ARTI BERPULANG SEBENARNYA
Cerpen Karangan : Alfatariah
Kategori : Menulis Buku - Cerpen Keluarga, 24 September 2017
Awan cerah mulai bertransformasi, perlahan namun pasti Sang Awan menunjukkan gelapnya malam. Tak lama kemudian rintik-rintik air mulai membasahi pipi ini. Yap.. tepat di sini, di Pelabuhan aku mengukir kenangan bersama ayahku, aku selalu merasakan kehadirannya walau sebenarnya Dia sudah tidak ada lagi. Aku rindu akan motivasinya, aku rindu akan filosofinya, aku rindu segala yang telah ada pada dirinya sentuhan kata-katanya masih menempel dalam pikiranku. Ini semua berawal ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Hari itu pagi sekali aku sudah siap untuk berangkat sekolah… “Adek ayok cepetan nanti terlambat loh..!!” kakakku mengingatkanku “iya Kak bentar… ini udah selesai kok makannya” berangkat pukul 07.00 pulang 13.00 itulah rutinitas sekolahku “Adek kapan UN nya..?” “Nggak tau kak mungkin sebulan lagi” jawabku sekenanya, seingatku sih UN nya masih lama.. “Nanti siang adek ada acara..?” “Nggak kak, kenapa emange..?” biasanya sih kakakku mengajak pergi ke pelabuhan buat nyelesain skripsi akhirnya… Kakak kuliah sudah lama setahuku ambil Jurusan perikanan dan peternakan. Namanya Naila cantik sih, tapi tetep cantikan adiknya kok.. hahah “Nanti ikut kakak mau nggak?” “Iya deh kalo nggak ada PR kak” kebiasaan mengerjakan PR sehabis pulang sekolah memang sudah ditanamkan sejak kecil
“Kak kapan ayah pulang?” kataku lirih “Nggak tau katanya sih bulan depan” “Dari dulu jawabannya bulan depan terus..” kataku sebal “Huusshh.. nggak boleh ngomong gitu ayah kan kerja buat kita.. biar adek bisa sekolah biar kakak bisa kuliah”. Rinduku pada ayah memang menyebalkan, jika dalam satu tahun ada 12 bulan maka hanya 3 bulan lah ayah pulang ke rumah. Ayahku seorang Nahkoda begitu tegas, matanya selalu menunjukkan bahwa ia adalah seorang laki-laki yang tegar bahkan ketika dulu saat Ibu sudah tiada ia tetap tegar tak menangis, tetap tegar menjalani kehidupannya tanpa kekasihnya walaupun aku tahu hatinya mulai rapuh.
20 menit berlalu “Udah nyampe dek, blajar yang rajin yah”.
Kalender Juni telah usai, kini menginjak tanggal muda Juli. Ujian Nasionalku selesai begitu cepat hasilnya pun sudah keluar, sangat memuaskan tidak ada raut wajah yang mengecewakan di antara aku dan kakakku. Tak cuma itu ayah berkirim surat katanya ia akan pulang besok pagi, begitu menyenangkan bukan.. aku harap hasil Ujian Nasional sebagai kado terindah bagi ayah ketika ia datang ke rumah nanti. Teman-teman juga sudah sering bertanya mau ke mana ngelanjutin sekolanya tapi aku hanya menjawab entah menunggu keputusan ayahku “Emangnya pingin masuk ke sekolah mana sih dek? Kok dari tadi kayaknya bingung.. kan nilai kamu bagus” kata kakakku “Yah itu masalahnya kak.. aku bingung pinginnya sih masuk sekolah unggulan aja, teman-temanku juga banyak yang ke sana tapi takutnya ayah nggak setuju” dengan intonasi rendahku seperti itu aku harap kakakku dapat membantuku membujuk ayah “Kan adek tau sendiri dari dulu ayah pinginnya habis ini adek mondok… biar nggak kena pergaulan bebas yang kayak sekarang ini” ia mencoba menjelaskan kepadaku “Tapi kan kakak dulu nggak mondok.. kenapa sekarang aku yang mondok! Nggak adil kak” aku protes kepadanya “Beda adek.. zamannya kakak dulu nggak kayak gini..” “Pokoknya nggak adil..!!!” sahutku marah sambil masuk ke kamar.
