"Ca, "
"Yes i am"
"Udah baca chat nya Gio?"
"Belom"
"Ih kenapa?!"
"Penting?"
"Shit!"
Dan tanpa aba-aba, Dista langsung merebut buku yang sedang kubaca dengan kasarnya.
"Dis, apaan sih!"
"Lo yang apaan ca! Lo itu udah jelas-jelas suka sama Gio, bertahun-tahun lo pendem perasaan lo, dan sekarang disaat Gio respon, lo malah cuekin dia!"
"Gue ga nyuekin."
"Terus? ... "
"Hem ... eh, dis liat tuh ada apaan!"
"Mana mana mana ... "
"Ecaaaaaaa ... "
Yah, Aku mencoba untuk kabur, lari menghindar tepatnya dari Dista yang selalu saja mengingatkanku padanya, orang yang paling sangat inginku hindari. Orang yang telah menciptakan rasa cinta juga sakitnya.
Brukk!
Tubuhku menabrak seseorang,
'Oh no!' Wangi parfum ini!
Dengan sigap dan tanpa menoleh segera saja aku berdiri dan bergegas ingin segera beranjak, hingga sebuah tangan mengepal erat lengan kiriku, tanpa menoleh kutarik nafas dengan berat.
"Sampai kapan, ca? Sampai kapan kamu mau ngehindar terus dari gue?"
Ah shit! Suara beratnya, juga cara bicaranya yang tak pernah berubah jika bicara denganku, tak pernah ia menggunakan kata "lo" tapi selalu membuatku melted adalah caranya yang juga tak pernah bisa kulupa, selalu bicara dengan nada pelan dan lembut meski sedang marah.
Tapi bodohnya, aku malah kehilangan kata-kata yang seharusnya mampu dia dengar.
"I can't,"
Dan, hanya sepenggal kata itu yang mampu bibir ini ucapkan.
Entah angin apa, dia pun dengan perlahan melepas genggamannya,
"Baiklah, sorry."
Air mata tak sanggup lagi dibendung, perlahan tapi pasti. Seiring berlalunya semilir angin menerpa, dia pun ikut berlalu dengan luka dihati yang entah kapan akan hilang.
"Gi, seandainya kamu tau ini berat buatku."
Sudah tiga tahun berlalu,
tentang masa itu, masa dimana aku sangat amat menginginkannya, dan sialnya saat ini pun masih.
Meski aku tak pernah tau lagi bagaimana kabarnya sejak wisuda.
"Woii, caa!"
"Eh. iya!"
"Yeeee ngelamun dia."
"Hehe ... iya, maaf. Kenapa mba?"
"Ini file buat bahan meeting besok, lo kan yang presentasi. Jadi lo yang pegang, nih."
"Oh oke, mba nda, siip!"
"Yauda gue mau maksi dulu sama Andre, ikut?"
"Emm , engga deh mba. Masih kenyang."
"Yauda duluan ya!"
"Oke"
Yah, sekarang aku bekerja di sebuah perusahaan dibidang periklanan. Tapi selain itu, aku juga freelance di bidang organizer bersama mba Ninda juga Mas Andre teman satu kantorku.
Apa saja, selama halal akan kukerjakan demi rupiah tiap pekan.
"Hufftt ... beres juga!"
Kurebahkan badan dikursi kerja, mencoba melenturkan badan yang pegal seharian duduk. Hari ini aku sengaja tidak makan siang diluar bersama mba Ninda dan mas Andre, ini hari kamis, hariku berpuasa sunnah.
Kulirik jam dinding kantor yang masih menunjukkan pukul 13.45 Wib.
'Oh astaga!' aku bahkan lupa belum dzuhur.
Setelah membereskan meja kerja, segera kubergegas menuju mushola kantor, tetapi langkahku terhenti.
"Dia?!"
Adzan maghrib berkumandang,
aku masih berdiri di lobby menunggu seseorang, saat sebuah mobil tiba-tiba berhenti tepat di depanku .
"Butuh tumpangan? Biar saya antar sampai rumah."
"Tidak , pak. Terima kasih."
aku menolak dengan penuh hormat dan senyum termanis yang kupunya.
"Baiklah jika kamu menolak, tapi saya tidak akan pergi sebelum yakin kamu ada yang mengantar pulang."
aku hanya menunduk menanggapi ucapannya yang menggetarkan hati.
'Allah , jagalah hati ini.'
Setelah mencoba menahan diri, dan menganggapnya tak ada. Beruntungnya, sebuah motor dan yang kutunggu pun datang.
"Maaf ya, yang kelamaan. Tadi jemput Ibu dulu."
"Iya gapapa."
Dengan bergetar namun sedikit lega, akupun mengambil helm yang disodorkan Elang dan memakainya. Dan tak lupa aku menunduk dan pamit padanya yang sedari tadi mengawasiku dari mobilnya saat motor Elang melintasinya.
Ada sedikit rasa berat didada. Tapi berusaha keras kutepiskan. Sekali lagi, Tuhan ... Jagalah hati ini.
