Suara gemuruh riuh rendah itu berasal dari asrama.
Sorak sorai gegap gempita memenuhi udara dan derap kaki yang menginjak tanah berlari-lari mengkonfirmasi kecurigaanku: telah terjadi perkelahian.
Sebuah kepala kecil milik Pudin, santri yang terkenal sebagai biang gosip muncul di pintu kamar mandi dan mengumumkan:
“Benu dan Mahpud berkelahi gara-gara sandal di Bangsal F!”
Dia menghilang di balik pintu dan sandal jepitnya berderap di semen teras saat dia berlari untuk menyebarkan berita ke bagian lain pesantren.
Aku sebenarnya tidak tertarik karena sedang sibuk menggosok tubuhku dengan sabun. Tanganku naik turun dari lutut sampai ujung jari kaki, tak ingin menyisakan lumpur kering yang melekat sehabis bermain bola tadi, meski hanya sebutir zarrah.
Beberapa anak laki-laki dengan air masih menetes dari badan setengah telanjang hanya berbelit handuk di pinggang berlari keluar. Badri tergelincir dan terjatuh mendarat dengan pantat. Aku menggelengkan kepala melihat semua kekonyolan itu.
Merasa kakiku tak nyaman, aku menggosokkannya di lantai ubin kamar mandi. Masih juga tak selesa. Kembali aku menggosok sambil mengamati kaki kananku. Aku tersentak kaget saat menatap sandal jepit yang tampak kasar di bawah kakiku. Dengan cepat, aku mengikatkan handuk di pinggangku, meraih ember dan dengan cepat keluar kamar mandi.
Teriakan dan sorak sorai sudah mencapai kebisingan stadion saat gol penentu kemenangan tercipta saat aku sampai di ujung tangga. Jantungku berdebar-debar antara bingung dan bersalah, setiap langkah melompati tiga anak tangga hingga akhirnya tiba di bangunan asrama.
“Hei, takut ketinggalan tontonan seru, ya?” Seseorang yang kusalip berseru.
Ember berisi peralatan mandi dan pakaian kotor kujatuhkan, lalu berlari kencang ke Bangsal F. Dengan sekuat tenaga aku membelah menerobos lingkaran kerumunan santri di sekitar dua anak laki-laki bertelanjang dada yang bergulat dibakar sorak sorai di sekeliling mereka. Terengah-engah, aku memegang kedua anak laki-laki itu dengan kedua tanganku dan mencoba membuka ruang di antara keduanya untuk memisahkan. Tangan-tangan usil mencoba menarikku dari belakang, tapi aku bertahan, tetap berjuang melerai kedua petarung itu, meski tampaknya sia-sia.
“Cukup! Cu—“ kata-kataku terputus oleh tinju tangan kiri Benu yang menyasar pipiku.
“Jangan dipisah. Lagi seru, nih!” protes penonton.
Aku melindungi wajahku dengan telapak tangan kiri, diam sejenak, lalu mengangkat tumit kiri ke tangan kanan. Melepaskan karet keras dari kaki dan kemudian menampar Benu dengan kecepatan elang menyambar tikus penuh dendam, dan kemudian melakukan hal yang sama ke kepala Mahpud.
Masih belum puas, aku melepaskan sandal sebelah lagi dari kaki kiriku dan, bagai menabuh bedug pertanda magrib masuk waktu, aku menampar wajah keduanya. Mereka berdua kaget menatapku dan berusaha meninju wajahku. Aku menghindar mundur ke belakang tepat waktu untuk mengangkat sepasang sandal jepit yang berbeda kiri dan kanan di tanganku.
Dengan napas hampir putus, aku berteriak marah:
“KALIAN ... BAHLUL ... INI ...!”
Bandung, 6 Maret 2018
very nice
Ringan...dan nikmat jika ada beberapa lagi 😅
Teurimong geunaseh, aduen @sukro
Saleum 🙏😊
Membangkit kenangan saat diam di asrama dulu. Pergaduhan hal biasa sehingga tidak bertegur sapa - selain penghasut pasti ada juga pendamainya.
Hahaha....dulu di asrama, @nizamalkahfi?
Mungkin pengalamannya bisa dibagi di steemit 😊
Membesar di asrama dari usia 12 hingga 18 tahun. Pulkam tiga kali dalam setahun.
Hahaha... sendal jepit sendal jepit...