Empat tahun berselang Layya pun menikah, Nay melihat wanita itu mulai hangat. Layya menemukan laki- laki yang mengembalikan kepercayaan dirinya selama belasan tahun, laki- laki berwajah temperamen itu mampu membuat tawa Layya lebih lepas, tetapi kehangatan sikap Layya tentu saja bukan untuk Nay, sikapnya masih tetap sebeku gunung es di kutub utara.
Hari- hari itu pun terlewati. Hari dimana Nay telah lebih besar untuk mengerti tentang perlakuan layya terhadapnya, yang lebih seperti ruang hampa diantara lantai dan langit- langit rumah, sama sekali tidak dianggap.
Sejak itu, Nay harus belajar mengendalikan sakit hatinya di balik pintu kamar, kamar sebagai tempat paling aman menjaga rahasianya setiap saat mengintip Layya, dan kamar pula yang menjadi saksi Lil selalu menangis meratapi Layya.
Suatu malam Nay ketakutan, nafasnya mendengus berat, dan tubuhnya basah oleh peluh. Ia terus menangis meremas- remas perutnya karena sengatan nyeri yang menusuk sampai kepinggang. Nay sempat mengintip Layya sebelum menemukan sebercak darah di kasur yang beberapa saat lalu ia berbaring. Kepanikan menyusul menjadi tangis. Pubertas remaja telah mengantar Nay datang bulan untuk pertama kali. Nay yang belum sepenuhnya mengerti mengira akan mati melihat bercak darahnya sendiri.
***
“gara-gara anak sialan itu”. Layya membanting tas brandednya sambil memandang benci ke pintu kamar Nay.
Hari ini Layya dipanggil ke sekolah atas laporan wali murid bahwa Nay telah memukul temannya sampai gigi depannya tanggal. dari pintu kamar Nay bisa merasakan kemarahan Layya hingga ia tidak punya kesempatan atau pun keberanian untuk menjelaskan jika teman- temannya yang lebih dulu membully dirinya hidup dari belas kasihan orang, seperti kucing kurus yang tersungut-sungut habis ditendang, kadang- kadang mereka mengejek wajahnya mirip selokan.
Nay ingat betul kemarin, ia sangat marah setelah disiram air got dan perkelahian pun tak bisa dihentikan.
“buat malu”. emosi Layya makin meradang.
ia kemudian membanting vas bunga yang membuat suaminya yang masih tidur meledak emosinya.
“aku akan menghajarnya sekarang”. Laki-laki itu mengepalkan tinju ,namun, Layya menyambar lengannya untuk menghentikan dia.
“plakkk”. Sebuah tamparan mendarat di pipi Layya.
“apa gunanya melampiaskan kemarahan pada benda-benda, kau bisa mengusirnya kapan saja kalau mau, dan aku bisa menghajar anak itu kalau kau tidak menahannya”.
Di balik lubang pintu Nay melihat Layya memegang pipinya yang memerah. tubuhnya yang sejak tadi gemetar terduduk kaku di balik pintu, Nay menangis menahan isak bagai sembilu yang menghujam rongga dadanya.
bersambung..