Meskipun hati kecilku masih belum mampu sepenuhnya lupa dan padam padanya, tapi logikaku telah menerima Elang.
Sosok pria sederhana yang dikenalkan Bunda beberapa bulan lalu. Dan entah karena apa, aku bahkan kini telah menerimanya sebagai tunanganku, calon menantu idaman Bunda.
Elang tidak seperti dirinya,
yang notabene adalah menantu idaman setiap ibu mertua bagi putrinya. Elang, selain berparas tampan juga manis, adalah sosok yang alim dan kalem, bukan hanya seorang calon dokter, Elang juga adalah seorang hafidz muda yang cerdas. Bodoh bila aku menolaknya.
Tapi salahkah hati ini jika ia lebih terfokus padanya?
Pada sosok yang bahkan selalu ingin kulupa. Tuhan, mengapa ia datang kembali!
"Yang, "
puk! tangannya yang terselimuti sarung tangan menepuk tanganku pelan.
"Eh, iya mas!"
"Kok ngelamun sih dek' ."
"Iya, maaf."
"Kamu laper, ya? Udah buka puasa belum?"
"Baru teh manis anget,"
"Yauda, di depan kita makan dulu ya. Kasian kamu."
"Iya, mas."
Seperti biasa,
warung makan pecel lele dipinggir jalan. Tempat makan favoritku. Hampir setiap weekend, jika kami sama-sama tidak sibuk , dia selalu mengajakku ke sini. Bukan hanya pecel lele nya yang memang enak, tapi aku bahkan membawa kenangan bersamanya dulu di tempat ini.
Tempat pertama kalinya ia mengajakku makan, di tempat ini.
Seandainya mas Elang tau.
...
"Dek' , kamu kenapa?"
"Eh, gapapa. Mas."
"Yakin?"
Aku mengangguk,
"Yasudah, tapi kalo ada apa-apa jangan sungkan bercerita ya,"
"Iya , mas."
3 tahun lalu,
saat itu hujan. Tepat pukul berapa aku lupa. Yang jelas setelah selesai Dzuhur, aku yang telah bersiap pulang tercegat hujan yang lumayan deras.
Dengan terpaksa aku berteduh di sebuah halte tak jauh dari kampus.
Sebuah motor menghampiri dan pengemudinya ikut meneduh. Sebenarnya aku tak peduli, sampai suara beratnya menyapaku.
"Eca?"
"Eh. iya. maaf siapa?"
sambil mengulurkan tangan ia memperkenalkan diri.
"Gio, kita satu kelas. Tapi kamu pasti ga kenal gue. Hehe ..."
" Oh iya, Eca."
aku menerima uluran tangannya dan tersenyum canggung.
Aku memang tak begitu mengenalnya, selain karena jarang melihat, aku memang tipikal mahasiswi yang tak pandai bergaul dan terkesan introvert.
Berbeda dengannya yang hamble, ramah dan terkesan badung. Bagaimana tidak , ia selalu bolos jika dosen yang mengajar adalah pria, lain hal jika yang mengajar dosen wanita , terlebih muda. Hujan badai pun ia jabani.
Semakin hari aku semakin mengenalnya. Seharusnya aku ilfeel atau merasa risih dengan pribadinya yang sangat amat bertolak belakang denganku.
Tapi tidak, aku malah nyaman dengannya.
Dista, salah satu sahabat terdekatku, yang paling tau aku, bahkan selalu meledekku dan menganggapku memiliki hubungan dengan Gio.
Meski sudah kujelaskan berulang kali bahwa Gio hanya sekedar teman.
"Ngaku aja sih, ca! Kalo beneran suka Gio juga kan ga dosa."
"Bukan gitu , dis. Tapi, gue ini apa sih dimatanya? Gue ga lebih dari sekedar cewek cupu yang cuma bisa bantuin dia ngerjain tugasnya aja."
"Yaelaaa, Ecaaaa. Please wake up! Gio emang badung, tapi dia so cool, dan bukan ga mungkin dia suka sama lo, ca! Yah, iya sih dia rada mesum, penyuka cewek-cewek semok nan bohay. Tapi, biasanya nih yah, senakal-nakalnya cowok mereka pasti akan milih cewek baik - baik buat diseriusin. Dan lo nyadar ga sih, Gio tuh baik dan perhatian banget sama lo, bahkan dia belain lo saat Cindy ganggu dan ngelabrak lo kemaren, iya kan?"
"Iya sih, tapi ... "
"Ssttt ... Udah! percaya sama gue, Gio juga suka sama lo, okay?!"
Aku hanya membuang nafas mendengar keukehnya Dista.
Meski hatiku tetap saja ragu dan takut . Takut rasaku bertepuk sebelah tangan.
"Ca!"
"Hei, Gi. kenapa? Kok ngos-ngosan gitu?"
"Huh, iya nih. Ngejar kamu tadi."
"Hah? hahaha kok dikejar segala?"
"Hahaha abisan kamu jalan kek pelari maraton, cepet beud. Hush, hahaha"
"Hahaha kamu nih, ada apa?"
