
Warsini memandang suaminya lekat-lekat. Air matanya berlinang. Samadikun balas melirik. Pandangan mereka bertemu sedetik, sebelum laki-laki itu kembali fokus pada tugasnya.
“Sah,” ujar petugas KUA. Ghazal, mempelai lelaki menghembuskan nafas lega dan mengucapkan puji syukur.
Ghazal dan Kemuning menandatangani buku nikah, begitu juga Wak Karso dan Lik Satro. Setelah semuanya selesai Kemuning memeluk ibunya dan kemudian menangis tersedu-sedu di pangkuan ayahnya. Ghazal hanya bisa garuk-garuk kepala.
Pak Nanang, petugas KUA memberikan wejangan pernikahan. Sementara para hadirin tekun mendengarkan, Warsini hanyut pada peristiwa 24 tahun 5 bulan 9 hari yang lalu, saat dokter yang membantu persalinan memutuskan bahwa Kemuning takkan berumur lebih dari seminggu.
Samadikun bukanlah pria yang menyukai kekerasan. Bahkan untuk membunuh seekor lalatpun ia tak pernah tega. Hari itu, dokter yang membantu kelahiran Kemuning harus bernafas dari mulut sampai lima hari lamanya karena tulang hidungnya patah. Darahnya terpercik sampai ke dinding. Kejadian itu menjadi pelajaran bagi para dokter lain di rumah sakit tersebut untuk berhati-hati saat menyampaikan diagnosa kepada keluarga pasien.
Warsini dan Samadikun tak pernah lagi mengunjungi dokter.
Kemuning bayi menjalani hari-harinya dengan susah payah. Ia selalu sakit-sakitan. Samadikun selalu berada di sisi ayunan saat anaknya rewel karena demam, dengan kompres dingin yang selalu dijaga kelembapannya. Mengukur suhu tubuhnya. Berdoa.
Saat itu, orang tua yang mempunyai anak balita umumnya memikirkan pemakaman saat anaknya demam. Tapi tidak bagi Samadikun dan Warsini.
Usia Kemuning tepat satu tahun saat pemerintah mengumumkan wabah endemik demam berdarah melanda wilayah mereka. Setiap hari terdengar pengumuman dari pengeras suara masjid berita duka.
Malam kelima setelah wabah resmi diumumkan, Warsini menggendong Kemuning yang badannya hangat. Cacar air. Ia menoleh pada suaminya yang sedang menonton televisi, dan berkata:
“Kita harus pindah.”
Samadikun menatapnya, menatap Kemuning.
“Besok pagi-pagi kita berangkat.”
Dua jam setelah matahari terbit, Malaikat Maut yang hendak ke rumah tetangga mereka iseng-iseng mampir. Rumah Samadikun kosong. Piring dan gelas kotor di atas meja makan.
Ia memasuki kamar bayi. Sebuah boneka tikus terbuat dari katun berwarna merah jambu tergeletak di atas ranjang.
Malaikat Maut tersenyum.
“Lucunya...”
TAMAT
Hi! I am a robot. I just upvoted you! Readers might be interested in similar content by the same author:
https://steemit.com/writing/@ayahkasih/jadi-pengarang-itu-berat