Pagi itu masih sangat muda sekali saat penginapan kami didatangi dua sedan Proton. Kota Damansara telah terjaga sejak subuh, walaupun ada beberapa warung kopi yang memang buka 24 jam. Setelah kemarin Bang -Panggilan untuk lebih tua di semenanjung Melayu- Razi. Beliau membawa kami ke Majelis guru Silat Melayu, sebuah majelis kebudayaan melayu sebagai tempat silaturrahmi pegiat-pegiat budaya nusantara, hari ini beliau berjanji akan mengajak kami untuk berpelesir ke Melaka, Bandaraya bersejarah.
Perkenalan kami dengan Bang Razi bermula dari media sosial Facebook. Beliau adalah seorang pendiri sekaligus ketua dari organisasi HIKMAH (Himpunan Melayu Akhir Zaman). Eratnya hubungan Aceh dengan Malaysia pada zaman dahulu yang membuat kami seperti punya ikatan batin dengan sejarah Melayu masa lalu.
“Bila kita berangkat pagi dari Kuala Lumpur, kita bisa singgah di beberapa makam Raja di Malaysia” kata beliau.
Kemudian kami berangkat ke makam setelah sarapan pagi di salah satu warung dekat Mesjid di Sungai Penchala. Jam tangan menunjukkan pukul 8.30 pagi. Kami berjumlah tujuh orang dari Aceh berbagi tumpangan. Empat orang ikut bersama mobil yang dikendarai Bang Razi, sedangkan Saya bersama dua lainya naik di mobil Bang Zam, teman dekat Bang Razi yang juga peminat sejarah melayu. Kami memulakan perjalanan menuju ke arah selatan. Rencana pertama kami akan menggunakan Tol Lebuh Raya Plus yang memotong ke Nilai, tapi tidak sadar sudah masuk ke kawasan antara Putrajaya dan Cyberjaya yang menghala ke Bandara KLIA. Namun rupanya Bang Razi punya rencana lain. Beliau ingin membawa kami ke Melaka melalui Bandar Seremban, tidak melalui tol yang berakhir di Ayer Keroh.
Sepanjang jalan yang kami lalui, sangat jarang bertemu dengan kendaraan. Bang Razi mengatakan, tidak banyak wisatawan yang ingin pergi ke Melaka dari Kuala Lumpur yang mengambil laluan ini, karena bas yang berangkat dari Terminal Bersepadu Selatan mengambil laluan melalui tol Ayer Keroh. Benar saja, ketika tiba di Lukut, Bang Razi langsung berhenti di sebuah lahan berpagar tembok putih.
“Inilah Makam Diraja yang berada dibawah seliaan kerajaan Selangor, Raja Jumaat yang pernah mengusahakan bijih timah disini 200 tahun lalu” katanya.
Penjaga makam turut menunjukkan satu makam diluar pagar beton tadi, dia tidak ingat milik siapa tetapi menyatakan ia berumur 400 tahun.
Selepas itu kami meneruskan perjalanan. Sambil menyetir, Bang Zam tidak henti-hentinya menanyakan perihal klasifikasi pakaian adat Aceh, hal ini kebetulan karena kami memakai pakaian adat Aceh ketika terbang ke bandara KLIA2 dari bandara Sultan Iskandar Muda di Banda Aceh dan tetap memakainya saat berada di Malaysia. Jalanan yang kami lalui memang sangat nyaman, dengan menikmati nyanyian melayu yang disetel Bang Zam dari radio mobilnya. Selepas itu kami berhenti untuk minum di pantai Port Dickson atau lebih dikenal dengan PD. “Saya berhasil membawa kalian ke Pidi (ucapan untuk PD), tempat asal kalian” Bang Razi membuat lelucon. Memang benar, kami tinggal di kabupaten Pidie, provinsi Aceh, dua jam perjalanan dari kota Banda Aceh. Orang Malaysia menyebut pantai ini dengan sebutan pantai peranginan.Di pantai ini kita bisa menikmati air kelapa muda sambil menikmati angin laut di Teluk Kemang.