"Sore nanti ada acara?"
"Emm ... engga sih kayaknya, kenapa?"
"Engga, itu. Teman gue kan ada yang baru buka caffe baru, kesana, yuk!"
"Hemm ... gimana yaaa ..."
"Yah, ayoklah gue traktir deeh."
"Beneran?"
"Apasih yang engga buat kamu, eh. Hehehe ... "
"Hahaha Yauda, jam 5 sore ya!"
"Oke, siip!"
Aku pun mengangguk,
"Okedeh, see you ya!"
"Oke,"
Dia berlalu dengan ekspresi girang bagai orang yang baru mendapat undian berhadiah.
Aku geleng-geleng melihat tingkahnya. Tapi sekaligus senang , orang yang paling dekat denganku sekarang mengajakku kencan! Yes, i can. ini malam minggu guys, hahaha ... duh!
Satu jam sudah berlalu,
caffe temannya Gio pun sudah semakin ramai.
Aku duduk di salah satu sudut meja yang bertempat duduk untuk empat orang. Nuansa caffe nya cukup klasik, pas untuk para kaula muda yang ingin menghabiskan malam minggunya untuk sekedar nongkrong dan berkumpul ria.
Ada satu panggung mini yang menampilkan satu band berisikan empat pemuda, yang kini sedang melantunkan lagu payung teduh yang tengah hits.
Gio pamit sebentar, entah kemana. Aku tak terlalu memperhatikan . Sampai akhirnya, ada seorang yang sangat aku kenal tampil di atas panggung mini itu, Gio!
Dengan sebuah gitar dipangkuan, dan duduk dengan mic yang ia luruskan dengan mulutnya, Gio memperkenalkan diri dan meminta ijin pada penonton untuk menyanyikan sebuah lagu yang dipersembahkan nya untuk seseorang yang tanpa ku duga, ia menunjuk ke arahku. Otomatis membuat semua mata tertuju padaku.
Sontak hatiku bergetar hebat, bukannya hanya malu, tapi juga surprice tak menyangka Gio seberani ini.
Sebuah lagu bertajuk "All of me" yang dipopulerkan John legend melantun cukup merdu dari suara bas Gio.
Aku melted!
Tepuk tangan membahana saat lagu selesai dilantunkan, Gio pun turun panggung dengan tepukan tos dan siulan ledekan dari para temannya.
Dia menghampiriku dengan agak sedikit canggung, aku? Jelas wajahku merah merona, meski hati terasa hangat berbunga-bunga , tetap saja ada rasa malu mengumpat.
Sebelum mengantarku pulang, Gio mengajakku ke sebuah warung pecel lele pinggir jalan.
Katanya makanannya enak, tempatnya pun lumayan bersih , aku mengiyakan karena juga lapar. Hehehe
Di sanalah, untuk pertama kalinya aku melihat sisi lain dari sosok Gio, yang notabene kulihat sebagai sosok yang cuek, simple juga berandal. Tapi ada di sisi lain darinya, sisi sosial yang membuatku kagum dan semakin melted.
Dia dengan rendah hatinya, membelikan seorang anak kecil dua bungkus nasi pecel lele, yang sebelumnya terlihat lusuh ragu mendekati warung sambil sesekali memegangi perutnya yang kelaparan.
Seperti tidak ingin terlihat, Gio berbisik pada mang penjual pecel lele untuk membungkuskan untuk si anak tersebut. Tapi sayangnya aku tau, meski aku tetap berpura-pura sibuk dengan handphone.
Hujan kembali mengguyur saat kami akan kembali pulang.
Gio mengajakku berteduh terlebih dulu.
"Sorry ya ca, gue ga bawa jas hujan."
"Iya gapapa, gi."
"Nih, pake!"
Gio menyodorkan jaket nya padaku.
"Kamu gimana?"
"Gampanglah, udah pake aja."
Aku pun mengambil dan memakainya.
"Huft, deres banget nih. Lumayan lama, gapapa ca?
" Yah, mau gimana."
"Sorry, ya ..."
"Heem,"
Derrr!
Suara petir menggelegar membuatku kaget sekaligus takut . Dengan spontan aku mendekap pada tubuh kekar Gio.
Dia menepuk bahuku pelan,
"Gapapa, ca."
'Huft ... rasanya nyaman dan hangat.'
Mencoba lepas dari pelukannya, wajahku bertemu dengan wajahnya, tepat sangat dekat dengan hidung mancungnya.
'Oh no, dia ganteng banget'
ceees wajah kami sangat dekat, semakin dekat bahkan tanpa jarak.
Cup, sebuah kecupan hangat menyentuh bibirku sangat amat lembut. Semakin dalam hingga aku dapat merasakan lidahnya beradu dalam rongga mulutku dengan sangat amat hangat dan menenangkan. Mataku terpejam, menyesapi setiap sentuhan bibirnya. Ingin rasanya waktu terhenti detik itu juga. Hingga nafasku rasanya sesak, Gio pun melepas ciumannya. Ada rasa kecewa menyelimuti, tapi sentuhan lembutnya membuatku semakin nyaman dan candu. Dengan lembut dan mengadukan hidung mancungnya dengan hidungku, ia berbisik,
"Hujannya sudah reda."
