Sirup cap patung yang asal isul nya

in #story7 years ago

image

Saya pernah nyaris menulis obituari buat sebotol sirup. Pada awal 1990an, sebuah pabrik kecil pembuat sirup legendaris tutup di kampung kami, dan saya mendadak merasa kehilangan. Mungkin ini agak berlebihan. Tapi sirup itu telah sedemikian kuat merasuki warga Banda Aceh, dan bahkan menyebar ke seluruh Aceh hingga ke Medan, Sumatera Utara.

Berdiri sejak 1969, sirup itu pernah menjadi kebanggaan Kampung Mulia, sebuah pemukiman di mana orang-orang Aceh hidup bertetangga dengan warga Tionghoa, plus sejumlah keluarga India, serta suku lain. Kampung itu bersebelahan dengan kawasan pecinan Peunayong, dan terletak di lekukan sungai Krueng Aceh.

Jejak perjumpaan orang-orang Tionghoa dengan warga setempat mudah ditemukan dalam beragam warisan kebudayaan. Pada 1980an, misalnya, ada sebuah perguruan silat, tak jauh dari Krueng Aceh, di sebuah lorong agak menikung dengan sebuah papan nama gagah: Perguruan Kuntao Mulia. Kuntao (Kuntaw) adalah aliran beladiri para imigran Tiongkok di Sumatera, kelak ia berkembang dan menjadi aliran silat lokal.

Saya ingat sejumlah pendekar, antara lain Bang Ishak Idris dan Teungku Idris, anak dan ayah yang sama pendiam, dan keduanya punya kumis yang sama garang. Setiap sore, saat berjalan melewati lorong itu, saya melihat Teungku Idris bermain toya, sebilah tongkat kayu yang menjadi senjata.

Dia adalah salah satu pewaris ilmu silat itu (kumisnya begitu eksotik: melintang dengan warna agak pirang, menunjukkan bahwa ia seorang nelayan yang akrab dengan sungai, laut, dan matahari), dan rumahnya berada di ujung kampung. Setiap sore, dengan berkain sarung dan berkaos oblong putih, dia berlatih sendirian di pekarangan. Anak-anak menonton latihan rutin itu di luar pagar. Mereka selalu berdecak kagum manakala tongkat kayu itu berputar cepat mirip kincir atau kadangkala seperti baling-baling di atas kepala Idris Tua.

Di lingkungan seperti itulah, seorang tetangga Tionghoa Elias Hudaya mencoba peruntungannya membangun pabrik sirup di kampung kami, dan dia mulai bersama istrinya sebagai sebuah industri rumah tangga. Tak ada yang menyangka, racikan minuman buatannya kelak menjadi temuan legendaris: sebuah sirup beraroma raspberry dengan rasa limun yang ramah, dan warna merah mawar yang sangat menggoda.

Bernama asli sirup Kurnia, tapi lebih dikenal dengan Cap Patung karena pada label merk di botolnya ada gambar patung Liberty, dengan tulisan: Specie-Limonade Siroop. Ini minuman segala cuaca dan suasana, menjadi penyelamat bagi ibu-ibu rumah tangga yang tak sempat menyuguhkan teh atau kopi bagi tamu mereka. Ia hadir di semua rumah, melintasi sekat suku, dan juga kelas. Ia minuman wajib saat Ramadan dan Lebaran. Ia ada di pesta perkawinan, dan juga pada acara tahlilan.

Tentu banyak sirup lain di pasar tapi di Aceh kecintaan akan sirup ini nyaris mirip sebuah fanatisme politik. Saya kira ada banyak alasan untuk mencintainya. Ia adalah satu-satunya sirup yang berani secara terbuka menyatakan terbuat dari 100 persen gula murni. Di tengah serbuan sirup dengan pemanis buatan, tentu saja Sirup Cap Patung seakan menawarkan kemurnian sesuai dengan janji. Ini adalah kejujuran yang pantas dihargai, terutama di Aceh, di mana warganya berpegang pada moralisme Islam tentang keharusan “sesuainya kata dan perbuatan”.

Alasan lain barangkali karena aroma raspberry begitu memikat dan memancing sensasi menakjubkan. Sebuah rasa yang agak asing tapi begitu cepat akrab, dan raspberry jelas bukan tanaman daratan Aceh, dan tidak juga terlihat ia dibudidayakan di daerah ketinggian semisal Gayo. Aroma buah itu membangkitkan imajinasi yang jauh, barangkali ke Skotlandia, dan Inggris, tempat buah itu tumbuh subur.

Elias awalnya mengemas sirup dalam botol yang lebih mirip botol kecap. Demikianlah bertahun-tahun dia melakukannya, dan tampak tak begitu peduli meskipun botol yang dipakai berwarna hijau tua dan membuat warna merah sirup di dalamnya tersembunyi bahkan warnanya terdistorsi sehingga dari luar mirip cairan kecap yang gelap.

Elias mungkin percaya rasa gula murni tak akan berkhianat, dan memang orang tak akan menghakimi sirupnya dari bentuk dan warna botol. Selama dua dekade dia berjualan, dan sirup itu digemari dengan luar biasa mengalahkan sirup merk nasional yang datang dengan iklan yang gencar. Di Medan ia bahkan disebut “Sirup Aceh”, sebuah diplomasi yang tak sengaja, dan saya menduga ia telah membuat keceriaan yang sama di dua propinsi bertetangga.

Pada awal 1990an, sirup itu mendadak hilang sejenak di pasaran. Pabriknya tutup di Kampung Mulia. Saya tak tahu persis alasannya, tapi pada masa itu Aceh berada dalam sengketa bersenjata yang akut sejak Daerah Operasi Militer diberlakukan pada 1989. Seingat saya pada masa-masa itulah pabrik sirup “menghilang” dari Kampung Mulia. Ada banyak gosip mengatakan Elias tak tahan tekanan, keuangannya tak terlalu kuat buat menanggung “biaya siluman”. Saya tak tahu apakah operasi militer dan pemberontakan juga membutuhkan sirup begitu banyak sehingga membuat Toke Elias harus hengkang dari kampung itu.

Beberapa waktu kemudian sirup itu muncul lagi dengan keterangan pada labelnya diproduksi di sebuah pabrik baru di Medan. Elias memindahkan pabriknya di sana, dan tentu saja sebagian besar warga tak begitu peduli bahwa pabrik sirup itu telah “hijrah”, asalkan janji 100 persen gula murni itu tak dikhianati. Tentu saja saya tak jadi menulis obituari sirup ini, karena ia tak mati, justru makin kuat di awal tahun 2000 dengan penetrasi pasar di Jawa, setelah Sumatera.

Dari sebuah video di Youtube, saya melihat usaha itu kini dipegang oleh penerus Elias, mungkin putranya, Jonas Hudaya, dengan klaim kekuatan produksi 12 ribu botol per hari, dan berarti sekitar 4,3 juta botol per tahun. Kurnia mungkin sedikit dari pabrik sirup lokal yang bertahan, dan mampu mendongkrak skalanya menjadi sirup nasional. Rasa sirup itu tak berubah, dan penerus perusahaan itu membuat kemasan lebih rapi dengan botol putih bening sehingga merahnya yang mirip merahnya mawar itu tersaksikan dengan sempurna.