Sejarah Polemik Penentuan Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara

in #story6 years ago

Sumatera yang awalnya hanya satu provinsi, melalui Undang_undang No.10 tahun 1945 pada 15 April 1945 dipecah menjadi tiga, yakni Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Tengah, dan Provinsi Sumatera Selatan. Polemik penentuan ibu kota kemudian muncul.

Wakil Presiden Muhammad Hatta memberi dua alternatif untuk ibu kota Provinsi Sumatera Utara, yakni Sibolga dan Kutaradja (kini Banda Aceh). Sementara Medan belum termasuk, karena masih bergejolak dan masih dikuasasi tentara NICA/sekutu.

Mohammad_Hatta.jpg
Wakil Presiden Muhammad Hatta sumber

Beragai pihak dan golongan di Aceh menginginkan agar Kutaradja dijadikan ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Pertimbangannya, Aceh merupakan satu-satunya daerah yang paling aman di Sumatera karena NICA/Sekutu tidak mampu masuk ke Aceh. Sementara Sibolga dinilai terlalu dekat dengan kancah perang di front Medan area yang masih berkecamuk.

Pelaku sejarah perjuangan kemerdekaan di Aceh, Teuku Alibasyah Talsya dalam buku Modal Perjuangan Kemerdekaan, menjelaskan, permintaan itu disampaikan kepada pemerintah pusat oleh gabungan partai-partai politik di Aceh.

Permintaan yang sama juga disampaikan pada 17 Juli 1948 oleh para pengusaha Aceh yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) yang melakukan rapat pleno di Banda Aceh. Hasilnya memutuskan tetap memeprtahankan Kutaradja sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara.

Alasannya, persediaan kantor dan rumah untuk pegawai negeri cukup tersedia di Kutaradja, strategi menjalankan roda pemerintahan lebih aman dijalankan di Kutaradja ini dibuktikan dengan keberhasilan Residen Aceh melucuti kekuasaan Jepang pada Agustus 1945 dan menyusun baru.

Alasan lainnya, keadaan perekonomian rakyat di Aceh lebih baik dibandingkan dengan daerah lain. Aceh malah mampu menampung hampir satu juta pengungsi yang lari dari perang dengan Sekutu dari berbagai daerah di Sumatera. Pertimbangan lainnya, untuk terus menjamin suasanan kemerdekaan di Aceh yang belum bisa disentuh oleh NICA/Sekutu, diperlukan penguatan pemerintahan di Aceh, agar Sumatera bisa segera dibebaskan dari cengkraman NICA/Sekutu.

soekarno dijemput.jpg
Pejabat dan saudagar Aceh menjemput Presiden Soekarno di bandara Lhoknga, Aceh Besar sumber

Hasil rapat pleno Gasida itu kemudian dikirim kepada Presiden Soekarno, Menteri dalam Negeri Soekiman, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan Ketua Komisariat Negara untuk Sumatera di Bukittinggi.

Persiapan-persiapan untuk pembentukan Provinsi Sumatera Utara terus dilakukan. Wakil-wakil Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera (DPR-S) secara otomatis dialihkan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara (DPR-SU).

Dalam masa peralihan tersebut, DPR-SU berkantor dan berkedudukan di Kutaradja selaku ibu kota Residen Aceh. Hal itu diputuskan oleh Gubernur Sumatera Utara MR SM Amin pada 24 Juli 1948, yang saat itu sedang berada di Bukittinggi mendampingi Wakil Presiden Muhammat Hatta. Rakyat Aceh berharap dengan ditetapkannya kantor DPR-SU di Kuradja, maka Kutardja juga bisa ditetapkan menjadi ibu kota Provinsi Sumatera Utara.

Dua hari setelah penetapan itu, pada 26 Juli 1948, Dewan Pimpinan Pemuda Daerah Aceh meminta supaya Kutaradja dijadikan ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Perimbangan mereka mengacu pada iklim kota Kutaradja, keadaan ekonomi, dan strategi perjuangan. Kutaradja dianggap memeuhi segara syarat untuk dijadikan ibu kota, sementara Sibolga dinilai belum memenuhi syarat.

Pada 28 Juli 1948, Komisaris Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia di Bukittinggi membalas surat gabungan partai-partai politik di Aceh dan organisasi-organsasi pemuda di Aceh dengan menyatakan bahwa Kuradja ditolak sebagai ibu kota provinsi Sumatera Utara.

Alasannya, Sibolga telah ditetapkan menjadi ibu kota provinsi Sumatera Utara sementara, sebagai tempat kedudukan Gubernur Sumatera Utara. Penetapan itu dilakukan berdasarkan Ketatapan Komisaris Pemerintah Pusat tanggal 16 Juli 1948 No.15-Kom-U.

Partai PSII Aceh.jpg
Pengurus Partai PSII Aceh sumber

Terhadap keputusan tersebut, Partai Sosialis Indonesia Daerah Aceh dan gabungan partai-partai politik lainnya menyatakan keberatan. Malah pada 12 Agustus 1948, Partai Pesindo daerah Aceh melarang anggotanya di DPR Sumatera untuk menghadiri sidang-sidang DPR-SU bila diadakan di Sibolga.

Partai Pesindo daerah Aceh tetap menuntut Kutaradja ditetapkan menjadi ibu kota provinsi Sumatera Utara. Alasannya, Sibolga dari segala sisi tidak cocok dijadikan ibu kota provinsi.

Hal yang sama juga dilakukan Partai Sosialis Indonesia daerah Aceh pada 14 Agustus 1948. Partai ini mengeluarkan resolusi yang berisi larangan kepada anggota-anggotanya untuk menghadiri sidang DPR-SU bila digelar di Sibolga.

Pada hari yang sama, 14 Agustus 1948, gabungan partai-partai politik di Aceh membentuk sebuah panitia persiapan Kutaradja sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Panitia ini terdiri dari berbagai partai dan organisasi kemasyaraatan, seperti Partai Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Sosialis, Pemuda Muhammadiyah, GPII, Perpindo, Pesindo, Serperi, Gasida, Muslimat Masyumi, Aisyiah, Persatuan Wartawan Indonesia, IPPI dan lain-lain.

Hasilnya diputuskan sebuah panitia harian yang terdiri dari: Amelz dari PSII sebagai ketua, Zainal Bakri dari Masyumi sebagai wakil ketua, A Mu’thi dari PNI sebagai setia usaha (sekretaris), M Ali HH dari Gasida sebagai bendahara, Ali Hasymi dari DPP sebagai pembantu.

Panitia ini tetap menuntut Kutaradja dijadikan ibu kota provinsi Sumatera Utara. Mereka juga meminta sidang DPR-SU yang akan dilaksanakan di Sibolga pada 1 September 1948 ditunda sebelum ada ketetapan yang jelas tentang ibu kota Sumatera Utara.

Sort:  

Nice,follow back

Terimakasih @dwikikrnwan sudah singgah di laman blog saya. Salam kenal.