Aku bertemu pertama sekali dengannya di acara mancakrida di kantorku. Mancakrida? Apa sih, itu? Kalau orang sekarang lebih akrab dengan diksi outbond. Ah, aku juga jadi pertama sekali mendengar kata itu.
Rambutnya ikal, walau sudah dipotong pendek, jambulnya yang menyembul meninggalkan sisa yang menunjukkan rambut hitam lebatnya memang ikal. Kulitnya termasuk tak gelap kalau untuk standar lelaki, badannya menjulang, tapi tetap atletis dan proporsional. Mata, dagu, hidung, semua dilekatkan Tuhan begitu simetris dan manis. Aku berdecak, memang begitu Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya.
"Desainnya bagus, Pak, tapi… kenapa ya, ini aneh..mancakrida? Bahasa apa itu?" Tanyaku pada Pak Rully ketika spanduk acara kami dibentangkan.
"Lah, ya itu dia, Gi…kita pakai jasa Learning Center dia, nih. Terima beres, tapi memang aneh, ya? Mancakrida ndak familier…" Kata Pak Rully dengan logat Jawanya yang kental.
"Ada apa, Mbak?" Lelaki tadi mendekat. Aku sempat kaget juga dia nimbrung dari belakang.
Melihat aku agak kaget, ia buru-buru mengulurkan tangan, "Kenalkan, Mbak, saya Adit. Perancang dan pramubahasa di Pusat Pelatihan Mentari."
"Oh, iya. Hai, Adit…ini, loh, di spanduk, apa nggak bikin bingung, nih?" Tanyaku sambil menunggu kata "mancakrida" di spanduk.
"Kok bigung, Mbak? Itu kan bahasa Indonesia?"
"Ya itu dia, kita butuh yang familier…"
"Bahasa Indonesia loh, Mbak, bahasa kita sendiri malah nggak familier… Nah, kalau begitu, ya, biar lebih akrab, kita pakai aja, Mbak."
Tetiba ada yang mencolekku dari samping, Ayyash kemudian membisikkanku sesuatu. "Sudah, Mbak, jangan diajak berdebat. Dia itu alumni kelas Uda Ivan Lanin…"
"Hah?" Tanyaku makin tak paham.
"Udah, deh, Mbak googling aja nama itu, entar tahu sendiri, deh."
Ah, benar saja... wikipediawan, pencinta bahasa. Ingat, pencinta! Bukan pecinta. Itu dua hal yang berbeda. Lah, aku kok jadi ikut gila? Hahaha.
Posted from my blog with SteemPress : https://stanzafilantropi.com/mancakrida/