Ini adalah hasil pembacaan sementara saya terhadap novel Kabut Perang karya Ayi Jufridar @ayijufridar. Tulisan ini adalah pengantar untuk diskusi peluncuran novel Ayi di Jakarta, 30 Juni 2010. Selain saya, pembicara lain dalam diskusi itu adalah Kurnia Effendi dan Kardy Syaid.
Ada satu pertanyaan yang sangat mengganggu terkait konflik di Aceh: bagaimana senjata masuk ke Aceh dan ganja keluar dari Aceh – sementara jalur transportasi Aceh dijaga ketat oleh pihak keamanan. Dalam banyak kasus, ganja asal Aceh baru tertangkap di luar Aceh. Sebagian orang mungkin hanya bisa menduga-duga apa yang terjadi: pasti ada “tangan-tangan gaib” yang bermain di sana – motifnya sudah jelas ekonomi. Begitu pula soal senjata.
Tapi hingga kini, saya belum pernah membaca ada sebuah penelusuran menyangkut distribusi dua barang “ajaib” itu: benarkah ada tangan-tangan gaib itu, siapa saja mereka, berapa omsetnya, bagaimana modusnya, dan seterusnya. Memang ada berita, semisal, Polda Metro Jaya yang berhasil membongkar jaringan pemasok berbagai ragam senjata api berikut amunisinya untuk GAM. Ada pula yang mengatakan sebagian senjata GAM berasal dari Thailand Selatan.
Namun, tidak ada yang secara khusus menelusurinya. Padahal, jika itu dilakukan, akan menjadi tulisan jurnalistik yang sangat menarik. Bahkan, dalam novel pun, tidak ada yang berhasil memperlihatkan bagaimana wajah bisnis senjata itu. Ayi Jufridar, penulis novel Kabut Perang ini, telah berusaha menyingkap sekilas, namun itu tidak berusaha untuk mencari tahu lebih detil siapa sebenarnya tokoh Pak Kus itu, kecuali dikatakan bahwa ia adalah seorang petinggi tentara.
Boleh jadi, memang tidak mudah menelusuri hal itu. Tapi inilah tantangan penting dalam menulis novel-novel “beraroma” jurnalitistik-investigatif. Seharusnya, ketika jurnalistik tidak berhasil masuk ke wilayah itu, karena pertimbangan keamanan dan sebagainya, sastrawan dengan “kekebalan” tertentu bisa lebih leluasa. Ia bisa berlindung di balik realitas fiksi, sehingga menjadi lebih aman. Hanya orang gila yang menganggap fiksi sebagai informasi faktual atau fakta hukum yang bisa digugat.
Seandainya itu dilakukan, bagian membeli senjata itu akan lebih dramatis dan menegangkan. Namun Ayi hanya memperkuat sinyalemen keterlibatan pihak militer itu dalam penjualan senjata, tapi tidak mendalaminya. Meski begitu, Ayi tetap menyanyikan sesuatu yang di luar dugaan – paling tidak bagi masyarakat pembaca luar Aceh – bahwa ada banyak cara untuk menyelundupkan senjata ke daerah konflk itu. Salah satunya dengan mobil ambulan.
Begitu pula fakta tentang peristiwa penembakan di Simpang KKA. Apa yang disampaikan dalam novel ini sudah banyak beredar di media massa. Harusnya, sastra mampu memberikan sesuatu yang berbeda, yang tidak diungkap media. Tapi, di sini tokoh utama yang sekaligus narator novel ini lebih banyak beropini tentang kebenaran dan ketidak-benaran rentetan peristiwa itu, bukan berusaha mengungkapkan kebenaran itu – versinya tentu saja.
Hal lain yang selama ini juga luput dari perhatian media adalah bagaimana mereka mendapatkan telepon genggam satelit, kendaraan untuk operasi, pakaian bermerek, termasuk bagaimana mereka kawin sampai berkali-kali. Ini juga tidak terungkap dengan baik. Ini hanya beberapa contoh saja. Yang jelas, realitas konflik selalu menyuguhkan banyak angle dan kejutan-kejutan. Penulis memang perlu ekstra ketat memilih-milih dan menyisir hal-hal baru untuk didalami dan dituliskan. Jika tidak awas, ia bisa terjebak dalam perulangan.
