Semua yang tampak tidak selalu sebagaimana adanya. Terkadang, ada kepedihan yang disimpannya rapat-rapat. Semua tawa tidak selalu mengambarkan bahagia. -kata klasik yang sudah terlampau sering kita dengar.
Selamat Membaca
Di Penghujung Januari.
Pagi itu, Semua masyarakat kaliasin keluar memadati halaman sebuah aparteman meski geremis terus turun sedari tadi subuh. Beberapa polisi tampak sibuk menelpon, beberapa lainnya sibuk menyayangkan dan bertanya-tanya perihal masalah apa yang menimpa gadis malang ini. sedang diantara yang baru datang, menyerungsuk menubruk kerumunan dan ingin menyaksikan lebih jelas. Semua menatap prihatin.
Di kejauhan suara ambulance terdengar jelas, melaju terus mendekati tempat tersebut. Sesampainya di sana, tim medis turun bersama tandu yang juga di turunkan. Seorang pria yang menggunakan seragam dokter dan stetoskop di leher mencoba memeriksa keadaan. Naas, sudah tidak bisa di tolong lagi. Segera bergegas menaikkan gadis malang tersebut ke atas tandu yang di arahkan ke dalam mobil ambulance. Sekian detik kemudian mobil sudah melaju ke rumah sakit terdekat dengan di dampingi beberapa orang polisi.
Di rumah sakit kegaduhan terjadi. Seorang ibu yang di damping suaminya menangis keras. Perempuan itu tidak percaya jika anak perempuan satu-satunya meninggal bunuh diri.
“Berdasarkan pengamatan kami saat ini, kejadian ini adalah murni bunuh diri bu.” Jelas polisi yang menangani kejadian tersebut.
“Itu tidak mungkin pak. Anak saya itu anak yang ceria dan penuh semangat. Dia anak yang baik. Saya tidak percaya jika anak saya mati bunuh diri.” Tangisnya penuh raung
“Kami menemukan surat yang di tulis anak ibu. Ini suratnya. Kami menemukannya di kantong saku bajunya.”
“Semoga ibu di berikan ketabahan” tambahnya
__
Bu, aku menulis ini dengan kesedihan yang dalam tapi aku berharap kesedihanmu atas kepergianku nantinya akan cepat mereda. Ibu harus bahagia karena sedari dulu aku sangat mencintaimu dan mengupayakan semua bentuk yang bisa membuatmu bahagia. Maafkan aku karena aku menyudahinya sekarang. Kuharap, Om Darwis-ayah tiriku- menjalankan tugasku untuk terus membahagiakanmu.
Bu, kepergianku bukan salah siapapun dan jangan menyalahkan dirimu sendiri. Aku hanya tidak mampu menampung seluruh kesedihan ini di dalam dadaku. Bahkan yang aku sadari, diriku yang sebenarnya sudah lama mati. Dan aku rasakan kematianku sekali lagi. Ibu tau, Ahmed menikah besok hari. Lelaki yang kucintai namun tidak ibu sukai itu akan menikah. Aku tidak mampu bu. Aku terlalu lemah.
Bu, hatiku sedari dulu terbiasa patah. Sejak kecil ketika ayah terus saja memukulimu atau ketika pulang marah-marah dan menamparku. Hingga akhirnya ketika ayah mati di bunuh, ntah aku bahagia atau justru bersedih. Aku tidak ingat, tapi yang jelas aku ingat adalah masyarakat kemudian menjauhi kita dan anak-anaknya terus saja mengolok-ngolok semua borok itu. aku kemudian menjadi pesakitan yang memilih bermain sendiri dan membentuk ruang untuk duniaku sendiri sedangkan ibu terlalu jauh karena memilih pergi tidak lama setelahnya. Berkerja keluar kota. Pada nenek aku tak berani bercerita.
Bu, sudah sekian lama aku menjadi pesakitan hingga aku menemukannya. Hatiku yang patah di ikatnya dan aku mencintainya. Dia lelaki sederhana yang memang belum cukup mapan untuk ibu, lelaki miskin yang kata ibu sama seperti ayah dulu. Tapi hatiku tak lagi bisa patah. Ketika ibu menolaknya dan bercerita tentang segala penderitaan yang hadir dari laki-laki yang kau samakan dengannya itu sambil terus menangis, aku tak bisa apa-apa. Aku mengubur diriku dan mati seketika itu.
Ketika kemarin aku mendengar beritanya akan menikah, aku tak tau. Aku hanya merasakan seluruh kehidupanku berhenti. Aku tidak bisa bu. Maafkan aku. Aku berbahagia dengan keluarga barumu dan percaya om Darwis akan menjagamu.
Salam cintaku terakhir kali.
Ara
Terima Kasih
Ara yang telah patah arang
Pergi agar dapat kembali
kereeeeen, saya suka
mantap tulisannya adoe
makasih banyak supportnya adun.
Gadis yang memiliki keberanian menentukan akhir hidup
Gadis yang memiliki keberanian menentukan akhir hidup