Source
Ini adalah kali ketiga Aku merayakan lebaran di negeri orang. Bahagia, rindu, sedih, bercampur menjadi satu. Tak ada suara takbir, tak ada ketupat, apalagi jajanan di dalam toples. Yang ada hanya nelangsa menjelma di dalam atma, saat rindu mulai berkuasa. Karena sudah tiga kali lebaran aku tidak bisa berkumpul dengan emak, serta kedua adikku. Tak ubahnya seperti hari-hari biasanya, aku tetap bergelut dengan rutinitas yang telah menanti.
“Nenek, yuk berangkat ke taman, mumpung matahari belum terlalu panas,” ajakku pada nenek yang kurawat.
“Aku tidak mau!” jawabnya seraya menarik kembali selimut, agar tubuhnya yang telah keriput tidak terendus sinar matahari.
Begitulah nenek, manjanya luar biasa.Terkadang tinggahnya seperti Balita, ingin dirayu acapkali mengurusnya. Anak-anak, serta semua cucunya selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Itulah yang membuat ia kesepian. Hari-hari tuanya hanya dihabiskan denganku, yang bertugas sebagai perawat, sekaligus teman dalam bercanda.
Pasca meninggalnya bapak, emaklah yang mengambil alih tugas mencari nafkah untuk keluarga kami. Hidup di bawah garis kemiskinan membuatku harus prihatin. Sejak kecil menu ikan asin, dan rebusan daun ubi adalah santapan keseharian keluarga kami. Paling-paling menu istimewa saat bapak mendapatkan upah buruh yaitu masakan tempe semangit yang dikukus terlebih dahulu, lalu ditumbuk tidak terlalu halus dengan cabai dan bumbu lainnya, kemudian dicampur dengan santan kelapa. Kami menyebutnya sambal tumpeng (1), akan terasa lebih nikmat dengan ditemani rebusan daun ubi atau daun pepaya yang masih muda. Itulah adalah masakan terlezat emak yang sangat aku gemari. Seringkali kami berebut, karena takut tidak kebagian.
“Mak, kapan sih kita bisa beli soto diwarungnya Mbok Ilham itu? Kata tetangga sotonya enak sekali, apalagi gorengannya,” ujar Tatik, adikku yang paling bungsu.
“Sabar ya, Nduk.Upah tandur emak dari Pak Haji Hasim belum di kasih, karena padinya banyak dimakan wereng (2),” jelas emak dengan lembut.
Adikku hanya hanya bisa mengangguk, saat itu umurnya masih lima tahun, sehingga belum tahu apa itu kesulitan biaya untuk hidup. Sedangkan aku masih berumur 13 tahun, tapi postur tubuhku yang tinggi mirip emak, membuatku terlihat lebih dewasa.
Nasi yang tengah kukunyah, seolah enggan untuk ditelan. Kelu, karena gadis cilik yang seusiaku bisa berangkat bersama teman-teman sebaya ke sekolah, tidak pernah kusarakan. Aku kerap membantu emak ke ladang untuk berburuh ngasag (3) jagung, dan memanen padi di rumah para tetangga. Tak jarang teman-teman pun meledekku seperti laki-laki. Karena perawakannku yang tinggi, kulit gelap karena sering kepanasan, serta potongan rambut cepak tomboy, karena tidak perlu menggunakan shampoo jika keramas. Sehingga mengirit biaya.
“Lihat tuh si Nana! Cewek kerjaannya di sawah, pantas saja kulitnya legam dan kusam. Apalagi kalau salamannya dengan dia, tangannya kasar seperti gergaji,” cibir mereka acapkali berpapasan denganku.
Himpitan ekonomi serta kondisi emak yang makin tua dengan tenaga yang mulai berkurang, membuat keluarag kian terpuruk. Sebagai anak sulung akulah pengganti tulang punggung di keluarga. Berbekal ijazah Sekolah Dasar (SD), kumantapkan kaki meninggalkan kampung halaman. Taiwan, di sinilah segala impian dan masa depan keluarga kupertaruhkan. Dulu, saat di penampungan, aku sering bertanya pada Mba Sri, bagiamana keadaan Taiwan. Ia seorang tenaga kerja wanita yang pulang ke Indonesia mengambil cuti, dan kembali lagi dengan proses Calling Visa.
“Mba Sri, kalau di Taiwan nanti pekerjaan seperti apa?” tanyaku penasaran.
“Ya begitu, Na. Kalau aku merawat seorang kakek yang sudah pikun, Tetapi majikanku tidak tinggal bersama kami, sehingga aku bebas mau ngapain aja. Kalau sudah beresan ya aku bermain Facebook.”
“Facebook opo to, Mba?”
“Ini lo Na. Kita bisa ketemu dengan banyak orang di HP, bisa untuk juga untuk baca berita, nyanyi, terus siaran langsung,” terangnya, “nanti kalau kamu sudah sampai Taiwan juga pasti tahu, Na. Pokoknya kita bisa banyak teman di Facebook. Bahkan ada juga yang sampai nikah dengan kenalan yang di dunia maya.
