(Cerita) Derita di Dasar Sumur

in #story7 years ago

image

Setelah sejak pagi, sampai separuh hari berlalu, Wayan berkutat dengan kebunnya, mencabuti batang-batang singkong, menyiangi, lalu memasukkannya satu persatu kedalam karung. Bersaing dengan terik matahari dia pulang, melewati jalan kecil yang memotong hutan, semak, padang ilalang. Berliku-liku dan panjang. Baru sepertiga jalan ketika beban berat di bahunya tak tertahankan lagi, pegal, sampai terbungkuk-bungkuk Wayan menahan berat.

Ketika nampak sumur tua tak jauh dari tepi jalan, tubuh rentanya berontak ingin istirahat, diturunkannya sekarung singkong dari bahunya, lalu menyeretnya ke arah pohon besar rindang di tepi sumur. Di sandarkannya tubuh kakunya di batang pohon, bergemeletuk sendinya seiring ia meluruskan punggung, membujurkan kaki, di iringi rasa penat yang
perlahan lepas. Pandangannya menerawang. Membayangkan rebusan sungkong dengan
kopi hangat di pagi hari esok. Dirinya yang menanam kembali batang-batang singkong, bisa hanya sekedar mencabuti rumput, atau meninggikan pagar pembatas kebun.

Setiap harinya Wayan rasa sangat menyenangkan, patut di nikmati. Seulas senyum merekah dari
wajahnya. Sekarang Wayan sudah siap, tuntas sudah pelepasan penatnya. Sekarung singkong
sudah di pundak, badan pun sudah tegak. Wayan kembali harus merunduk, memungut arit yang tergolek di samping pijakannya. Ia melangkah menyamping ketika secara tidak sengaja tungkai kakinya menyerempet akar pohon yang mencuat.

Wayan limbung, terseret ke arah sumur, sebelah kakinya berusaha memijak, namun terperosok, terus membenam, ia jatuh ke dalam sumur, terbanting dalam lumpur di dasarnya. bersama sekarung singkong.
Singkong yang malang.


“Abang, besok, Amir sama teman-temannya bilang mau masuk hutan, cari tongkat peramuka katanya.” suara seorang wanita dari arah dapur terdengar.

Seorang lelaki berjalan ke arah dapur, menengok “Tak usah, Aku saja masuk hutan, bilang sama Amir buat tunggu saja, sore abah pulang bawa tongkat.” katanya kemudian masuk bilik setelah sebelumnya mengedarkan pandangan ke meja makan, kosong. “kata gurunya Amir, lurus, dua meter bang, kusuruh dia bawa saja palang jemuran depan rumah, dia tak mau.” sambil kesusahan meniup perapian, si wanita berucap. tak tau ucapannya di sahuti tawa dari dalam bilik.

“tak perlu kau pusingkan itu, Dayang. laki Kau ini, dulu, kenal dekat peramuka itu, tau betul seperti apa tongkat peramuka. Palang jemuran sudah tentu tidak masuk kategori.”
sambil masih tertawa-tawa si suami menimpali. “cukuplah kau siapkan aku kopi sepulangku besok, yang.”

Suaminya menambahkan, kali ini lebih lembut, sangat lembut. “iya, bang.” Dayang mengiyakan, tersenyum. Hayalnya melayang. tak rugi ia terima pinangan suaminya dulu, baik betul. Kembali Dayang beniup tungku perapian.

Hampir dua hari berlalu, Wayan megap-megap dalam sumur. Badannya belepotan lumpur. singkong-singkong bekas gigitannya berserakan. Tak lagi berasa kakinya yang terendam lama. Rasa keram di pinggulnya semakin mencekik setiap saat. Sepanjang malam ia meraung-raung, melolong meminta tolong.

Melongok ke atas, sangat berharap seseoang menengok. Kadang tangannya meraba-raba dinding sumur yang dingin, kali saja tersentuh olehnya seutas tali yang akan menariknya ke atas. Namun itu tak pernah ada. Ia akan mati merana dalam sumur.

Pilu, juga naas. Sudah tiga malam tidak ada nyala lampu dari rumah Wayan. Anggapan tetangga ia pergi ke kota, menengok cucu seperti yang rutin ia lakukan saban bulan, atau beberapa anggapan lainnya. Tidak benar-benar ada kehebohan. Tak tau orang yang bersangkutan putus asa, meregang nyawa dalam gelapnya sumur.