Justru seharusnya karya sastra bisa lebih kaya dari fakta yang sebenarnya. Sebab, ia bertutur tidak sekedar dengan pena, tapi dengan mata hati dan imajinasi. Kekayaan imajinasilah yang membuat karya sastra menjadi menarik dan mencerahkan. Realitas sastra harus lebih “baru” dan “mentereng” dari pada realitas sesungguhnya. Jika tidak, sastra akan menjadi sunyi. Apalagi, dunia yang terus berkembang ini, semua hal bisa disaksikan dengan mudah di layar kaca.
Dalam sejumlah bagian, sebetulnya Ayi telah melakukan pendalaman itu, misalnya adegan pemasangan bom rakitan yang membuat truk militer terguling dan sejumlah orang tewas. Penggambarannya cukup imajinatif. Begitu pula bagaimana kelompok itu memobilisasi masyarakat untuk mengungsi. Termasuk bagaimana kelompok itu menggunakan pengungsi sebagai “tameng” sekaligus objek untuk pencitraan kelompok itu. Hal semacam ini tentu tidak muncul di media massa, meskipun saya sangat yakin, wartawan dan sebagian anggota masyarakat pasti tahu kondisi itu.
Lagi-lagi, memang tidak semua hal bisa diberitakan dengan mudah dari sebuah konflik. Selalu ada hal yang sulit diungkap, meskipun bisa keberadaannya. Itu ditambah lagi tekanan yang dihadapi oleh wartawan itu sendiri dari pihak-pihak yang berkonflik – baik tekanan langsung maupun tekanan tidak langsung atau semacam ketakutan jika itu diberitakan akan membuat jurnalis itu merasa tidak aman. Itu tentu sah-sah saja.
Penulis sendiri, dengan segala keterbatasannya, telah berusaha untuk mengungkapkan banyak hal. Jika kemudian yang muncul ke permukaan lebih pada potret sekilas, itu menyiratkan dua hal. Pertama, ia memang luput menghadirkan sejumlah “realitas” faktal itu secara lebih mendalam. Kedua, Ayi memang ingin memposisikan dirinya hanya sebagai pencatat, tidak ingin masuk lebih jauh ke dalam peristiwa itu. Dalam konteks ini, ada hal yang lebih penting yang ingin kedepankan: mencatat sambil menyikapi apa saja yang dicatatnya.
Hal itu memang sangat kentara sekali. Narator di sini tidak cuma juru cerita, juga “tukang kritik” yang sengit. Hampir semua hal yang dilakukannya dikritik, termasuk penggunaan mobil ambulan untuk menyelundupkan senjata. Pihak yang paling banyak terkena kritik, dalam amatan saya, adalah kelompok tokoh utama sendiri. Bahkan, ada sejumlah hal yang terasa diulang-ulang, misalnya soal kebohongan yang dilakukan kelompok itu.
Dengan posisi semacam ini, sebetulnya tokoh utama --- yang sekaligus sebagai narator itu – terlihat sebagai seseorang yang mendua: satu sisi ia rela bergabung dengan kelompok itu, namun pada sisi lain ia seperti orang yang anti dengan kelompoknya sendiri. Bahkan, tokoh itu berani berbeda pendapat dengan organisasinya --- misalnya dalam kasus penembakan di simpang KKA. Sehingga saya lebih cenderung menyebut bahwa novel ini adalah pandangan kritis Ayi terhadap kelompok tersebut.
@musismail, @apilopoly, @ayijufridar, @willyana dan @aiqabrago di 1st National Meetup Steemit di Cimahi Jawa Barat, 16 Februari 2018 | Foto: @apilopoly
Pandangan kritis ini hanya terasa nyaman buat Ayi disampaikan lewat novel, bukan tulisan jurnalistik atau tulisan di media massa. Pandangan kritis itu pun baru diungkap sekarang, ketika semua hal menjadi tidak krusial lagi. Tapi tentu saja, dalam beberapa bagian, ia juga mengkritik kelompok militer, salah satunya, sapi pun “dihabiskan”. Tapi, dikarenakan posisi si tokoh “aku” berada dalam lingkungan kelompok pemberontak, maka yang lebih muncul adalah komentar terhadap organisasi itu.