Dengan hati diselimuti gejolak bahagia nan berbunga, akupun diantar pulang hingga depan pagar rumah.
"Thankyou ca, ini hari terbaik juga terindah buat gue. Have a nice dream, sweetheart."
Aku hanya menjawabnya dengan seuntai senyum terbahagia.
"You too."
Kami pun terpisah, bukan hanya oleh pintu pagar tapi juga oleh sepenggal malam menuju pagi. Semalam aku tak bisa terpejam dengan lelap, degup jantungku tiada henti berdendang.
'Tuhan ... Jangan biarkan ini berakhir . Meski aku sadar ini salah, my first kiss yang seharusnya milik dia yang mengucapkan ijab kabul atas namaku, justru telah aku berikan padanya yang bahkan tak berhak menyentuhku. Dan sialnya aku malah bahagia dan susah lupa. Tuhan ... benarkah cinta itu buta? Inikah cinta?' Ahh betapa naifnya aku! ...
Kukira itu adalah awal,
nyatanya itu adalah akhir.
Akhir dari semua tanyaku, akhir dari bahagia sesaatku.
Dista tak pernah tau, dan tak ingin dia tau.
Hanya cukup aku yang tau, bagaimana sakitnya diajak terbang, tapi lalu dijatuhkan tanpa ampun ke dasar jurang.
Aku tidak ingin mengingatnya, itu mengapa aku tak pernah mengijinkan Dista tau.
Dan setelah tiga tahun itu berlalu , kini sakit itu kembali menyapaku. Sosok yang selalu berusaha aku lupakan , yang selalu aku anggap tak pernah ada. Ia justru kembali datang, tepat sebagai atasan baruku.
Dia yang tadi siang menyapaku di depan mushola kantor, dia yang memberiku teh hangat saat bedug maghrib berkumandang, dia yang menawariku tumpangan pulang, dia yang mengawasiku dari mobilnya sampai Mas Elang datang menjemput.
Dia ... !
"Nah, alhamdulillah udah sampe."
"Mas, ga mampir dulu?"
"Engga, dek' . Mas ada janji sama Aji, lain kali aja ya.Mas titip salam aja ya buat Bunda."
"Iya, mas. nanti disampein. hati-hati!"
"Iya dek', Assalamu'alaikum ..."
"Wa'alaikum salam ..."
"Elang ga mampir, teh?"
"Engga, bun. Ada janji katanya, titip salam buat Bunda."
"Wa'alaikum salam ..."
"Teteh mandi dulu, bun."
"Iya, eh sebentar!"
Bunda mencegat langkahku.
"Elang belum bilang?"
"Bilang soal?"
"Tanggal pernikahan kalian dimajuin, jadi sebulan lagi,"
"Apa?! Kok gitu , bun?"
"Iyaaa, soalnya Elang dapat tugas koas keluar kota, jadi pernikahannya harus sebelum dia pergi ."
"Engga bisa gitu dong, bun."
"Teteh kan belum selesein project kerja , perjanjiannya kan setelah menikah teteh ga boleh ngantor lagi."
"Iya, teh. Dengerin Bunda dulu, sayang."
Bunda mengelus rambutku dengan lembutnya .
"Elang dan keluarga nya sepakat tidak keberatan kalo teteh masih kerja, tapi hanya sampai kalian punya momongan."
Aku mendesah kesal, ingin protes tapi tak bisa mengelak ucapan Bunda lagi.
Entah mengapa ada yang berat tatkala aku tau, Mas Elang akan jadi suamiku dalam waktu satu bulan ini. Bukankah seharusnya aku senang? Dia sosok pria idaman; tampan, baik, santun, seorang dokter, sholeh, juga dari keluarga terpandang.
Tapi aku?
Kembali kutatap cermin yang memantulkan wajahku yang polos namun berwajah sendu.
Aku ga pantes! Aku kotor, bahkan untuk seorang sempurna Mas Elang.
Hatiku memikirkannya, bibirku merindukannya. Aku hina dengan segala kepura-puraanku. Aku malu!
Waktu ... beri aku jawaban!
Pagi ini terasa lebih berat untuk kujalani, terlebih untuk masuk kantor.
Dan hari ini adalah hari dimana aku harus mengajukan cuti untuk hari pernikahanku nanti.
Seluruh kantor cukup heboh mengetahui aku akan menikah dalam waktu dekat, terlebih mba Ninda dan mas Andre dua rekan kerja terdekat yang sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri .
"Lo serius, ca?!"
Aku hanya mengangguk lemah, mengiyakan pertanyaan mba Ninda.
"Bukannya lo bilang syawal sehabis lebaran, ca?"
"Dimajuin karna mas Elang ada rencana koas keluar kota, mas."
"Owalah. Terus gimana sama semua project kita di Deros, kan sayang ca. Ga mungkin juga kita cari pengganti lo dalam waktu cepat."