Sebenarnya aku sudah tau kalau ayah inginnya aku pergi ke pesantren daripada sekolah umum, meskipun aku sudah mencoba meyakinkanya. Aku masih ingat ketika aku terakhir meyakinkannya di pelabuhan sewaktu kelas 5, karena bagi ayah pelabuhan adalah tempat terbaik untuk menyaksikan senja sambil bercerita. “Ayah tau Zahro anaknya teguh pendirian, pendiam, nggak akan ikut-ikutan pergaulan bebas zaman sekarang. Tapi Zahro harus ingat dunia ini selalu berputar… terkadang air pasang, lalu surut. Sini! Lihat itu.. Cahaya matahari begitu redup bukan? Padahal tadi pagi ia begitu terang layaknya zahro. Ayah nggak mau ketika cahaya zahro mulai redup zahro mulai ikut-ikutan teman zahro yang aneh-aneh, ayah cuman ingin menjaga zahro” ia memelukku begitu erat.
Tok.. tok.. tok.. “Naila.. Zahro ayah datang” ketukan itu membuatku terkaget, aku bergegas lari dari dapur untuk membukakan pintu “Kak… ayah datang..!!” aku meneriakki kakak ku yang ada di dalam kamar. “Wah wah anak ayah sudah besar ya…? Naila gimana udah dapat calon kan… hahha” terlihat dari wajah kakakku ia sedikit malu-malu untuk mengenalkan calonnya “Sudah yah tinggal nunggu persetujuan dari ayah” wajahnya sedikit memerah “Eh kakak kok nggak ngenalin ke zahro sih calonnya kakak” protesku “Kan adek nggak harus perlu tahu.. weekk” ia mengejekku. Begitu hangat bukan suasana ketika kami berkumpul, ayah melihat kakakku sudah mulai dewasa dan ia siap untuk menikah sedangkan ayah melihatku penuh bangga ketika aku memberikannya selembar kertas pengumuman hasil ujian nasionalku “Yah.. sebenarnya zahro pingin..” belum selesai aku berbicara ayah menyahut “sstt.. kita bicarakan nanti saja hadiahnya… oh iya nanti sore zahro harus ikut ayah ke pelabuhan ceritakan bagaimana soal ujian nasionalnya zahro.. sekaligus lihat senja matahari.. kan zahro dulu suka senja di pelabuhan”.
Kami bersenda gurau terkadang membahas pengalaman ayah ketika di laut lalu bercanda rencana pernikahan kakak, keadaan ini sudah sangat kurindukan dari dulu. Sore ini aku harus memberanikan diri untuk mengatakan aku ingin melanjutkan sekolahku di umum bukan pesantren “ayah jadi kan ngajak zahro ke pelabuhan?” tanyaku “oh iya sebentar zahro ayah ke kamar dulu” setelah itu kami meninggalkan kakak di rumah yang sedang sibuk menyiapkan daftar nama undangan pernikahannya. Kami duduk di tempat seperti biasanya, tempat dimana aku dan ayahku dapat melihat senja begitu indah “ayah.. zahro sebenarnya nggak pingin ke pesantren” aku mengatakannya dengan lirih takut menyinggungya “hmm.. sebenarnya ayah cuman ingin menjaga zahro.. yang ayah nggak mau cuman ketika zahro..” “ketika zahro mulai redup dan zahro ikut-ikutan pergaulan nakal kan? Zahro nggak akan kayak gitu yah.. ada kak naila dan dan calon suaminya yang mungkin akan menjaga zahro ketika ayah berlabuh nanti..” aku sedikit menyela perkataan ayahku “tidak zahro… ayah tidak akan keberatan jika melepas pekerjaan ayah untuk menjaga zahro.. suatu saat nanti ayah akan kembali kepadanya menyusul ibumu.. dan ayah tidak ingin melihatmu rapuh ketika ayah pergi, dengan zahro pergi ke pesantren zahro mungkin akan lebih mandiri dan tidak akan serapuh itu”
Tiba-tiba ayah mengeluarkan sesuatu, tepatnya selembar kertas “ini untuk zahro, ayah akan pergi sebentar mungkin zahro butuh sendiri untuk merenungkannya” ia pergi menjauh dariku.
