(Story) KOLONI TERAKHIR

in #story7 years ago

image

Sudah tiga hari sejak tersiar kabar runtuhnya koloni barat oleh musuh, kepanikan itupun masih menghantui seluruh rakyat koloni utara. Rakyat pun serentak mendesak Sang Ratu untuk melakukan tindakan secepatnya.

Koloni barat adalah destinasi terbesar kerajaan umat semut sedunia. Mereka memiliki pasukan batalion yang kurang lebih berjumlah hampir satu juta pasukan dari berbagai ras semut. Rasanya mustahil koloni terkuat sejagad itu runtuh dengan begitu mudahnya.

"Demi dewa Ant! Ini adalah pertanda malapetaka!" Rutuk seekor semut dari ras prystomyrmex punctatus dengan aphid yang menjadi pasangan simbiosisnya.

"Sekarang hanya tinggal koloni kita yang tersisa, ini kiamat!" Timpal seekor semut lain dari ras crematogesper sp yang tinggal di dalam kayu lapuk.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan bumi ini!" Serentak seluruh koloni histeris.

Ketagangan dibenak rakyat sungguh tak bisa digambarkan dengan kekata apapun--tak terkecuali aku. Begitupun dengan anak-anak yang tak luput dari sensasi amat mecekam ini, dan berbondong-bondong memeluk ibu mereka masing-masing.

"Ibunda, apa kita semua akan mati?" Tanya seorang anak semut. Tubuhnya tak hentinya bergetar.

"Ibunda selalu bersamamu." Jawab Sang Ibu ragu sambil memeluk putranya. Air matanya jatuh tak terbendung lagi.

Musnahnya kerajaan besar, maka akan diikuti dengan runtuhnya mental kerajaan kecil. Pergerakan musuh diprediksi amat cepat dan tak terduga. Di arah barat, di atas singgasana Sang Ratu memerintahkan untuk seluruh batalion bersiaga penuh. Unit komando penyelamat terus mengevakuasi dan memberikan instruksi kepada para SEMULA (semut lanjut usia), para betina, anak-anak, serta siapapun yang tak bisa ikut dalam peperangan untuk segera menuju gerbang selatan kerajaan. Mereka berdesak-desakan, penuh sesak. Dekingan ronta, ratapan pilu, jerit histeris semua bersatu bagai alunan simfoni yang menggetarkan jiwa sesiapa saja yang mendengarnya.

Air mataku jatuh begitu derasnya tanpa kusadari.

Aku tahu--kami semua tahu, kami hanya tinggal menunggu waktu untuk menjadi bagian dari sejarah musnahnya peradaban semut.

Hiruk-pikuk kian menjadi manakala cenayang melihat samar-samar pergerakan musuh dari bias pantulan cermin air.

Sang Ratu dan para pemuka kerajaan pun dengan sigap memberi mandat kepada Jendral besar Atilla sebagai pemimpin untuk membentuk berikade pertahanan. Atilla berasal dari ras semut coptotermes formasanus shiraki--ikon semut perang yang merupakan hama tanaman. Adapula para pemuka religi mengajak seluruh rakyat untuk tak henti-hentinya memanjatkan do'a. Para ibu sibuk menenangkan anak mereka yang merengek. Dan para pejantan mendapat titah dari Sang Ratu untuk ikut serta dalam barisan keprajuritan.

Dan aku. Aku adalah semut hitam dari ras dolichoderus thoracicus yang menjadi bagian dari pasukan barisan terdepan yang dipimpin oleh komandan Don.

"Seluruh prajurit diharapkan bersiap karena diprediksikan musuh sudah mencapai ladang gandum!" Seru Jendral Atilla dengan suara lantangnya yang menggema hampir ke seluruh koloni pasukan semut.

Para koloni segera bersiap dibarisannya masing-masing, kemudian serentak berlari menuju gerbang depan.

Ini sungguh gila! Sudah secepat ini mereka sekarang hanya berjarak tujuh meter menuju tempat kami. Ya dewa Ant, sungguh tak dapat dipercaya. Dan bahkan aku belum menikah! Rutukku dalam hati sambil berlari mengikuti barisan koloni. Entah kenapa di saat genting seperti itu, aku masih sempat memikirkan hal-hal yang sepele. Rasa takut sudah menghantuiku, menjalar ke seluruh darah dan tubuhku yang tak hentinya bergetar. Itu sebabnya mungkin dengan bermaksud mengalihkan pikiran, aku bisa sedikit lebih tenang.

"Aku sebenarnya sudah terbiasa merasakan ketegangan seperti ini. Ketika turun hujan misalnya. Itu adalah bencana alam paling mengerikan." Ungkap seekor prajurit di sampingku.

"Kau benar. Tapi keadaan ini sungguh berbeda. Kita tak tahu spesies seperti apa yang menyerang kita. Ini jauh lebih buruk dari penyerbuan para belalang tempo lalu." Timpal seekor prajurit lain.

"Apa kita masih memiliki harapan?"

"Kurasa tidak. Walaupun sekaliber Jendral Atilla yang turun tangan."

"Jadi spesies kita benar-benar akan musnah?"

"Tidak!" Aku menyela dialog memelas mereka, "Kita pasti bisa melakukan sesuatu."

Bisa melakukan sesuatu? Cukup sudah aku mengutuk diriku ketika pernyataan itu sesumbar kulontarkan begitu saja. Aku tahu, semuanya pun tahu ini hanya kesia-siaan belaka. Bahkan koloni kami bukanlah tandingan untuk koloni barat. Seberapapun kami berharap, yang tersisa hanyalah getir yang kian menusuk-nusuk jantung kami. Tak ada salahnya berharap, memang. Namun kami sungguh tahu kondisi kami, dan sejauh mana kami bisa berupaya untuk bertahan. Tentu kami akan bertahan sekuat tenaga kami. Kami tak akan merelakan tanah air kami diinjak-injak musuh begitu saja.

Aku menundukkan muka dari mereka, mentap bumi dalam-dalam. Bau tanah ini begitu nikmat. Belum pernah aku merasa menikmati sesuatu yang tentu akan kurindukan aromanya. Aku menghela nafas cukup lama, merasakan udara masuk lewat celah-celah sempit trakeaku. Ini membuatku sedikit lebih tenang.

Bagai letusan balon tepat di telingaku, suara terompah itu berbunyi--menandakan musuh telah terlihat. Koloni belum sepenuhnya siap di posisi masing-masing. Sesaat aku mendengar suara terompah itu begitu menggema, tapi sesaat kemudian seluruh semesta sunyi. Koloni berhenti berhiruk-pikuk. Mereka--semut-semut yang tadi berdialog memelas itu, tak lagi bersuara. Tak ada satupun mandat dari para komandan koloni. Don, komandanku hanya mematung menatap ke atas. Begitupun dengan Jendral besar Atilla, bahkan Sang Ratu dan yang lainnya. Sejenak itupun aku sadar, ketika sebuah bayangan besar mengawani seluruh dataran kerajaan.

Kami adalah koloni terakhir. Secercah harapan terakhir dari spesies kami, para semut. Masa depan kami. Kehidupan kami. Semuanya musnah dalam sekejap oleh telapak kaki super raksasa yang menghujami kerajaan kami bertubi-tubi tanpa rasa iba. Dan yang paling menyesakkan dada, musuh kami hanya satu ekor. Satu ekor manusia laknat dengan senyum sumringahnya yang sempat aku lihat sebelum mataku tertutup untuk selamanya.

~Tamat~