Mas Andre berkata lesu tak rela jika aku resign sebelum project Deros yang sudah kami acc di cancel jika aku menikah.
Deros adalah nama organizer kami yang menangani event, juga acara nikahan.
"Mas Andre sama mba Nda gausah khawatir, Soal itu Bunda juga udah sepakat sama keluarganya mas Elang. Aku akan berhenti bekerja jika sudah hamil."
"Hemmm ... Yah, baguslah."
"Hufft ... Lega gue! Masalahnya nyari orang buat gantiin lo itu ga gampang, ca!"
Mas Andre berkata lega sembari duduk di meja kerja nya di sebelah kubikelku.
"Iya, lagian juga kita kan lagi ada project di ini kantor, dan lo yang pegang presentasinya . Mana mungkin si bos ngelepasin lu dalam waktu dekat, ca!"
Aku hanya tersenyum menanggapi mba Ninda.
"Oh iya, udah tau belom itu bos baru kita? Masih muda cakep pula! Denger-denger sih baru pulang dari LA."
"Ah lu mah, nda! Udah buntut dua juga! Inget suami woi!"
"Hahaha ... lagian kan gue cuma muji, yeee kok lo yang sewot sih! Sirik aje lu om cunguk!"
"Jangan ketipu sama tampang cakep, taunya hode baru nyaho lo!"
"Dih, pikiran lu bekicot! Tapi beneran deh yah, duh itu bos mempesona banget, melting gue. Seandainya belum ada buntut, dedek mau deh bang digemesin."
"Dih, mana ada dia mau sama tante girang sejenis lu, nda! Yang ada dia kaligata deket-deket lu!"
"Ah sirik aja lu, tong!"
" Hahaha ... udah udah, kok malah jadi pada berantem sih. Ngopi yuk!"
"Ah iya, tau nih si Andre sirik aja!"
"Yauda, yuk!"
Tanganku mengamit lengan mba Ninda untuk pergi ke coffe shop di lantai dasar.
"Mas Andre, ikut?"
"Engga deh, ca. Tadi udah nih."
jawab mas Andre sembari mengacungkan coffe latte nya yang tinggal setengah sambil menguap.
"Yauda, duluan ya! Yuk, mba."
"Yo."
Aku dan mba Ninda pun turun dengan menggunakan lift.
Setelah memesan coffe kami pun berjalan kembali menuju lift, sampai ada yang menepuk bahu mba Ninda dari belakang.
"Ninda?!"
"Eh, iya. Riska?"
"Iya, ih apa kabar kamu, nin?"
"Baik baik, eh kok ada di sini?"
"Iya nih, abis nganter bekal suami tadi ketinggalan."
"Owalah, kerja di sini juga toh suamimu?"
"Iya, nin. Di lantai tiga. Kamu masih cantik dan langsing aja nih, duh. Padahal kan denger-denger buntutnya udah dua, ya?"
"Hahaha ... ah, bisa aja kamu, Ris! Kamu juga sama ga ada yang berubah."
"Ih pengen ngobrol-ngobrol nih, yuk mumpung belum jam nya jemput anak."
"Hem boleh-boleh. Eh, ca. Gue ngobrol dulu bentar, lo duluan aja ya."
"Okedeh, duluan ya! Mari mba Riska."
"Iya, silahkan."
Akupun berjalan seorang diri menuju lift dengan coffe latte di tangan.
Menunggu lift , dan memasukinya, terus menunduk sampai akhirnya, 'deg' jantungku seolah berhenti berdetak.
Pintu lift telah tertutup rapat, terlambat sangat amat terlambat jika aku ingin keluar . Namun, entah apa aku kuat? Tuhan, cobaan sepagi ini.
Aku mencoba menatap langit-langit, mengalihkan perhatian. Waktu terasa lambat.
Dia diam, hanya menarik nafas kemudian menghembuskannya sembarangan. Menoleh ke arahku, saat aku menunduk.
Tak ada kata, hanya waktu yang seolah terasa lambat.
Ting, gelap! Aw! lift berhenti! Tubuhku sedikit tersungkur, membuatku terduduk dilantai.
'Oh no! Lift-nya berhenti. Tuhan ...
Tubuhku gemetar ketakutan. sungguh, tak ada yang lebih menakutkan selain gelap bagiku. Air mata dan keringat bercucuran memenuhi tubuhku, hanya nama Bunda yang mampu kusebut.
Dia, mencoba tenang dalam kepanikannya. Terlebih melihat ketakutanku.Dengan sedikit mendekat perlahan, tangannya memegang bahuku.
"Ca ... Tenanglah, tarik nafas perlahan. Ketakutan hanya akan membuatmu semakin kehilangan udara."
Aku tak mendengarnya dan terus terisak.
Dia membuka jas hitamnya, merenggangkan dasinya, dan duduk tepat di sebelahku.
Bukan hanya kekurangan oksigen, kami pun kehilangan akal. Tak tahu apa yang harus dilakukan untuk bertahan.
