Pada 15 Oktober 1945, menjelang subuh, enam pemuda Aceh dengan sangat hati-hati memasuki garasi mobil T Nagasaki, seorang pembesar Jepang di Tanjong Seumantok, Aceh Timur.
Keenam pemuda itu adalah Oesman Thamin, Moehammad Noer, Arifin Amat, Baduralim Hasibuan, Basirun dan Amat Binu. Perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati mereka mendorong sebuah mobil sedang hitam keluar dari garasi rumah pejabat tinggi Jepang tersebut.
Sampai ke jalan agak jauh dari rumah Nagasaki, mobil sedan Pontiac keluaran tahun 1940 itu dihidupkan dengan menggunakan kawat. Keenam pemuda “pencuri” itu kemudian meluncur dengan mobil tersebut menuju Kuala Simpang. Mobil itu disimpang di sebuah tempat rahasia yang jauh dari keramaian.
Sedah Pontiac 1940 sumber
Keseokan harinya, plat mobil berbahasa Jepang itu diganti dengan plat baru bertuliskan “RI 1” seolah mobil tersebut dipersiapkan untuk orang nomor satu di Republik Indonesia, yakni Presiden Soekarno.
Sejarawan Aceh Teuku Alibasjah Talsya dalam buku Batu Karang di Tengah Lautan mengungkapkan, setelah dipermak, mobil itu kemudian dua hari kemudian, 17 Oktober 1945 dibawah ke Medan, Sumatera Utara, dihadiahkan kepada Wakil Pemimpin Besar Bangsa Indonesia untuk seluruh Sumatera, MR Teuku Muhammad Hasan.
Sebelum mobil itu diserahkan terlebih dahuku dikirim empat orang pemuda sebagai utusan, mereka menjumpai langsung Teuku Muhammad Hasan. Keempat mereka adalah Basirun, Dja’far. OK Kolok dan Ulong Baharuddin. Mereka diterima langsung oleh Teuku Muhammad Hasan bersama A Karim MS seorang residen yang diperbantukan di kantornya.
Sebagai imbalan atas keberhasilan pemuda Aceh membawa mobil “RI 1” ke Medan tersebut, Teuku Muhammad Hasan sebagai Wakil Presiden Soekarno untuk seluruh Sumatera menghadiahkan mobil sedan merek Plymout untuk markas pasukan Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Kuala Simpang, Aceh Tamiang.
MR Teuku Muhammad Hasan sumber
Sementara itu di Banda Aceh pada malam 15 Oktober 1945 sekitar pukul 20.00 hingga pukul 22.00 waktu Sumatera (Wsu) di rumah dinas Atjeh Syu Tyokan berlangsung serah terima kekuasaan dan urusan pemerintahan dari Pemerintah Jepang kepada para pejabat senior Aceh. Serah terima kekuasaan tersebut dilakukan oleh Iino Syozaburo selaku Atjeh Syu Tyokan bersama anggota staf pimpinan Pemerintah Jepang di Aceh antara lain Masubuti Tahe dan T Eiri. Mereka menyerahkan kekuasaannya kepada Resdien Aceh Teuku Nyak Arief dan Ketua Komite Nasional Daerah Aceh Tuanku Mahmud.
Hal inilah yang membedakan Aceh dengan daerah lainnya di Indonesia, bila di daerah lain Jepang menyerahkan kekuasannya kepasa Sekutu, di Aceh mereka langsung menyerahkannya kepada pejabat senior Aceh, karena Sekutu yang diharapkan datang untuk menertibkan keadaan di Aceh tak pernah bisa masuk ke Aceh.
Menurut Teuku Alibasjah Talsya yang juga terlibat dalam perebutan kekuasaan Jepang di Aceh, hal itu terjadi akibat desakan dari Teuku Nyak Arief kepada pembesar-pembesar Jepang di Banda Aceh, serta makin maraknya perempasan senjata dan penyerangan tangsi-tangsi militer Jepang oleh rakyat Aceh.
Residen Aceh Teuku Nyak Arief sumber
Sehari kemudian, 16 Oktober 1945 juga berlangsung penyerahan teknis pimpinan dan urusan pemerintahan Dai Atjeh Bunsyu (Luhak Aceh Besar) dari tangan Jepang kepada pemimpin perlawanan rakyat Aceh di Aceh Besar. Hal yang sama kemudian dilakukan di seluruh Luhak (setingkat kabupaten) di Aceh. Penyerahan kekuasaan Jepang di tingkat Luhak dilakukan oleh Bunsyutyo selaku kepala Luhak (Bupati) di masing-masing daerah.
Pada hari yang sama, para buruh perkebunan di Kuala Simpang, Aceh Timur (kini jadi wilayah Aceh Tamiang) menguasai kantor perusahaan perkebunan Numora milik Jepang dan perkebunan di Sungai Liput.
Numora merupakan perusahaan perkebunan Jepang yang mengelola sembilan perkebunan besar di seluruh Aceh. Dengan penyerahan kekuasaan dan perebuhan kantor serta perusahaan-perusahaan milik Jepang tersebut, maka berakhirlah kekuasaan Jepang di Aceh.