Kulihat lipatan kertasnya begitu kusam mungkin sudah lama dibuat, “Mungkin ini sudah waktunya..” aku membacanya dengan lirih, ini jelas bukan tulisan ayah atau kakak. “maafkan aku tidak bisa menemanimu hingga usia senja kita, maafkan aku tidak bisa menemanimu merawat kedua anak kita, aku mungkin akan pergi selamanya tapi tolong tetaplah terlihat tegar di depan mereka. Semua orang akan mengalami ini… ditinggalkan oleh orang yang mereka sayangi namun kuharap kau dapat mendidik mereka mandiri karena aku tidak ingin melihat mereka rapuh ketika suatu saat kau harus menjemputku…” membaca sepenggalnya membuat mataku menetes.
Ayah tiba-tiba datang memelukku dengan lembut “zahro tahu kenapa sampai sekarang ayah begitu tegar ketika ibu tiada..? karena Ibu selalu mengajarkan ayah arti ketegaran, walaupun pada awalnya ayah sangat terpukul dan rapuh dalam hati ayah” ia mengelus rambutku dengan kasih sayang.
6 tahun bukanlah waktu yang sedikit, setidaknya kau harus tahu ditahun pertama aku begitu rapuh, cahayaku mulai redup persis seperti yang dikatakan ayah. Aku sering menangis merindukan rumah namun itu tidak berlangsung lama, di tahun-tahun berikutnya aku mulai merasakan arti pesantren dimana terkadang orang sering menafsirkan kami sebagai orang yang terpenjara dalam penjara suci tapi tidak bagiku, pesantren adalah tempat bermain kami juga sebagai tempat mengembangkan jiwa yang tangguh. Mungkin inilah yang sedang dibutuhkan bangsa kita generasi yang berjiwa tangguh bukan mereka yang berjiwa pengecut ketika menghadapi sesuatu lalu berputus asa dan berontak sehingga menjadi berandalan yang tidak jelas… Percayalah aku benar-benar mengalaminya hari itu.
“Kenapa kak kok tiba-tiba ngajak pulang..?” tanyaku heran “Ada sesuatu yang harus kakak beritahu pada zahro..” katanya sedikit tergagap “kok harus pulang sih kak..? ngomong di sini kan bisa” kataku polos. Aku, kakakku dan suaminya berada di ruang tamu, suasananya terasa sunyi seperti ada sesuatu yang tidak beres “ayah tenggelam..” kata kakakku lirih. Entah tiba-tiba air mataku tak dapat dibendung “sebenarnya ayah sudah tenggelam dua hari yang lalu” ia melanjutkan pembicaraannya “kenapa kakak tidak langsung memberitahuku..!!” aku mulai marah, kakakku memegang tanganku dengan erat “dengarkan dulu zahro.. sebenarnya kakak ingin langsung memberitahumu, tapi kakak nggak pengen kamu terlarut dalam kesedihan itu karena sebenarnya tim SAR sudah dikirim untuk mecari jasad ayah, namun hingga saat ini ayah belum ditemukan” aku melepaskan pelukan kakakku, berlari kencang pergi entah ke mana kaki ini ingin melangkah “Ayaaahh..!!!” aku berteriak dengan kencang.
Persendianku lemas, satu hal yang kuingat darinya ketika ia memberikan sebuah lembaran kertas bahwa aku pasti akan mengalami hal ini dan aku sadar semuanya telah terjadi dan aku tidak dapat menentang takdir kematian ayah ataupun memperpanjang umurnya. Satu hal yang harus kuingat, semua yang bernyawa akan kembali padaNya dan aku harus tetap tegar walau terasa berat. Kini aku berjanji meski tanpanya aku akan tetap membuatnya merasa bangga bahwa ia memiliki anak perempuan yang begitu tegar walau sejak kecil aku hanya dibesarkan dengan kasih sayang sang ayah “ingat aku akan membuat kalian bangga.. percayalah itu ayah.. ibuu” kataku lirih menatap senja di antara kapal-kapal pelabuhan.
Cerpen Karangan: Alfatariah
Vote U
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/arti-berpulang-sebenarnya.html