Dalam gelap, deru nafasnya dapat kudengar dengan sangat amat jelas.
Tak ada yang berubah, sikap dan pembawaannya masih sama. Tenang dan membuatku nyaman.
'Oh shit!'
Tubuhku terasa nyaman dan ketakutanku mereda, semua karena tubuhnya mendekapku erat. Ini seharusnya membuatku semakin sesak, tapi tidak! Aku malah merasa ada udara mengalir dengan sangat deras, saat tubuhnya memprotect tubuhku dengan cukup erat.
Bibirnya tepat dikeningku,
dan bisikan lembut hinggap ditelingaku. Suara beratnya terdengar menenangkan,
"I can protect you, always need it. Kamu ga berubah, ca. Masih sama seperti tiga tahun lalu."
Waktu seolah ingin kuhentikan. Bahkan jika hari ini adalah hari terakhirku melihat dunia, aku rela. Asalkan terus berada dipelukannya.
Ting! Pintu lift terbuka!
Sebuah sinar membuatku silau. Terdengar suara panik mba Ninda, juga keramaian lain. Samar-samar aku melihat dan mendengar, hingga semua berakhir gelap dan aku tak sadarkan diri.
Mataku perlahan terbuka, ruangan serba putih yang kulihat pertama kali. Terdengar suara cemas Bunda menghampiri.
"Udah bangun, sayang?"
"Aw ... "
kupegangi kepala yang terasa pusing dan berat.
"Jangan banyak gerak dulu, sayang."
"Ca dimana, bun?"
"Di rumah sakit, tadi kamu pingsan."
Tangan lembut Bunda mengelus rambutku pelan.
"Istirahat ya, teteh masih lemah."
"Oh iya, bun.Gimana sama Pak Gio? Dia ga apa-apa?"
"Alhamdulillah pak Gio gapapa kok, yauda yah teteh istirahat dulu."
Aku pun manut, kembali merebahkan badan yang memang masih terasa lemah.
Aku tak harus dirawat, kondisi badanku pun membaik . Tapi Bunda masih saja menuntunku seolah aku sangat amat lemah. Tapi aku tak keberatan, justru sangat amat bersyukur memiliki Bunda yang begitu amat perhatian.
Setelah merebahkan badanku di kasur, Bunda duduk di tepi kasur kembali membelai rambutku lembut.
"Teh, ada yang ingin Bunda tanyakan ."
"Apa, bun?"
"Tapi pertanyaan Bunda cukup sensitif, sayang. Teteh jangan tersinggung yah."
Aku mengangguk lemah, mengiyakan.
"Teteh dan pak Gio ... emm ... "
Bunda terbata ragu mengatakan pertanyaanya.
"Kenapa, bun?"
"Teteh dan pak Gio, memiliki kedekatan?"
"Maksud bunda?"
"Teh, tak apa. Jujur sama bunda nak', jika memang benar Gio adalah pria yang teteh cintai. Bunda ga akan marah, sayang."
"Kenapa bunda tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Tadi, saat teteh pingsan ..."
Jika hati dan logikamu miliki jawaban yang berbeda, mana yang akan kamu pilih?
Hati, mencintainya karena sebuah kenangan? Atau menyayanginya karena sebuah keharusan?
Eca tak punya pilihannya, tapi waktu yang menuntunnya untuk memilih pada siapa dirinya akan jatuh ...
"Jangan pernah menyesal akan pilihanmu nak' sekalipun itu adalah sebuah kesalahan."
Kata-kata Bunda terus mengiang dalam ingatan.
Sebuah untaian kata yang sulit aku jalani. Tapi benar kata Bunda, aku tak boleh menyesalinya sekalipun pahit dan sakit.
Perias pria bergaya perempuan itu telah selesai memoles wajahku dengan tumpukan make-up yang cukup tebal, membuatku seperti putri kerajaan jawa dengan sanggul yang cukup berat.
Meski Bunda dan Abahku berdarah sunda tulen, kami sepakat menggunakan adat jawa tengah sesuai adat keluarga mas Elang.
Aku tak pernah begitu peduli akan menikah dengan adat apa pernikahanku, akankah mewah atau sederhana , aku tak pernah punya impian apapun tentang bagaimana pesta pernikahanku.
Karena bahkan dengan siapapun aku menikah, aku berusaha tak peduli.
Aku bukan gadis manis bak princes yang memimpikan pernikahan indah. Aku hanya ingin tau, apakah hatiku siap untuk menjadi wanita yang menemani seorang pria yang harus selalu kutemani tidurnya, kusiapkan makanannya, dan kuhidup bersamanya sepanjang hidupku.
Hanya dengan satu kalimat, rutinitas hidupku akan berubah, peraturan hidupku akan berubah, statusku akan berubah tapi tidak dengan hatiku. Aku ragu dia pun akan berubah.
Ini adalah hari pernikahanku.
Hari dimana sebagian dari hidupku akan berubah, kuharap juga dengan hatiku.
