ini dianugerahi anggota badan dan organ tubuh yang berpasangan. Ada sepasang mata, sepasang tangan, sepasang kaki, sepasang telinga. Bagian yang kita pikir cuma sendirian juga sebetulnya berpasangan, sebut saja hidung yang punya sepasang lubang dan juga jantung yang punya sepasang bilik dan serambi. Betul kan, saya yang sendirian dan jomblo ini, diciptakan dari berbagai pasangan yang bekerja saling melengkapi? Tapi, sayangnya, tulisan pembelaan itu tidak cukup untuk memecah datangnya gelombang pembicaraan jodoh.
Memasuki usia 20-an tahun, masih juga saya tetap menganggap bahwa negerinya orang ramah ini tidak ramah jomblo. Arus pertanyaan berawalan kata “kapan?” semakin deras menerjang, tidak bisa ditepis. Saya betul-betul tidak bisa menahan laju pertanyaan orang-orang tentang jodoh. Apalagi ketika orang lain—terutama saudara—menganggap bahwa saya sudah mampu mengurus rumah. Pertanyaan itu, saya yakin, akan selesai ketika saya menikah nanti.
Duh, udah deh, saya sampai bingung mau menjawab dengan kalimat model apalagi. Akhirnya, tameng terakhir ya menggunakan jawaban superklise “Doakan saja, ya?” Kalau dijawab “Iya, pasti.” Maka saya positif thinking saja, semoga doa orang ini ijabah. Kan seneng saya, banyak yang mendoakan dan ijabah pula. Sayangnya, belum terjawab doanya, sampai saat ini. Ya, sabar saja saya, mah. Bukankah perkara jodoh sudah diurus sama Allah bahkan semenjak saya belum datang ke dunia?
Hal lain lagi yang saya alami, memperkuat pendapat saya lagi. Sekarang ini usia saya mendekati seperempat abad, di mana pun saya masuk komunitas, perkumpulan atau sejenisnya, selalu ada acara dijodoh-jodohkan. Maksudnya dipasang-pasangkan dengan lawan jenis yang juga jomblo. Kadang saya nggak enak hati, sebetulnya kurang berkenan. Takutnya kan salah satu pihak ada yang patah hati, ya kan? Atau saya malah jadi baper –maklum perempuan, gampang baper. Itu sungguh bukan hal yang saya inginkan. Kadang fitnah antara laki-laki dan perempuan memang mengerikan.
Tapi di sisi lain, memang orang Indonesia itu sangat perhatian dan sikap gotong royongnya sangat kental, bahkan dalam urusan menjodohkan yang sama-sama jomblo. Sesekali, saya terpengaruh omongan teman-teman seusia saya, katanya orang Indonesia itu terlalu kepo, serba ingin tahu urusan orang lain. Bahkan basa-basinya ketika berbicara dengan orang asing pun, yang ditanyakan sudah urusan-urusan pribadi yang terkadang itu sensitif. “Sudah nikah. Mbak?” “Calonnya orang mana?”
Memang sih, orang lain mungkin hanya sekali menanyai itu tapi coba dibalik deh, berapa kali seseorang mendapat pertanyaan itu. Wah, bisa jadi tidak terhitung, bahkan saya saja, yang orang sering salah mengira masih sekolah atau kuliah pun sudah beribu-ribu kali mendapatkan pertanyaan itu. Kadang ingin sedikit arogan bilang ke si penanya “Apa pengaruhnya ke hidup anda kalau saya sudah menikah atau belum?” Tapi jawaban itu tidak sopan untuk dilontarkan. Maka saya selalu berdoa, supaya Allah berikan kesabaran berkali-kali lipat.
Karena begini, setiap kali ada pertanyaan kapan menikah, tentu saya tidak bisa menjawab. ‘Wong, itu kan perkara yang bukan saja urusan usaha saya tetapi juga izin Allah. Mana bisa saya ubah?’ Kalau pun saya belum menemukan jodoh, itu betul-betul bukan karena saya tidak berusaha dan cuma duduk diam menunggu. Tentu, sudah ada upaya untuk menuju ke sana, apalagi dari segi usia memang bisa dikatakan sudah cukup.
Saya ini manusia biasa, tidak punya kekuatan super untuk membuat hati saya kebal dari perasaan galau. Ada kalanya jika mood sedang tidak baik, pertanyaan tentang jodoh memenuhi kepala saya. Apalagi selepas menghadiri pernikahan sudara, teman dekat atau tetangga. Tidak ada celah, untuk menghindar dari pertanyaan “Kapan nyusul?” Dalam hati ingin saya jawab, ‘Mbok ya dari pada tanya kapan, coba dibantu carikan. Barang kali cocok dan sampai ke pernikahan. Enggak perlu lagi kan cari tahu jawaban saya atas pertanyaan kapan, tadi.’ Tapi, sudahlah, pertanyaan itu biar tersimpan saja. Kembali lagi ke jawaban klise, minta didoakan.
Bahasan jodoh memang menarik, apalagi dalam Islam, menikah adalah syariat paling membahagiakan. Enggak heran, kalau di kebanyakan grup whatsapp yang saya punya, bahasan ini enggak ada habisnya. Diulang lagi, diulang dan terus diulang. Cuma ya itu, kembali lagi jodoh adalah perkara yang datang hanya karena variabel usaha manusia. Pertanyaan kapan itu tidak mudah untuk dijawab. Jadi, kalau boleh saya minta kepada siapa pun yang mau bertanya soal jodoh, bisakah kasih saya pilihan ganda? []
Posted from my blog with SteemPress : http://temupenulis.org/jodoh-dan-kata-tanya-kapan-di-mata-seorang-jomblo/