Membongkar-bongkar dokumen lama, lalu menemukan tulisan ini. Aku berpikir keras, apa yang sedang kualami saat itu. Tanpa tahun dan hanya tanggal dan bulan yang tertera di dokumen tersebut, mengandalkan ingatan jangka panjangku yang biasanya sangat bisa diandalkan, tapi kali ini mendadak mandek,. Tak satu pun bisa kuingat tentang apa yang menbuatku gundah saat itu. aneh sekali. Ini jadi misteri..., apalagi saat aku harus menerima kenyataan bahwa dokumen ini berjudul “Entah”.
Sekarang jelang pukul dua dini hari, tanggal 2 November. Aku tertidur setelah pulang kehujanan dari mengantar seorang temanku dan terbangun dengan kepala berat sekitar 4 jam yang lalu. Begitu YM kunyalakankan, dua kawan menyapa sekaligus. Di laporan ponsel juga ada dua panggilan tidak terjawab dari nomor berbeda. Satu terdaftar, satunya asing.
Perasaan tidak enak sudah lebih dulu muncul. Semakin terang tidak enak ketika dua sapaan di YM dan satu panggilan dari nomor terdaftar tadi kubalas. Ada sedikit –ya, setidaknya menurutku masih sedikit—kekeliruan terjadi hari ini.
Kala mukaku dibasuh hujan saat pulang tadi, di atas jok motor yang kukendarai dengan kecepatan cenderung pelan, sebenarnya aku sudah punya firasat tak enak. Namun, aku membiarkan hujan menyiramnya dengan syahadat bahwa segala sedang baik-baik saja.
Namun rupanya, pikiranku terlalu ringkas dan sederhana. Semua tidak sepenuhnya baik. Ada hati terlukai malam ini. Seseorang yang telah menggulirkan sebuah ide besar, menegurku dengan aura negatif. Dia merasa menjadi sosok yang paling bertanggung jawab terhadap “tragedi hati luka” itu. Dan aku bingung. Benar-benar bingung.
Di jendela chat, aku memilih menyamar. Makin aku gundah, makin banyak kupakai emoticon yang bernuansa ceria. Aku pikir, tetap harus ada yang berjiwa positif di antara kami. Aku harus berperan menjadi tiang dalam situasi ini. Meski sebetulnya ini menggelikan. Sebab yang kusangga adalah diri yang selama ini kukenal kuat dan menguatkan.
Aku lantas mencoba membuat peta penyelesaian dan mencari jalan keluar. Bagaimana memunculkan win-win solution untuk perkara ini? Bisakah segenap langkah yang sudah ditapaki, tidak satu pun perlu dihentikan atau ditunda?
Sebetulnya, ada suara kecil dalam hatiku yang berbisik, tidak ada masalah. Ini hanya soal dua kepentingan yang cenderung dianggap berbeda. Ditolak bertemu di kubu yang satu. Akibat cara pandang yang tidak sama. Dan ada ketakutan-ketakutan yang sebenarnya belum pasti, tak lebih dari gundah-gundah yang kita ciptakan sendiri. Kita masih menebak-nebak, padahal hati-hati kita belum purna bicara.
Aku khawatir ada ukhuwah yang lantas retak. Sungguh, dalam kasus ini tidak ada yang lebih mengerikan bagiku selain itu. Pada salah satu dari mereka, aku kemudian memancang janji. Meski ini bukan aku yang memulai—ah, tidak juga. Sebab jika dirunut-runut, akulah yang pertama kali mengipas bara—aku akan menyelesaikan ini dengan cara terbaik. Bagaimana pun, aku harus bertindak sesuai prosedur. Tak bisa selamanya memerdekakan hasrat pribadiku yang spontan dan nekat. Inilah kenapa aku seringkali benci “posisi nomor satu” dan membiarkan pundakku ditimpuk peran besar; membawa nama selain nama pemberian orang tuaku.
Namun, apa mau dikata? Aku menolak menyesal, karena memang tak ada yang perlu disesali. Aku tak ingin mengkhianati ide dan niat baik kami dengan rasa sesal. Aku memilih untuk belajar dan mencoba memberi jarak.
Nasi memang sudah jadi bubur. Ubi sudah jadi tape. Dan setandan pisang sudah digoreng jadi keripik. Tidaklah semua itu dapat kembali menjadi bentuk asalnya. Tapi bukankah itu sama-sama layak untuk dimakan? Masalahnya mungkin cuma soal selera. Suka atau tidak suka. Biar bisa suka, kukira dituntut kreativitas untuk mengombinasikannya dengan beberapa bahan makanan lain. Misal, bubur dicampur bumbu-bumbu dan irisan daging agar jadi bubur daging.
Ya, akan tetap salah jika dengan kreativitas itu, aku mengangankan dapat total memuaskan semua pihak. Masing-masing sudah punya harapan sendiri, gambaran sendiri. Tapi walau tidak puas, setidaknya jangan ada cerita kecewa yang demikian besar. Jangan ada ide besar lanjutan di hari-hari lain yang tersendat untuk dilisankan karena khawatir sulit dijalankan. Jangan ada pribadi yang merasa dirinya telah dinomorduakan.Tiba-tiba aku merasa begitu lelah. Padahal ini urusan kecil. Jika minggu ini lewat, mungkin kegalauan yang kurasakan saat ini adalah hal paling konyol yang akan kutertawakan di minggu-minggu setelahnya. Bukankah urusan dalam hidup ini seringkali begitu?
Hmmm…
Aku sudah punya ide yang menurutku baik. Kupikir ide itu mampu meluluskan dua harapan tanpa saling menyilang jalan. Tapi, apakah aku bisa menjamin bahwa segalanya dapat berlangsung sempurna dan dikerjakan dengan energi yang benar-benar total? Tidak. Aku sulit menjamin ruh orang lain. Apalagi dengan sumber daya manusia yang telah lebih dulu terhempas hatinya.
Baiklah, tak akan ada cerita mengejar kesempurnaan. Baiknya kupikirkan bagaimana ide ini bisa kulisankan dengan sempurna dan mereka semua bisa mencerna. Jika memang masih ada yang menolak, enggan untuk mengerti, masih ada yang berpotensi disakiti, maka sesuai tabiatku; aku tidak akan memaksa siapa pun untuk menerima, untuk mau mengerti, atau tidak merasa tersakiti dan apa pun kemungkinan yang terjadi setelahnya, aku akan menelannya setelah lebih dulu mengisi mulutku dengan peppermint.
Semuanya baik-baik saja. Kami hanya butuh bicara. Biar berai rasa cemas yang belum pasti layak untuk ditakutkan itu. Namun, bagaimana mengumpulkan mereka dalam satu waktu begini cepat? Oh my… mendadak aku merasa terlalu muda untuk mengurus perkara ini. Jadi, ingin duduk di sisi seseorang yang pernah melewati kasus seperti ini. Adakah?
Posted from my blog with Exxp : https://stanzafilantropi.com/dokumen-lama-berjudul-entah/