Semua orang tampak sibuk hilir mudik mempersiapkan segalanya , tak terkecuali Bunda, Ibu terbaik yang pernah kumiliki. Jikapun ada yang membuatku sedih, itu adalah kelembutannya yang akan hilang saat seluruh pesta ini berakhir dan aku resmi menjadi nyonya Dirgantara.
Karena sejatinya, setiap anak perempuan yang telah resmi menjadi seorang istri, akan ikut kemanapun suaminya pergi, meski keluarga mas Elang mengijinkanku tetap bekerja setelah menikah, tetap saja aku harus berpindah rumah menetap dengan Ibu mertuaku , sekalipun mas Elang harus pergi untuk tanggung jawabnya sebagai Dokter.
"Kamu cantik sekali, sayang. Bunda sampai pangling."
Bunda mengelus bahuku seraya menepuknya pelan.
"Inget pesan Bunda ya sayang, jadilah wanita terhormat dengan menjadi istri yang sholehah dan Ibu yang bertanggung jawab."
Kata-kata Bunda begitu pelan dan lembut, namun cukup menusuk ulu hatiku.
Bunda tau siapa yang aku cintai, tapi Bunda pun tau siapa yang aku butuhkan.
"Insya Allah, bun.Doakan teteh ya, bun."
dengan sedikit terisak aku menggenggam erat tangan Bunda juga menciumnya penuh khidmat.
"Iya sayang, selalu. Sudah, nanti make-up nya luntur."
Aku tak peduli dengan ucapan Bunda justru malah semakin terisak dan memeluk Bunda erat.
'Tuhan ... benarkah ini jalanku?'
Mengapa hatiku rasanya berat, mengapa aku seperti takut, takut tak mampu menjaga perasaanku saat statusku berubah.
Seluruh tamu undangan telah memenuhi pelatara gedung, tempat dimana sebagian hidupku akan berubah.
Terlalu banyak orang, sampai aku tak tau , bahwa dia ada.
Berdiri diantara tamu yang lain. Dengan setelan jas khasnya , tapi dengan tampilan rambut yang sedikit berantakan. Dia tak tau bahwa dari jauh aku memperhatikannya, karena matanya terus saja menatap ke arah kursi pelaminan, mungkinkah ia berharap akan melihatku di sana? Atau membayangkan bahwa kami yang seharusnya duduk di sana? Ah, tidak! Yang terakhir itu khayalanku. Khayalan yang membuat sakit mengiyakannya.
Ingatanku berputar kembali pada tiga tahun lalu itu,
hari dimana aku tau, bahwa aku tak pantas mencintainya.
"Lo tau kan, Gi. Eca suka sama lo! Dan dia bahkan ga pantes tau soal ini! Biarin ini jadi masalah gue, dan lo ga perlu lagi inget atau bahkan ngerasa bersalah. Ini murni salah gue, anggep aja malam itu ga terjadi apa-apa, okay?!"
"Not okay, Dis! Gue emang cowok brengsek, tapi gue bukan pengecut yang bisa lupa sama apa yang udah gue lakuin gitu aja! Gabisa kayak gini, Dis!"
"Bisa, Gi. Lo bisa! Lo cinta kan sama Eca? Remember, kita ngelakuin itu karena mabuk, karena nafsu, bukan karena cinta. Jadi tolong , anggep malam itu ga pernah ada!"
Gio mengerang frustasi, tak tau apa yang harus ia lakukan dan ucapkan lagi, gadis di depannya keukeh untuknya melupakan malam laknat mereka.
Dan aku, hatiku bergejolak riuh mengetahui kenyataan yang paling menyakitkan ini.
Sampai akhirnya,
kutemui seorang gadis kecil berusia dua tahun lebih berlarian dipelatara kantor.
Dia berusaha mengejar bola kecilnya yang memantul menjauhinya.
Aku membantunya menangkap bola kecilnya.
"Hei, gadis manis. Ini bolanya."
ia pun mengamit bolanya dari tanganku dengan lucunya.
"Namanya siapa? Kok main sendirian? Mamahnya kemana?"
"Caca ... mam go, mam go ..."
hanya itu yang diucapkannya, dengan sedikit terbata dan cadel.
"Caca? Namamu caca?"
ia mengangguk.
"Caca ... "
terdengar suara barito seorang yang aku kenal.
Membuat si gadis kecil berlari menghampirinya dan memanggilnya "Dad"
Dengan bahagianya mereka berpelukan dan si gadis kecil digendong dengan riangnya.
"Kamu kemana aja, sayang. Dady cariin juga, hemm ... "
si gadis kecil hanya tertawa riang menanggapi Ayahnya yang terus menciumi pipinya yang tambun.
Sampai akhirnya, dia tersadar ada aku di hadapannya, sedang tak sadar berdiri mematung memperhatikannya.
'Deg!'
"Ma ... maaf, pak. Saya permisi."
Secepat kilat aku pergi, kembali ke meja kerjaku.
'Huffttt ... '
kutarik nafas dengan berat, dan melepasnya sembarangan .
Anak itu? Mungkinkah dia ...
Dista,
apa kabar sahabat terbaikku?
