Namanya juragan Ibrahim Hasan, di Semenanjung Melayu dikenal sebagai Mister Brem, penyelundup ulung asal Aceh. Ia mampu menembus blokade Selat Malaka untuk menyelundup barang, kemudian membeli berbagai jenis senjata untuk memperkuat Angkatan Laut Daerah Aceh (ALDA).
Pembentukan ALDA sudah dirintis oleh bekas-bekas marinir Aceh yang pernah berkerja pada kapal-kapal Belanda dan Inggris. Tapi pembentukannya baru diresmikan pada 1946. Ketika Jepang meninggakan Aceh pada akhir tahun 1945, sekoci dan motor boat peninggalan Jepang diperbaiki untuk digunakan oleh ALDA. Sementara pada saat yang bersamaan Selat Malaka masih diblokade oleh Belanda yang didukung Inggris dan Sekutu.
Sekoci-sekoci dan motor boat yang sudah berhasil diperbaiki digunakan angkatan laut Aceh untuk melakukan patroli pantai, serta mengangkut logistik dari daratan Aceh ke pulau-pulau di sekitarnya.
Kapal yang digunakan untuk menyelundup komoditi Aceh ke Semenanjung Melayu sumber
Pada 1 Januari 1946, beberapa opsir pertama dan prajurit Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Aceh dari Kompi Otomobil Genie di Banda Aceh, atas anjuran T Hamzah juga membentuk Korp Pengangkutan Laut. Pelopor korp ini adalah Letnan I Said Abdullah, Sersan Mayor Abdul Salam, dan Sersan Mayor Said Abubakar. Mereka mengumpulkan bekas-bekas pelaut zaman Belanda dan Jepang untuk memperkuat korp tersebut.
Pasukan angkatan laut Aceh dan korp laut dari TKR bekerja sama dengan juragan Ibrahim Hasan alias Mister Brem dalam upaya-upaya perjuangan di laut. Sejarawan Aceh Teuku Alibasjah Talsya mengungkapkan, pada 1 Januari 1946 itu, Mister Brem bersama kawan-kawannya, Ramli Itam, Salim, Nyak Asyik, Tahir, Sufi, Insya Rahman, Nyak Geh, dan Andah Ahmad, dengan menggunakan motor boat B 551, berhasil menembus blokade Belanda di Selat Malaka membawa hasil bumi Aceh untuk dijual ke Malaysia. Hasil penjualan komoditi yang diselundupkannya ke Malaysia itu, kemudian digunakan Mister Brem untuk membeli berbagai jenis senjata dan alat-alat kebutuhan tentara angkatan laut Aceh.
Dalam melakukan tugas-tugas pengawalan perairan Aceh, angkatan laut Aceh juga kerap konfrontasi dengan armada laut Belanda. Malah di tempat-tempat tertentu patroli Belanda sering masuk ke perairan Aceh untuk mencegat kapal dagang milik saudagar Aceh.
Kapal-kapal barang di pelabuhan Ulee Lheu, Banda Aceh sekitar tahun 1918 sumber
Seperti terjadi pada 3 Januari 1946, dua buah kapal Seri Dewa dan Moerdiana dari Labuhanhaji, ketika hendak kembali dari Lhok Seudu, Aceh Besar ke Aceh Barat, pukul 12.00 siang dicegat oleh motor boat patroli Belanda di Ujong Tempulieng. Lima tentara Belanda bersenjata lengkap menggeledah kedua kapal tersebut.
“Apa kamu membawa bendera Soekarno?” bentak tentara Belanda tersebut. “Kami tidak mempunyai bendera Soekarno, tapi kami memiliki bendera merah putih,” sahut anak buah kapal tersebut sambil menunjukkan lencana merah putih di dadanya. Mengetahui hal itu, rakyat bersama para pejuang di Ujong Tempulieng menembaki motor boat Belanda dari darat. Para tentara Belanda itu pun kemudian melarikan diri ke laut lepas.
Pada 16 Januari 1946, hal yang sama juga kembali terjadi, kapal Tanjoeng Seloendang bermuatan beras datang dari Aceh Barat, ketika akan memasuki Teluk Lhok Seudu di Aceh Besar tiba-tiba dihadang oleh sebuah motor boat yang datang dari arah Sabang. Saat itu Sabang merupakan markas Sekutu dan NICA.
Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh sekitar tahun 1880 sumber
Kapal Tanjoeng Seloendang kemudian melarikan diri ke kawasan pesisir Lhong tak berapa jauh dari Lhok Seudu dan melaporkan hal itu kepada TKR. Angkatan laut Aceh kemudian mengejar motor boat tersebut dan menembakinya. Angkatan laut Sekutu itu pun kemudian melarikan diri kembali ke Sabang. Selanjutnya kapal Tanjoeng Seloendang dikawal angkatan laut Aceh dari Lhong menuju Lhok Seudu.
Kala itu hampir setiap hari ada kapal-kapal yang tak dikenal yang melintas perairan Aceh. Angkatan laut Belanda (NICA) dan Sekutu yang bercokol di Sabang juga kerap melakukan provokasi, melakukan latihan tembak menembak di laut dan berbagai manuver untuk memancing angkatan laut Aceh.
Tapi bagi orang sekelas Mister Brem, itu bukanlah halangan untuk terus menyelundupkan berbagai komoditi dari Aceh ke Semenanjung Melayu, untuk kemudian kembali lagi ke Aceh membawa ratusan pucuk senjata modern, memperkuat angkatan laut Aceh dan pasukan bersenjatan lainnya, karena baginya dan seluruh rakyat Aceh, Sekutu bersama NICA yang telah diboncengi Belanda tidak boleh mendarat di Aceh.
Nice
Thank you so much @rahmatramazan sudah berkunjung ke blog saya.
Menye Sejarah hana dua. Payah Pulang keu guree. Luar biasa Aceh masa lalu. sejarah telah membuktikan bahwa kita adalah sebuah bangsa yang besar tempoe dulu. Bek Tuwo Seujarah.
Ya jangan lupakan sejarah, karena itu bagian dari identitas bangsa.