Apa pun yang indah mengambang di pelupuk mata saat ini adalah kamu. Jangan katakan ini lebay, apalagi berlebihan, pun keterlaluan. Tidak. Seandainya saja kamu tahu.
“Tunggu sebentar, Dokter... sepertinya Dokter Syafri datang terlambat hari ini,” ujar pemuda yang awal tadi mengenalkan diri bernama Iqbal. Aku hanya mengangguk canggung dan dengan terpaksa menarik selarik senyum.
Aroma karbol dan segala atribut yang berkaitan denganmu membuatku nanar. Aku mengeluh panjang pendek dalam hati, tak seharusnya aku senekat ini bertemu Dokter Syafri di tempat praktiknya. Sudah seharusnya aku menerima tawaran untuk berjumpa di rumah saja, bukankah itu jauh lebih aman? Tapi nasi sudah jadi bubur, kan?
Aku masih bisa merasakan senyawa karbon green leaf volatile yang menguar pada rerumputan yang dipangkas, saat pertama sekali kita bertemu di depan teras klinik. Kesetiaanmu yang telah teruji bagai bulan di akhir tahun yang tak goyah oleh segala musim, mampu meluruhkan hatiku. Hari itu kau diantarkan untukku. Khusus buatku saja.
“Wina, mungkin kamu akan repot sedikit karena biaya anestesinya bisa jadi lebih tinggi ketimbang yang lain, tapi dia jauh lebih patuh dan kooperatif,” terang Agha sambil mengelus kepalamu.
“Oh, ya. Aku tahu...namanya? Apakah dia punya nama atau aku boleh memberinya nama baru?”
“Namanya Care...”
Guk! Sahutmu saat namamu disebut dengan sayang.
Posted from my blog with SteemPress : https://stanzafilantropi.com/impresi/