"Kopi hitam atau sanger, Nda?"
"Sanger, dong!"
"Mi?" Tanya suamiku lagi.
Aku mengangguk kuat.
Berawal dari naskah bulan Juli yang menumpuk jadi tiga kategori, satu yang harus diedit dengan track changes, satunya akuisisi, selebihnya naskah bahasa Inggris. Wow, untuk yang terakhir? Serius aku bisa? Kubisiki sesuatu, persis seperti kata orang-orang, melatih jam terbang atau kau punya cara untuk berbagi kerja. Aku serius, serius untuk yang masih punya kemauan belajar pastinya.
Setelah setermos sanger--aku tak minta kopi hitam, apalagi kopi pahit, kerja-kerjaku tak kalah pahit, tak usah lagi ditambah kopi--mataku justru tak mampu terpejam walau aku merasa cukup menggunakan mata, otak, dan jari-jariku bekerja sejak pukul sepuluh malam hingga nyaris jelang subuh. Aku ingin istirahat dan maksimal menjalani Senin ini dengan mengurus Kareem yang sedang senang berjalan, Faza yang banyak akal, Biyya yang gemar membujuk, dan Akib yang masih belum menemukan ritme jadwal HS-nya setelah lebih 365 hari.
Ternyata aku tak seberuntung itu, seiring mata yang sulit dipejam, diksi-diksi mulai berlompatan. Semakin kucoba berkompromi, banyak pula suara-suara berdiskusi. Kurasa persiapan tidurku sudah cukup baik, salat Isya yang kukerjakan sebelum mulai berkutat dengan laptop dan aku juga sudah sikat gigi dan cuci kaki.
Kopi hitam atau sanger, padahal ini bukan kali pertama aku meminta. Biasanya kalau waktu-waktu siang tak lagi efektif untuk menuntaskan pekerjaanku, dua atau tiga gelas kopi sanger cukup membantu. Namun, bagaimana kalau isi-isi cangkir itu ternyata membebaniku? Barangkali nanti kupikirkan lagi, kopi hitam atau sanger.
Posted from my blog with SteemPress : https://stanzafilantropi.com/kopi-hitam-atau-sanger/