Maka, kita pun bisa menyasikan banyak hal yang “diledek” oleh Ayi, soal pemimpin yang suka kawin, memakai pakaian bermerek, tentang tokoh Ali yang berorientasi duit, dan sebagainya. Boleh jadi, karakter-karakter semacam itu benar adanya – dan bisa disaksikan Ayi yang sebagai wartawan mudah untuk mengakses mereka. Terkadang kritik itu disampaikan dengan sangat komedikal dan bisa membuat pembaca tertawa terpingkal-pingkal. Ini menjadi kekuatan lain dari novel ini.
Jakarta, 29 Juni 2010.
MUSTAFA ISMAIL adalah penulis sastra dan pegiat kebudayaan, bekerja sebagai wartawan di Jakarta.
Mantap. Kumasukkan buku ini dalam daftar target bacaan, Bang...
Kedok fiksi tak selamanya bisa melindungi. Setidaknya dalam kasus Salman Rushdie dengan Satanic Verses-nya.
Beda betul nasibnya dengan Dan Brown yang sukses menggunakan topeng fiksi sebagai perlindungan saat membongkar sisi lain agama Katolik.
Tulisan ini sukses memprovokasiku untuk membaca. Semoga Bang Ayi Jufridar memberi perhatian khusus terhadap upaya Abang.
Tabek...
Ya buku ini menarik di baca. Saya kira di beberapa toko buku online masih tersedia. Novel ini ditulis dalam perspektif seorang jurnalis, wartawan. Di sinilah salah satu sisi menariknya. Selamat membaca
Wah sepertinya seru nih Novel. Ana belum baca. Boleh dong bang Mus pinjem novelnya. Kalau kritik dalam novel itu ditulis bang Ayi dengan cara komedikal, itu memang ada kaitannya dengan bang Ayi sendiri bang Mus. Bang Ayikan memang kocak orangnya. Hehehehe...
Ya seru @willyana. Nanti kalau ketemu novelnya saya bawa. Novel ini memberi perspektif tentang konflik Aceh.
Bagus sekali tulisannya pak
makasih. Salam
Sebulan lalu, saya minta Ida Fitri membaca ulang dan mengedit naskah ini Bang @musismail. Sekarang sudah siap, tetapi saya belum sempat merevisinya. Rencana, edisi revisi akan diterbitkan pada tahun ini. Ada sebuah penerbit yang bersedia menampung. Doakan semoga lancar.
Semoga lancar @ayijufridar. Tetap dalam judul "Kabut Perang" kan. Itu judul yang kuat. Barangkali boleh juga ada penanda di cover --- entah dalam bentuk visual atau kata-kata -- yang mengarah imaji pembaca (yang lihat cover) langsung ke Aceh. Yang mau terbitkan ulang penerbit basabasi ya?
Baru tau ada novel ini, tpi dari paparan abg sepertinya ada informsi yang belum tersampaikan utuh mengenai konflik tersebut, mungkin krna faktor keamanan penulis jadi pertimbangan.
Sukses untuk penulis bukunya @ayijufridar ,,
Semoga dapat segera membeli bukunya..🙏🙏🙏
ya ini novel yang menarik. Kalau gak salah novel ini bisa dibeli di bukalapak.com. Cari aja judulnya di kolom pencarian
Saya pernah baca karya beliau 679 Jenderal Sudirman. Sebuah Novel yang membuat saya bangga sebagai orang Aceh. Bahwa Aceh juga punya penulis se piawai bg @ayijufridar.
Ya, @ayijufridar memang sangat produktif. Di tengah kesibukannya ia masih sempat nulis. Juga tetap bisa bersteemit, hehe...
Menurutku kalimat ending Kabut Perang itu luar biasa, Bang @ayijufridar.
Sukses terus untuk Bang Ayi dan Pak Mus.
Sukses untuk Ayi-lah. Saya kira layak diterbitkan ulang agar makin banyak pembaca bisa menikmati ceritanya.