Simpang Pelor, tugu ikonik yang berada di pusat kota Meulaboh.
Selama beberapa tahun merantau, aku enggak pernah mudik lebaran. Ketika harus pulang, ya karena ada urusan keluarga, bukan untuk acara akbar seperti Hari Raya Idul Fitri. Tapi di 2018 ini adalah tahun spesial. Kantor memberikan libur yang lumayan panjang: dua minggu. Pun tabungan rencana mudik juga sudah siap dipanen untuk keperluan mudik ini.
Karena tidak pernah mudik lebaran, aku merasakan (html comment removed: more)was-was. Sensasinya benar-benar beda dibandingkan kepulangan-kepulanganku sebelumnya. Dari sulitnya mendapatkan harga tiket yang cukup 'bersahabat' di dompet, packing yang rasanya tak pernah berakhir, hingga menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di kantor yang semakin mendekati hari keberangkatan, fokus semakin ambyar dan rasa deg-degan semakin menjadi-jadi.
Setelah mendapatkan tiket berangkat yang bikin hati ketar-ketir (karena tak pernah aku membeli tiket pesawat semahal itu (1,2 juta)), hal terberat selanjutnya adalah berkemas. Mengemasi pakaian untuk bepergian bukanlah keahlianku. Berkali-kali aku harus membongkar kembali lalu memilah lagi mana yang tak perlu dibawa karena ranselku masih terasa berat. Kadang aku merasa kesal sendiri harus bongkar-muat begini. Capek! Haha...
Matahari terbit dari Aceh Barat
Satu hal yang kemudian aku sadari adalah semakin tua diri ini, semakin banyak hal yang harus dipikirkan untuk dibawa untuk bepergian. Namun seringkas apa pun barang yang kubawa, tetap saja ransel menempel di depan dan belakang. Plus satu tas selempang lagi berisi kamera. Berasa kayak minggat. Aku jadi kangen masa-masa dulu traveling dengan ransel yang ringan.
Sensasi tiba di kampung halaman saat mudik lebaran pun terasa jauh berbeda. Rasanya seperti inilah pulang yang sesungguhnya. Pulang dengan damai tanpa peduli pertanyaan 'kapan' yang akan didapat nanti. Ya, semakin tua, semakin tak mengambil pusing lagi dengan pertanyaan sejuta umat itu. Bodoamat!
Meulaboh masih tetap sama seperti saat aku pulang tahun lalu. Nyaris tak terlihat ada perubahan berarti selain kedai kopi yang bertambah beberapa buah. Oh, perubahan drastis adalah iklim. Siang hari bisa mencapai 35 derajat selsius. Namun ketika mendung, suhu turun ke 25 derajat. Pemanasan global benar-benar terasa banget di Aceh.
Tak banyak yang bisa kuceritakan saat berlebaran di Aceh. Tak ada perubahan ritual. Taraweh, sahur, buka puasa, salat Ied ke masjid, pulang ke rumah, berkunjung ke rumah-rumah saudara, makan, jalan-jalan, pulang, makan, makan, tidur, makan, lalu makan lagi. Kalau dihitung-hitung, kayaknya aku lebih banyak makan ketimbang berkunjung ke rumah-rumah. Sehari bisa lebih dari 4 kali makan. Di rumah masih banyak sekali persediaan lontong yang digado dengan rendang. Rendang habis, kugado dengan sambal udang ketok. Beberapa kali aku pulang ngopi jam 12 malam, kelaparan, potong-potong lontong dingin dari kulkas dan dicampur dengan rendang dan sambal udang. Enak sekali!
Rendang terenak sedunia.
Suatu hari, piknik yang kami rencanakan buyar karena tiba-tiba mobil mogok dan badai datang dan mengendapkan udara dingin selama hari-hari terakhir aku di kampung. Akhirnya piknik diganti dengan ziarah ke Makam Teuku Umar di Mugo. Di sana sudah ramai oleh orang yang membawa kambing dan peralatan memasak. Tradisi tahunan ini sudah berlangsung lama yang entah bertujuan untuk apa. Keluarga-keluarga beranak kecil datang ke makam. Anak-anak dimandikan dan didoakan. Seorang ibu mendirikan salat di samping makam setelah seorang ustaz memandikan anaknya.
Kopi manis untuk pengakhir libur lebaran yang manis.
Setelah melihat-lihat makam Teuku Umar, kami memutuskan untuk pindah dan menyantap makan siang di tepi Danau Geunang Geudong di Putim, Kaway XVI. Nasi dan sambal udang ditambah dengan gulai Ikan Keureuleng sungguh nikmat disantap di pinggir danau, di bawah rindang pohon trembesi. Kemudian disudahi dengan segelas kopi manis.
Omong-omong manis, selama libur lebaran ini, diet gulaku benar-benar kacau. Setiap hari, aku menenggak sanger atau kopi manis. Pulang ke rumah, sudah tersedia sirup leci di kulkas. Berkunjung ke rumah saudara, disajikan lagi sirup super manis dan makanan-makanan manis lainnya yang tak sanggup kutolak. Benar-benar kupuas-puaskan sebelum kembali ke Banten. Haha...
Tapai ketan merah super manis.
Meski kurang lama, tapi setiap hari waktu terasa berjalan dengan lambat. Namun liburan harus usai, aku harus kembali ke kehidupan tanpa nikmatnya masakan Mamak, tanpa pertengkaran-pertengkaran kecil yang diakhiri tawa membahana.
Libur lebaran yang manis. Bagaimana dengan libur lebaranmu?
Posted from my blog with SteemPress : http://hananan.com/2018/07/01/libur-lebaran-yang-manis/
Bagus sekali foto nya
Makasih, Bang.
lebaran memang selalu istimewa... apalagi bisa pulang kampung...