Pernahkah kamu merasakan hari yang menjadi hari tersial dalam hidupmu? Bayangkan jika yang terjadi padaku hari ini menimpamu.
Gawaimu mendadak padam kehabisan daya, layarnya hitam segelap hitam-vanta, hitam yang paling hitam selain lubang hitam yang menganga di rasi Angsa.
"Ah! Sial!" teriakmu ditujukan ke langit ketujuh.
Kamu menggigit bibir kesal membayangkan harus ke kafe terdekat. Di rumah makan tempat makan siang tadi tidak menyediakan stopkontak bagi pelanggan. Dan sebelumnya kamu gagal membeli pulsa pengisian token listrik prabayar karena mesin ATM di pom bensin depan rumah makan tak berfungsi. Sisa pulsa listrik di meteran listrik rumahmu terbaca nol
"Naskah ini harus terkirim sebelum jam dua," gumammu sambil menatap jam dinding yang akurasinya diragukan. Kamu mencari-cari dompetmu di setiap celah ruangan sebelum menemukannya terselip di bantal kursi sofa.
Buru-buru mengenakan kaus polo hijau pudar yang tergantung di balik pintu sejak tahun lalu dan segera mencabut pengisi daya dari stopkontak. Paha sudah terbungkus celana jins robek. Kamu mengenakan sepatumu, Nike Air buatan lokal. Solnya mulai menganga setelah terkena hujan tiga kali. Tentu saja kamu mengenakannya tanpa kaus kaki.
Lalu kamu bergegas ke luar, menemukan matahari Senin yang membakar ubun-ubun. Sudah seminggu cuaca secerah Athena di puncak musim panas. Dan kamu balik lagi karena lupa mengunci pintu depan. Mengintip jam dinding, waktunya menunjukkan pukul 13:51. Kurang lebih.
Setengah berlari kamu meninggalkan kompleks perumahan, menyusuri gang-gang yang dipenuhi mobil yang diparkir di sisi kanan-kirinya. Orang-orang ini punya mobil pribadi namun tak berdaya untuk mengisi bahan bakarnya atau tak punya daya juang melawan kemacetan yang memerahkan garis pada peta daring dan terlalu malas memarkirkan mobil ke dalam garasi. Sayang kamu tidak bisa memeriksa peta karena gawaimu kehabisan daya, ingat?
Tiba di perempatan yang biasanya macet karena perbaikan gorong-gorong, kamu terkejut karena suara teriakan hiruk pikuk dan gerombolan manusia berlarian melewatimu layaknya semut yang sarangnya dibanjiri air. Dalam gerakan lambat, kamu mengenal beberapa di antaranya: Mang Tata penjual seblak, Didin penjual batagor, Ceu Entin penjual sup buah—
Kamu menoleh ke kiri. Sebuah truk bemuatan batu gunung penuh melindas lubang jalanan tergelincir dan meluncur dalam gerak lambat ke arahmu.
Mendadak semuanya hening. Gawai dan pengisi daya sudah tak ada tak ada lagi dalam genggaman dan pikiranmu.
Situasi di persimpangan seperti medan perang. Tubuh-tubuh bergelimpangan. Darah berceceran. Karbon monoksida dari asap yang mengepul dari knalpot mobil dan sepeda motor yang ringsek memenuhi udara.
Kamu baru menyadari bahwa kamu tidak lagi memakai kaus polo hijau pudar dan celana jins robek. Di kakimu bukan Nike Air buatan lokal. Kamu memakai jubah sederhana tanpa warna.
Kamu berdiri setengah melayang, memandang tubuhmu yang terjepit di antara truk dan pagar tembok toko bahan bangunan di perempatan tempat kamu berdiri beberapa menit sebelumnya.
Seseorang mengambil video lokasi dengan gawai kamera. Jam digital di gawai itu menunjukkan angka 14:01.
“Sial! Gagal mengirim naskah tepat waktu,” kamu bergumam.
Hari ini adalah hari tersial dalam hidupmu.
TAMAT