Tak terhitung jumlah mata-mata (cuak) yang mati selama perang Aceh dengan Belanda berlangsung. Dan, kematian mereka sungguh sangat tragis. Khusus di Tangse, Pidie, saja, Belanda menatat 20 cuak mati disembelih pejuang Aceh dalam setahun.
Penulis Belanda, HC Zentrgraaff dalam buku Atjeh mengungkapkan, di desa Pulo Kawa, ada seorang mata-mata Belanda bernama Banta. Pada malam hari dalam bulan Juli 1910, Keuchik Maha dan pengikutnya datang mencari Banta. Pencarian pertama dilakukan ke rumah istri tua Banta.
Keuchik Maha yang bertubuh kekar dan besar itu, bertanya pada istri tua Banta. “Mana suamimu?” Perempuan itu menjawab “Dia tidak ada di sini.” Keuchik Maha memeriksa seisi rumah, Banta memang tidak ada. Ia kemudian duduk di sebuah kursi. “Cuci kaki saya,” perintahnya pada istri pertama Banta.
Perempuan itu bangkit mengambil pasu berisi air, mencuci kaki Keuchik Maha, dan mengambil selembar kain untuk pengelap. Tapi ketika perempuan itu hendak melap kaki, Keuchik Maha berkata lagi. “Keringkan dengan rambutmu!”
Perempuan itu mengurai rambut panjangnya dan menyapu kaki Keuchik Maha. Ketika kakinya sudah kering, Keuchik Maha mengambil rencong di pinggangnya, menusuk mata perempuan tersebut. Ia menjerit kesakitan, pengikut Keuchik Maha masuk dan mencincang tubuh perempuan itu hingga mati. Begitulah Keuchik Maha memperlakukan keluarga cuak, pengkhianat terhadap perjuangan dan tanah airnya.
Gerilyawan pejuang Aceh sempat difoto dalam rimbun ilalang di pinggiran hutan. [Repro: The Dutch Colonial War In Aceh]
Dari rumah itu kemudian Keuchik Maha dan pengikutnya menuju rumah istri muda Banta, si mata-mata Belanda itu juga akan dihabisi. Kali ini Keuchik Maha berpura-pura sebagai pasukan kompeni Belanda. Ia memanggil Banta dengan bahasa Melayu. “Agam turun.”
Dalam keadaan gelap malam, Banta membuka pintu menuruni tangga ke halaman. Saat masih di tangga, kakinya dipukul dengan popor senapan. Tubuh Banta terguling jatuh ke tanah. Tubuhnya ditusuk rencong dan dicincang dengan kelewang, pedang panjang khas Aceh. Mula-mula kedua tangannya dipotong, kemudian kedua kakinya, setelah itu kepalanya juga disembelih, dipisahkan dari tubuhnya.
Potongan tubuh Banta si mata-mata Belanda itu disebarkan ke mana-mana. Pagi hari, setelah mendapat informasi tentang pembunuhan Banta, pasukan marsose Belanda datang ke sana, mengumpulkan kembali bagian-bagian tubuh Banta yan berserakan.
Malam itu bukan hanya Banta dan istrinya yang disembelih, tapi juga Keuchik Pulo Seunong dan istrinya. Jasad mereka juga dimutilasi. Zentgraaff menyebutkan, ketika pasukan marsose sampai ke sana, dan mengumpulkan kembali potongan-potongan tubuh yang berserakan itu, hal itu sebagai suatu pemandangan yang sangat memualkan. “Sehingga para marsose bersumpah untuk menuntut balas terhadap Keuchik Maha,” tulis Zentgraaff.
Para perwira Belanda istirahat di halaman sebuah rumah usai operasi [Repro: The Dutch Colonial War In Aceh]
Di dekat potongan mayat Banta dan istrinya, komandan pasukan marsose bersumpah, bahwa Keuchik Maha juga akan dibuat mati seperti itu. Lalu pengejaran dan pemburuan terhadap Keuchik Maha dan pasukannya dilakukan marsose. Keuchik Maha menjadi buruan nomor wahid di Tangse.