Separuh badannya terendam lumpur, separuhnya lagi menggapai-gapai lemas, tenggorokannya serak, mulutnya kering, badan kaku, tegang. Teriakannya bahkan hanya
berupa jeritan lirih, tak mampu menggapai bibir sumur. mengunyah singkong mentah hanya menambah rasa serak di tenggorokannya.

Tiga hari Wayan lalui penuh derita, mengiba, memelas kepada siapa saja. Pada lumpur, pada dinding tanah, terkadang pada rumput yang
tumbuh di tepi sumur, melambai-lambai tertiup angin, seolah memanggilnya. Dalam hati ia
memohon.
“..Tuhan, saat ini rasanya kematian lebih mudah untuk ku, jauh lebih mudah..”
Pikirannya tentang rebusan singkong, menanam, meninggikan pagar kebun, atau ingatan tentang cucu-cunya di kota, telah lenyap. Berganti oleh rasa takut, resah gelisah. Bagaimana bila ia selamanya di dasar sumur, mengering jadi tulang belulang, melebur bersama lumpur, tak ada yang tau.

Sebuah kepastian menggantung di benaknya, ia akan mati perlahan, sagat pelan. Sejak subuh Herman menjelajah hutan, menebas semak, membabat ilalang. Tak bertemu satu pun dahan yang menyandang kategori sebagai tongkat pramuka. Ada yang lurus, pendek. Kadang nampak yang panjang, bengkok. Masuk siang hari, tak terhitung
sudah berapa dahan yang ia tebas, tak satu pun kena di hatinya.

Kakinya letihnya menyusuri jalan setapak, sampai nampak olehnya pohon rindang. Herman mengulas
senyum, pandangannya menangkap salah satu dahan, lurus, pangang. cocok untuk tongkat pramuka, cocok juga jadi palang jemuran.

Herman mendekat, berhenti ketika pandangannya tertumpu pada lubang besar di bawah pohon, sebuah sumur. Tak tau ia di situ ada sumur. Sebagian pinggirannya tertutup semak, terdapat batu pijakan yang berlumut. Sumur
tua.Mungkin telah lama kering.
Sengaja ia tengokkan kepalanya, hanya ingin mengetahui ada apa di bawah sana.

Terlihat olehnya hanya kegelapan, agak lama sampai matanya mulai terbiasa. terdapat bayang-bayang berlumpur dan sebongkah batu besar. Batu menyerupi sosok, semakin lama Herman mengenali, semakin berbentuk sosok yang ia anggap batu itu. Merinding, Herman
mencengkram erat tepi sumur, mengerjap-ngerjapkan matanya. Herman tau, tapi ragu. Keraguan yang segera sirna. Benar yang ia lihat. di bawah sana, terdapat seonggok manusia.

Tambang di ulur, tangga di turunkan. Orang-orang berkumpul, hiruk pikuk, penuh sesak. Beberapa bertengger di dahan pohon, menjulur, mengintip ke dalam sumur.

Berharap dapat melihat manusia di dalam sana. Ujung-ujung tambang telah di ikatkan pada pokok-pokok pohon. Tangga telah mencapai dasar sumur. Menjelang senja ketika tubuh Wayan berhasul diangkat, keluar dari sumur. Orang-orang terpekik, mundur. Gumaman
istighfar dari berbagai arah. Menyeruak berbagai macam suara. Suasana gaduh. Dihadapan mereka sesosok tubuh, basah, kotor berlumpur, tatapan mata kosong, pucat, tak bergerak.

Bagian-bagian badan mengkerut, terlalu lama terendam dalam lumpur. Sepakat, tubuh itu
sudah tak bernyawa.

Tak ada yang tau pasti, bagaimana Wayan menghadapi enam hari terakhirnya di dasar sumur. Bagaimana ia meregang nyawa, sekarat dalam kekalutan dan cengkraman rasa takut. Hanya sekarung singkong, yang jatuh bersamanya jadi saksi bisu.

Bagaimana Wayan, di dasar sumur di kekang keputusasaan, telah memilih mati. Dengan tangannya sendiri, ia gapai lehernya, mencekiknya sekuat tenaga. Segitu tak mati pun, tangan itu hanya menggenggam lemah, tenaganya habis. Ia benar-benar mati perlahan oleh maut, meregang, menggapai-gapai lemah. Tubuhnya merosot. Hatinya mengerang, menahan derita.

“...Secepatnya, matikan aku, Tuhan..”

Setelahnya, Tubuh itu diam, senyap. Kesunyian yang dalam melingkupi hutan, melepas perginya roh yang memikul derita, kembali ke Tuhannya.

Tamat.