Tidak henti-hentinya Mba Sri menjelaskan tentang Facebook, dan memamerkan handphone barunya. Bentuknya lebar, dan layarnya jika disentuh bisa bergerak sendiri. Dahulu, sebelum bekerja ke luar negeri, Mba Sri sepertihalnya gadis desa kebanyakan. Dandannya kerap memakai rok balon bunga-bunga dengn baju katun kerut di lengan. Rambutnya juga masih keriting dan berwarna hitam. Tetapi sejak kepulangannya pertama, penampilannya total berubah. Bak penyanyi dangdut yang sering kulit di TV saat menonton di rumah pak RT. Sekarang rambutnya ada tiga warna. Merah, kuning dan hijau. Persis warna kue lapis, yang dijual Mbok Minah yang dulu rumahnya di seberang jalan. Hidungnya juga ditindik dan anting-anting penuh menghiasi telinga.
Sayangnya Taiwan tak seindah foto profil di Facebook ataupun semanis yang Mba Sri jelaskan padaku. Karena semua keberuntungan itu tak kurasakan. Rumah tempatku bekerja berukuran besar, lima lantai, lengkap dengan garasi mobil, taman, kolam. Majikan juga memiliki kebun luas yang ditanami bermacam-macam jenis sayuran. Jika musim panen aku harus bangun jam empat bangun untuk ikut tuan memetik labu, kacang panjang, dan sawi. Karena jika kesiangan, ibu pedagang sayur yang kami setori tidak mau membeli. Belum lagi menghadapi nenek yang kerap merajuk dan tidak mau diurusi. Tetapi semuanya aku lalui dengan sabar, demi melihat senyum yang mengembang di bibir emak dan kedua adikku. Agar tidak lagi dianggap remahan rempeyek oleh tetangga. Aku bosan hidup dalam kesengsaraan. .
Hidup tak selalu yang kita mau. Hal baik dan buruk terjadi selalu. Namun, semua itu telah diatur Tuhan, pasti indah di akhir perjuangan.
Bagaimana kehidupan si gadis rantau di bumi Formosa?
Simak di episode selanjutnya yah!
Semoga kisah ini bermanfaat, dan menguatkan jiwa-jiwa anak perantau yang tengah berjuang untuk masa depan. Termasuk si penulis.
Note
1: Sambel Tumpeng adalah sambel yang dikukus yang berasal dari tempe yang sudah lama.
2: Wereng adalah hama padi
3: Ngasag, mencari sisa-sisa jagung setelah dipanen si pemilik lahan.
Taiwan, 12 Februari 2018
Salam Hangat
@ettydiallova
Mba @ettydiallova.. cerita ini mengingatkan saya tentang kehidupan dimasa silam.. Himpitan ekonomi membuat saya harus bekerja ke negri jiran dan ambil NA kuliah sementara krn banyak biaya yg saya butuhkan untuk menyelesaikan study saya tersebut. Alhamdulillah hasil tidak menghianati usaha tujuan saya tercapai bekerja untuk membantu ortu dan menyelesaikan kuliah...
semangat terus mba cantik...
Selamat pagi Kak @putristeem.
Terima kasih atas support yang telah diberikan. Seperti inilah yang sedang saya jalani, Kak. Kuliah,bekerja, dan berkarya. Semua sdng saya tempuh. Butuh perjuangan yg ekstra keras. Tapi saya yakin, Pasti indah pada waktunya.
Cerita kakak mendongkrak semangat saya. terima kasih sudah berbagi,
Insha Allah akan indah mba @ettydiallova... Kalo kata mereka where is a will there is a way..hehehe
hyy @ettydiallova
Haiii, @musarratshah
Don't worry, I'll do it,
Thanks for visiting my Blog,
thank you so much dear @ettydiallova
Syukuri dan tetab sabar dan terus berdoa kakak ku, jalan masih teramat jauh insya Allah perjuangan kakak segera membuahkan hasil aminnnn, sukses selalu buat kak @ettydiallova. 😊
Kita harus bersyukur dan bersabar untuk kesuksesan dan perjuangan Bang edo😊
Kesabaran adalah kunci kesuksesan.
Benar sekali Bang @tusroni.
Allah berada di antara orang2 yang sabar.
Selamat pagi & selamat beraktivitas😊
Tentu Bang @edopramuja.
Dengan bersyukur dan sabar dalam melalui perjuangan, insya Allah akan indah di akhir nanti. Sukses untuk Bang Edo di sana yah,,,
Amiinn.
Nasebbb haha
nasib jadi perantau ya Bang...hihii
Semangat! Semua pasti akan berbuah manis pada masa san waktunya...
Amiinnn ya Allah,,
Terima kasih atas support dan bimbingan yang diberikan Kakakku @mariska.lubis.
Never givevUp!