"Ambil Baiknya, Buang Buruknya"
Salah satu kerancuan yang banyak ditebarkan pada zaman ini adalah kaidah di atas dalam mengambil ilmu. Artinya, dibolehkan orang-orang mendengarkan pembicaraan dari siapapun, kemudian ia mengambil yang baik dan membuang yang buruk padahal ia tidak memiliki ilmu tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Yang ada, ia menganggap semuanya baik, semuanya diambil. Bahkan yang lebih parah, apa yang baik ia anggap buruk dan apa yang buruk ia anggap baik, sebab telah bergeser pedoman baginya tentang mana yang baik dan mana yang buruk -dan saya telah banyak menjumpai hal ini.
Kalau ada yang berkata, "Analoginya ketika mau memilih makanan, kita bisa memilih mana makanan yang baik mana yang buruk. Kalau memilih minuman, kita bisa ambil yang jernih dan buang yang keruh."
Iya, itu gampang kalau terpisah di dua piring atau dua gelas yang berbeda. Bagaimana kalau dalam satu makanan atau minuman tercampur menjadi satu?
Maka analogi yang benar adalah dengan satu gelas yang bercampur antara air yang jernih dan yang keruh. Bagaimana memisahkannya? Ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mengerti, bukan oleh orang biasa yang bodoh tentang hal ini. Cara terbaik bagi orang awam adalah dengan membuang semuanya, itu yang lebih selamat.
Imam Muhammad bin Sirrin pernah berkata,
"Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian."
Tatkala datang seorang dua orang ahli ahwa’ mendatangi Ibnu Sirin lalu berkata,
“Hai Abu Bakr, (bolehkah) kami menyampaikan satu hadits kepadamu?”
Ia berkata, “Tidak.” Keduanya berkata lagi, “Atau kami bacakan ayat Al Quran kepadamu?”
Ia menjawab, “Tidak. Kalian pergi dari saya atau saya yang akan pergi?”
Lalu keduanya keluar maka sebagian orang berkata, “Hai Abu Bakr, mengapa Anda tidak mau mereka membacakan ayat-ayat Al Quran kepadamu?” Beliau menjawab,
“Sesungguhnya saya khawatir ia bacakan kepadaku satu ayat lalu mereka menyelewengkannya sehingga berbekas dalam hatiku."
Imam Ahmad bin Hambal, seorang ahli hadits, hafal jutaan hadits, ketika beliau ketika melewati majelis mu'tazilah, beliau menutup telinganya rapat-rapat. Padahal, memangnya tidak ada yang baik-baik di majelis mu'tazilah? Pasti ada. Dan Imam Ahmad orang yang sangat berilmu, mudah saja baginya untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Andai kaidah di atas benar, tentulah beliau akan duduk dan menyuruh manusia untuk mendengarkan juga, nanti beliau beri tahu kesalahan-kesalahannya.
Sikap Imam Ahmad ini pula yang dilakukan oleh Ibnu Thawus. Tatkala datang kepada beliau seorang yang berpemahaman mu'tazilah, beliau berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, tutuplah telingamu dengan jarimu dan keraskanlah dan jangan kau dengar ucapannya sedikitpun."
Tidak pernah dijumpai generasi salafush-shaleh menggunakan kaidah semacam ini. Mereka memilih membuang semuanya, karena ketika kebenaran dan kebathilan ketika bercampur, maka kebenaran akan tenggelam dan kebathilan akan merayap naik. Ambil dari yang benar saja, tinggalkan yang bercampur-aduk dan tutup telinga darinya.