Bagi Pemerintah Kolonial Belanda di Pidie, kekejaman Keuchik Maha terhadap informan Belanda (cuak) itu, telah membuat Belanda susah mendapat informan baru. Setiap ada informan baru, Keuchik Maha pasti mengetahuinya, karena Keuchik Maha juga punya mata-mata untuk menyelidiki siapa saja warga yang sudah berkhianat dengan menjadi informan Belanda.
Menurt Zentgraaff, mudahnya Keuchik Maha mendeteksi setiap informan Belanda di Pidie adalah, akibat dari keteledoran informan itu sendiri, yang tidak mampu menyembunyikan banyaknya imbalan yang diterimanya dari Kompeni Belanda.
“Karena kelalaiannya sendiri kerja sama ini bocor sedikit. Biasanya para mata-mata kita (Belanda-red) tidak bisa menutup rahasia, dan royal dengan uang yang diterimanya dari Kompeni. Dan hal ini segera pula diketahui oleh penduduk sebuah kampung, di mana setiap orang tahu apa yang dimiliki oleh orang lain,” ungkap Zentgraaff.
Pasukan marsose Belanda siaga di lintasan rel kereta api yang dirusak pejuang Aceh [Repro: The Dutch Colonial War In Aceh]
Setahun setelah peristiwa pembunuhan mata-mata Belanda di Pulo Seunong itu. Pasukan marsose Belanda mendapat kabar, Keuchik Maha yang tak ditemukan saat diburu hingga ke relung hutan, kini akan pulang ke Pulo Seunong ke rumah istrinya.
Mendapat kabar itu, Belanda menyiapkan dua pasukan infrantri. Dan pada Maret 1911, Keuchik Maha dan pasukannya benar-benar turun ke Pulo Seunong. Sekitar pukul lima sore ia muncul di tepi hutan. Ia memperhatikan gerak-geraik pasukan infantri yang dipimpin Sersan Van Dongelen.
Hanya dalam hitungan menit saja, berlangsunglah perang sengit. Pasukan Keuchik Maha dikepung oleh dua pasukan infantri. Dan, dalam perang yang sangat tidak berimbang itu, Keuchik Maha tewas bersama pasukannya.
Dalam laporan resmi pasukan marsose Belanda tanggal 24 Maret 1911 ditulis. “Sebuah tembakan yang tepat dari sersan Ambon, Van Dongelen, gugurlah kepala gerombolan yang terkenal kejam dan sudah lama dicari itu.”
Serjara, baru pertama mengetahuinya. Pelajarannya adalah setia pada apa yang kita lakukan. Dengan catatan itu benar.
Terimakasih @jeffryphysio sudah berkunjung dan membaca blog saya. Salam. semoga kita bisa terus berbagai pengetahuan dan informasi.
Salah satu sisi gelap yang mencoreng perjuangan Aceh, cuak (mata-mata).
Menghabisi para cuak tersebut memang tidakan yang paling tepat, tapi memutilasi mereka sedemikian rupa tentu sangat mengerikan, juga hukumnya haram.
Kisah yang sangat mengerikan aduen @isnorman
Itu katanya dilakukan untuk mencegah agar orang lain yang ingin jadi cuak berpikir beribu kali untuk berpihak kepada Belanda. atau bisa jadi Zentgraaff mendramatisir keadaan untuk memperburuk citra Keuchik Maha. Tapi sebagai catatan sejarah, kita harus saring setiap keterangan itu brader @lamkote
Bisa jadi juga begitu aduen @isnorman, karena kita bukan pelaku sejarah saat itu. Jadi kita hanya bisa menyimpulkan berdasarkan literatur yang sudah ada.
Tugas kita untuk menyaringnya, mengambil sari dan membuang ampasnya, karena sejarah harus direvitalisasi kembali agar tidak jadi dongeng.
Congratulations @isnorman! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of comments
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
To support your work, I also upvoted your post!
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP