Setelah Lama Menghilang dari Dunia Steemit, Hari ini Aku Menulis lagi, Sebuah Kisah tentang Aku dan Bapak

in #story7 years ago

Halo Sahabat Steemian, gimana kabarnya ni? Semoga selalu baik dan kudoakan kalian selalu dicukupkan rezekinya. Aamiin. By the way, lama, aku menghilang dari steemit. Rasanya seperti ada yang hilang dari duniaku. Ya ya sekitar sebulan lebih tak berkunjung. Sebenarnya aku tidak berniat benar-benar pergi dari steemit, aku hanya sedang menyendiri dan menyelesaikan deadline menulis buku setelah riset tentang Suku Anak Dalam di luar kota bulan lalu. Selain itu, beberapa bulan ini aku juga mengalami morning sickness yang akut. Tentu ini menjadi salah satu kendala dalam usaha menulis steemit.

bapak1.jpg
sumber: brilio.net

Rasanya sedikit kaku dan aku mulai kebingungan hendak mengisahkan apa. Meski aku punya banyak kisah yang mungkin akan membuat kalian enek jika membacanya. Baiklah, berhubung ini bulan Ramadan, bulan baiknya umat muslim, aku ingin berbagi sesuatu yang mungkin bisa dijadikan pelajaran. Sebuah kisah tentang aku dan bapak.

Bapakku – Kutu Buku dan Pekerja Keras

Kira-kira seminggu yang lalu, aku main ke rumah orang tuaku. Selain posisi rumahku yang berdekatan dengan rumah bapak, mungkin aku juga selalu kangen rumah. Seminggu pascamenikah dulu, aku dan suami memang memutuskan untuk belajar hidup mandiri dengan kondisi yang selalu kusyukuri. Meski sederhana, tapi kami hampir tak pernah mengeluh tentang hidup.

Malam itu usai tarawih aku ke ruang tengah, di sana ada bapak dan Tombeng – adik laki-laki yang sesungguhnya namanya bukan itu. Mereka seperti sedang memperbincangkan sesuatu dan aku tiba-tiba nimbrung. Untuk memulai obrolan basa-basi, aku menanyakan pencapaian Tombeng dalam penjualan unit mobil di kantornya. Usai ngobrolin penjualan, masih dengan topik yang sama, yakni mobil, Bapak mulai berkisah. Ah, kalian pasti akan bilang kalau aku bukan anak yang baik karena jalan pikiranku selalu bersebrangan dengan pikiran bapak, terutama masalah pemilihan jurusan kuliah dulu hingga akhirnya aku harus mengalah.

Sebelum kuceritakan kisah bapak, aku hanya ingin bilang kalau bapakku yang super duper keras terhadap anak-anaknya adalah ayah serbabisa. Banyak hal yang kupelajari dari bapak sehingga tanpa disengaja aku pernah mengidamkan suami yang hebatnya seperti bapak, tapi tidak dengan sifat pemarahnya dan beberapa sifat lainnya. Ya maklum, orang tua yang punya riwayat darah tinggi pasti hobinya ngedumel mulu tanpa perlu dibantah.

bapak3.jpg
sumber : geotimes.co.id

Bapakku seorang kutu buku, ia banyak belajar secara otodidak sehingga ia bisa memperbaiki barang-barang elektronik yang rusak, seperti televisi, kulkas, radio, AC, dll. Padahal, dulu sekolahnya bukan jurusan itu. Ini salah satu hal yang bisa kutiru, kalau bapak bisa belajar otodidak, mengapa aku tidak bisa? Pikirku. Bapak juga membangunkan rumah untuk Tombeng dengan tangannya sendiri hanya dengan bantuan adiknya, yang juga bukan profesional di bidangnya. Ya, hasil rumahnya lumayan.

Meski bapak hanya pensiunan BUMN PT Angkasa Pura II, sekarang bapak punya bengkel motor. Setiap hari kecuali Jumat, ia menghabiskan kesehariannya di bengkel yang tak pernah sepi itu. Aku jarang sekali main ke bengkel, di sana banyak laki-laki. Entahlah, aku kurang suka saja dengan keramaian, kecuali nonton konser dan jadi panitia acara.
Nah kisah akan kumulai dari sini. Bahasan kami masih seputar mobil tadi dan tiba-tiba bapak mengingat sesuatu yang membuat hatinya dongkol. Kisah yang ia ingat ini sudah terjadi beberapa tahun silam, tetapi manusia ya memang begitu. Selalu ada kisah-kisah membekas dalam ingatan yang bisa diceritakan ke anak cucu. Singkatnya, pakdeku – mas iparnya bapak meminta tolong bapak untuk mencarikannya sebuah mobil. Istilahnya di sini, bapak jadi perantara. Bapak pun berupaya dengan sekuat tenaga mencarikan pihak yang hendak menjual mobil panther.

Saat itu, bapak sudah wara-wiri mengantarkankan pakdeku. Karena bapak sangat paham perihal mesin, bapak juga diminta mengecek kelayakan mesin mobil panther itu. Setelah bapak bilang kalau mesin mobilnya OK, terjadilah transaksi. Mobil dibawa pulang pakde dan pakdeku hanya memberikan uang lelah Rp50.000,00 saja kepada bapak. Jumlah yang dianggapnya kecil ini yang membuat bapak ngedumel.

bapak2.jpg

“Aku sudah capek ngantarin pakai mobilku, nah uang yang dikasih tidak cukup buat beli bensin mobil. Padahal, di kantong pakdemu masih ada uang sisa senilai Rp20 juta lebih. Harusnya ia memberiku lebih,” ucap bapak.

Mendengar itu, aku tiba-tiba saja kecewa pada sikap bapak. Ternyata bapak mengharapkan pamrih yang berlebihan. Ini sangat berbanding terbalik dnegan sifat ibuku yang dermawan dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Kupikir, setiap orang yang mempunyai kelebihan pasti juga memiliki kekurangan dan aku mencoba maklum.

Kujelaskan pada bapak kalau pakde itu masih keluarga kita, jadi tak ada salahnya kalau kita tulus memabntu tanpa mengharap imbalan. Seberapa pun nominal uang yang dikasih pakde, kalau tidak bersyukur, ya masih akan selalu merasa kurang. Ibuku setuju dengan pendapatku. Tiba-tiba bapak menjawab bahwa ini adalah perihal bisnis, tak ada sangkut pautnya dengan keluarga. Baiklah, itu dari sudut pandang bapak yang tak bisa kutepis.

Tombeng pun memotong obrolan. “Kalau prinsip dasarnya adalah bisnis, mestinya sedari awal, Bapak bilang ke pakde harga yang bapak inginkan biar ujung-ujungnya tidak kecewa,” ucapnya sambil ketawa. Bapak masih ngedumel panjang lebar.

Memang untuk urusan bisnis dan keluarga harus dibedakan. Itu prinsip bapak yang selama ini kupahami. Misalnya saja motorku rusak dan diperbaiki atau saat ganti oli dan ganti spion, meski terkadang bapak menolak untuk dibayar, terkadang aku mencandainya bahwa urusan bisnis beda dengan keluarga sehingga aku memaksa bapak untuk mau menerima uangku.

Pernah bapak tak mau mengambil uangku sampai-sampai aku bilang begini, “Katanya urusan bisnis dan keluarga itu harus dibedakan. Ini mau dibayar kok nggak mau ya?” Bapak melongos dan aku meninggalkan uang di depan pintu kamarnya.

Meski aku tetap tidak setuju dengan sifat pamrih bapak, aku tetap mengambil banyak pelajaran darinya, bahwa sebesar apa pun seseorang memberikan sesuatu kepada kita, jika kita tidak bersyukur, kita akan selalu merasa kekurangan.

“Bapakku memang orang yang keras kepala. Ia jarang mau menerima kritik dan saran dari anak-anaknya,” ucapku kepada suami. Suamiku pun menjawab sembari tersenyum “Sama keras kepalanya donk dengan kamu.” Aku merenungi ucapannya sambil bergulat di dalam batin.

“Apa benar ya aku begitu?”

Sort:  

Waduh.....
Panjang ya ceritanya.
Kami hanya bisa menyimak saja, tidak bisa menjawab pertanyaan

Siap2...percobaan menulis pertama bang setelah sekian menghilang😂😂

Nah, jangan-jangan Mba meng-copy sifat keras kepala bapak. Ayo sana, edit dulu, atau dimodif biar sip. Hehe.

Kok saya jadi ikutan sebel ya sama pakdhemu itu, Mba. Bukan apa-apa, harusnya dia juga tenggang rasa donk, udah mobil yang dipakai untuk pergi2 adalah mobil bapak, harusnya dia ngasih lebih donk, itung-itung uang bensin dan uang lelah. Soalnya ini kan bisnis. Lain hal jika memang dia ga mengantongi keuntungan. Ini, ada lebih dari 20 juta?

Ah, terlalu itu, pakdhemu! Hehe. *salam hormat utk bapak, ya, Mba. Katakan, aku membelanya. Hehe.

Hihihi salam, teteh. Ternyata ada juga pendukung bapakku😂

hahahahaha....aku mau komen gitu juga Kak @alaikaabdullah,

Hihi boleh juga kak ihan😜