Sudah dua tahun lebih, setelah hari itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya.
Terakhir, saat dia memaksaku untuk menerima ucapan cinta Gio padaku via chat.
Tapi aku tak sanggup merespon, bahkan untuk mengatakan padanya, bahwa aku tau semuanya.
Aku tau Dis, kamu melakukan sebuah kesalahan dengannya,
Dan menolak mengakuinya demi aku. Demi sahabatmu yang pengecut ini.
Aku melihatnya, Dis. Meski aku tak tau benar, tapi aku yakin dia adalah putri kecilmu.
Benih kesalahan sahabat dan orang yang aku cintai.
Sakit, tapi aku tau. Kamu jauh lebih sakit, Dis.
Seandainya waktu mengijinkan kita untuk bertemu, aku ingin memelukmu dan mengatakan, jangan jadi bodoh karena aku, jangan jadi korban karena aku, karena cintaku tak sebesar pengorbanan dan sakitmu, dis.
Aku tak pantas, Hatiku sedikit resah, Bunda dan Abah terlihat pucat dan gelisah. Pak penghulu terus mendesak agar ijab segera dilakukan. Tapi rombongan pengantin pria tak kunjung datang.
Mas Elang, mungkinkah sesuatu terjadi padanya?
Mba Ninda yang sedari tadi duduk di sebelahku terus menguatkan,
"Sabar ya, Elang pasti dateng kok, mungkin macet."
Aku hanya menghela nafas, semoga saja begitu.
"Maaf, pak bu. Saya masih harus menikahkan di tempat lain ini , apa mempelai prianya bisa dihubungi?"
"Iya, pak. Maaf ya, sebentar ."
Bunda dan Abah terus mencoba menghubungi keluarga mas Elang, tapi tak ada satupun panggilan yang dijawab, membuatku semakin resah dan ingin menangis rasanya.
'Mas ... kamu dimana? Permainan apa yang kamu berikan ini, mas!'
Dan ...
"Mas Elang?!"
Hatiku lega melihatnya, tapi juga bingung dengan penampilannya. Ia tak mengenakan pakaian adat pernikahan, juga tidak dengan rombongan keluarganya, hanya seorang diri.
"Maafkan mas, dek'. Mas tidak bisa menikah denganmu."
Bagai disambar petir, hatiku tertusuk ngilu mendengarnya.
"Kenapa, mas? Apa salahku? Kenapa kamu lakuin ini!"
dengan terisak aku memakinya.
"Bukan salahmu, tapi salah mas. Terlambat mengetahui gadis yang dicintainya, mencintai pria lain,"
"Maksud, mas?"
"Jika kita menikah, mas adalah pria paling bahagia. Tapi sekaligus menjadi pria jahat yang menghancurkan hatimu, dek'."
"Mas ... "
"Jika kamu benar ingin bahagia, menikahlah dengannya. Dengan pria yang mencintaimu dengan sangat kuatnya,"
"Kamu pantas bahagia, Eca rengganis. Berjanjilah untuk menjadi wanita yang selalu bahagia bersamanya, untuk mas."
"Dan kamu, pria bodoh! Kemarilah ."
Mas Elang menunjuk ke arahnya, yang mendekat dan berdiri di sampingku.
"Nikahi dia, wanita yang sangat kamu cintai ini. Dan berjanjilah untuk jangan pernah menyakitinya ."
" Sampai ada air mata yang menetes darinya karena aku, kamu boleh membayarnya dengan nyawaku, man."
"Okay, noted!"
Senyum lega membahana,
aku telah resmi menyandang status sebagai seorang istri, tapi bukan sebagai nyonya Dirgantara, melainkan sebagai nyonya Mahendra.
Dari jauh, dapat kulihat sosoknya juga seuntai senyum bahagia yang tak pernah kulihat sejak dua tahun lalu.
Senyum tulus seorang sahabat, yang sangat kurindukan.
"Sayang , aku kangen Dista."
"Iyah, nanti kita tengokin Dista. Caca juga pasti kangen Mamahnya."
"Apa Dista bahagia?"
"Of course, dia selalu meminta aku menemukanmu, dan menikahimu di depannya."
"Pantas, kemarin dia tersenyum bahagia."
Gio mengerutkan keningnya,
"I love you,"
aku mencium bibirnya gemas.
Sebuah kesalahan aku melakukan itu, karena dia bahkan tak melepaskan bibirku dan malah memagutnya dalam.
"Dis, semoga kamu bahagia. Sama seperti bahagia yang kamu berikan untukku. Dan tak ada janji yang indah selain janjiku padamu, untuk selalu menjaganya. Menjaga Gio juga Caca, dua anugerah terindah milikmu. Terima kasih, Distanya putri ... "
Kukecup batu nisan, dan menabur bunga segar di atasnya, diatas makam yang tertulis sejak satu tahun lalu.
Ini bukan pilihanku, tapi ini mimpiku , mimpi yang ragu aku wujudkan.
Tapi cinta, ia tak pernah padam. Akan tau kemana akan kembali ...
-The end-