Tidak terasa sudah satu tahun. Kisah perjalanan ini belum pernah kuceritakan kepada siapapun, tidak seorang pun! Banyak yang menyarankanku untuk menuliskannya, tapi aku lebih memilih untuk menikmatinya bersama diri sendiri, dalam sepi. Namun, kali ini akan kucoba merangkainya kembali agar tidak menjadi sebuah memori yang tersimpan rapi di dalam diary. Perjalanan panjang ini selain menguras banyak energi juga membutuhkan keberanian yang tinggi.
Perjalanan ke Norway ini adalah perjalanan yang hanya bermodalkan nekad. Dari Yogyakarta sampai ke Trondheim, tempat diselenggarakannya ISFiT 2017, kususuri seorang diri, tanpa bekal yang memadai. Aku masih teringat ketika di Bandara Adisucipto bagaimana aku menunggu boarding pesawat tujuan ke Kuala Lumpur di ruang domestik. Masih jelas ingatan bagaimana keringat dingin di ubun-ubun kepalaku yang menyebar ke seluruh tubuh ketika 30 menit menjelang boarding pesawat, tanpa sengaja Aku membaca tulisan "International" di papan berwarna hitam-kuning di sebelah kiri tempat dudukku.
"Pantengong! Ini ruang tunggu domestik, Tolol!". Dengan setengah gemetar aku bergegas pindah ke ruang tunggu khusus penerbangan internasional karena perjalanan menuju ke Norway Aku memilih lewat jalur penerbangan Malaysia. Untung saja masih ada waktu beberapa menit lagi sebelum boarding, sudah begini masih saja untung ya? Dasar, ketololan yang nyata! Ini adalah keteledoran yang kedua di awal perjalanan ini setelah sebelumnya minta diantar ke terminal A yang seharusnya air asia berangkat melalui terminal B.
Di ruang tunggu internasional inilah baru terasa sedikit lega setelah menjalani beberapa shock therapy tersebut. Kamu, jangan pernah pergi sendiri, Sendiri itu berat, kamu tidak akan kuat, biar aku saja!
Kulirik jam, sekarang pukul 11:25 WIB. Itu artinya 20 menit lagi waktu keberangkatan tiba. Di Kuala Lumpur, pesawat landing pukul 15:20 waktu setempat. Kau bisa membayangkan bagaimana anak kampung seorang diri dengan barang bawaan sebuah koper dan tas ransel di pundak serta sebuah tas kecil yang tergantung di lehernya berlalu lalang di bandara KLIA2 mencari cara untuk menuju KLIA1. Sudah kau bayangkan? Oke, Itulah Aku yang sedang berputar-putar mencari tiket train seharga 2 ringgit untuk bisa melanjutkan perjalanan yang masih panjang ini. Beruntungnya karena sebagai orang Aceh, bukanlah suatu persoalan yang besar ketika berkomunikasi dengan orang Malaya.
Ketika sampai di KLIA1 terlihatlah manusia yang berhamburan dengan kesibukannya masing-masing. Rupanya tempat seluas ini masih terlalu sempit untuk jumlah manusia sebanyak ini. Aku segera melakukan check-in dan menuju ruang tunggu. Setelah kupastikan dimana tempat yang benar untuk ruang tunggu penerbangan internasional aku segera menuju ke lokasi antrian. Di luar dugaan ternyata ada ratusan orang yang sedang mengantri. Dengan keberanian dan kesabaran tingkat tinggi aku harus menunggu giliran ini, masih dengan seorang diri!
Kulihat tiket keberangkatan, waktu boarding pukul 18:20. sekarang menunjukkan pukul 18:12. Oh, No. Ini berarti 8 menit lagi menuju boarding sedangkan antrian masih tersisa puluhan orang lagi. Kau tahu untuk penerbangan internasional pemeriksaannya sangat ketat dan pastinya membutuhkan waktu yang lama. Rasa gundah kembali melanda, aku berharap akan baik-baik saja. Kukumpulkan segenap keberanian untuk melancarkan sebuah atraksi gila; memotong antrian! Di depanku rata-rata orang Arab dan India. Bagaimana jika aku ketahuan memotong antrian? Apa tidak malu sama bebek? Bisa-bisa aku yang mungil ini dimasukkan ke dalam ketek orang Arab dan India yang gagah perkasa itu.
Setelah berpikir panjang akhirnya kuurungkan niat atraksi konyol itu. Aku memilih jalan damai, tanpa perlu tanda tangan MoU. Dengan modal rangkaian kalimat terbaik, aku meminta izin kepada mereka yang berada di depan, kukatakan bahwa aku hanya memiliki sedikit waktu agar tidak ketinggalan pesawat, Kalau tidak aku akan menjadi gembel di Malaya. Setelah berhasil melewati pemeriksaan imigrasi Aku segera menuju ke ruang boarding. Dan proses menuju ruang boarding ini pun bukan hal yang mudah karena untuk kesana kita harus menggunakan kereta train. Sampai disana ternyata boarding sudah dibuka, syukurnya masih tersisa waktu yang lumayan panjang, jadi masih aman-aman saja.
Tiba-tiba teringat bahwa aku belum mengabari orang di rumah bahwa sudah sampai di Kuala Lumpur seperti pesan saat masih di Jogja. Disini tidak ada jaringan internet yang bisa terhubung. Tidak mungkin mengabarinya dengan bantuan burung merpati. Terpenting aku harus fokus dalam perjalanan selanjutnya menuju Qatar tempat transit. Sampai di Qatar pukul 1 malam aku langsung mencoba mengoneksi jaringan internet. Tarnyata hasilnya juga nihil. Berhenti di Doha sebentar lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju Oslo, penerbangan terakhir.
Saat tiba di Oslo jam menunjukkan pukul 06:25 pagi. Suhu udara begitu sejuk. memang bulan februari, seperti yang telah diwanti-wanti oleh panitia, adalah dasar suhu terendah. Tapi anehnya kok tidak seperti yang disampaikan panitia. Ini lebih kurang seperti suhu udara di Kaliurang pada malam hari. Nothing special. Belakangan Aku sadar bahwa ternyata ini masih dalam ruang bandara. Ketika pertama sekali keluar bandara, ini masih teringat betul, badan yang terbungkus kulit tipis ini hanya mampu bertahan maksimal 30 detik, tidak lebih! Kampungan kan? Bodoamat! Sejak itu aku hanya menunggu di dalam bandara hingga siang hari sampai waktunya berangkat ke kota tujuan; Trondheim.
Ada satu hal yang masih sangat mengkhawatirkan : tiket kereta menuju ke Trondheim sampai sekarang belum ada di tanganku. Ketika minta bantu sama petugas stasiun, mereka menjawab "penukaran tiket kereta saat berada di dalam gerbong". Ini bagaimana maksudnya? Bukankah tiket sebagai syarat masuk gerbong? Bagaimana jika aku terlantar di Oslo, ini lebih horor daripada jadi gembel di Malaya!
Bersambung...
untung peka, kalau tidak lebih parah ditinggal pesawat diadisucipto daripada gembel di malaya
Bukan peka sebenarnya. Itu lebih ke konspirasi alam. Kalo tinggal di Adisucipto yaudah habis aku sama "kawan"
Pantekwed
Ojo caboel kowe nduk
Tulisan yang bagus
Kayaknya nulis nya terlalu hati hati
Perlu waktu 5 jam untuk menulis ini karena kejar tayang. Kehati-hatian dalam menulis ini semata untuk menghindari perspektif buruk dari pembaca.