Perjalanan ke selatan diteruskan melalui laluan pantai, kemudian belok sebentar ke arah darat untuk menziarahi makam lama dan melihat batu-batu megalith di Pengkalan Kempas. Makam ini dikatakan milik seorang sufi yang bernama Syeikh Ahmad Majnun yang hidup 600 tahun lalu. Menurut cerita Bang Razi, karena taat mengamalkan ilmu tasawuf, hingga beliau dianggap gila, hal itu yang disebabkan beliau di gelar Majnun (Majnun dalam bahasa Arab berarti gila).
Selanjutnya perjalanan diteruskan melalui Kuala Linggi sebelum makan tengah hari di Pantai Puteri. Tidak jauh berbeda dengan Port Dickson, dipantai ini juga berembus angin laut yang memanjakan diri. Pemilik warung memotong setengah harga dari makan siang kami setelah tahu tamunya berasal dari Aceh.Memang tidak berlebihan jika orang Aceh memiliki keterikatan batin dengan orang-orang di semenanjung melayu. Sangat istimewa kami disambut disana, apalagi kami berbusana pakaian adat Aceh. “Kami merasakan kunjungan sahabat-sahabat Hang Tuah dari Aceh kesini, sebuah kebahagian tiada tara, masih ada orang yang menyambung masa lalu ditengah pertikaian antar Negara” sebut pemilik warung nasi tersebut.
Setelah mendengar kata-kata tentang Hang Tuah, kami jadi penasaran dan bertanya kepada Bang Razi di mana pusara Hang Tuah. Beliau kemudian memutar mobil ke arah kami berangkat kami tadi untuk singgah sebentar di makam Hang Tuah yang rupanya hanya dua ratus meter dari tempat makan siang kami.
Diluar dugaan, kami menemukan beberapa makam dengan batu nisan Aceh disini. Memang dibeberapa tempat di Malaysia bisa dijumpai banyak batu nisan Aceh. Salah satu faktornya adalah karena jalinan kerja sama antara kerajaan di Aceh dengan kesultanan-kesultanan di semenanjung melayu. Pihak kesultanan di melayu memesan batu nisan dari Aceh yang diangkut dengan kapal air ke Malaysia sekitar ratusan tahun lalu. Faktor kedua adalah banyak pahlawan Aceh yang gugur saat membantu Kesultanan Melaka berperang melawan Portugis. Hang Tuah adalah pahlawan pujaan orang Melaka, dia pembela kebenaran dijajaran Kesultanan Melaka. Hang Tuah lebih dikenal bahkan daripada Sultan sendiri oleh rakyat Melaka pada masa itu. Laluan Pantai juga mengharuskan kami singgah di Mesjid Tengkera dan melawat makam Sultan Singapura, Sultan Hussin Shah dibelakangnya. Kemudian baru ke Mesjid Kampung Hulu di Melaka untuk shalat dan istirahat sebentar. Mesjid ini termasuk salah satu mesjid tertua yang dibina di Melaka.
Dari Mesjid ini kami berjalan kaki ke makam Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani, pengawal agama tertinggi tertinggi di Aceh semasa Sultan Iskandar Muda memerintah Aceh empat ratus tahun lalu. Beliau ikut berangkat dengan armada Aceh membantu kesultanan Melaka melawan Portugis di Selat Malaka, hingga wafat dan dimakamkan di Kampung Hulu, Melaka.
Biasanya, wisatawan yang pergi ke Melaka tidak akan lupa berkunjung A Famosa, sebuah benteng terkenal Portugis saat masih menduduki Melaka, juga bukit Melaka yang lebih dikenal dengan nama gereja St.Paul. Tapi karena punya rencana mengunjungi tempat yang lebih penting, akhirnya kami mengambil keputusan tidak singgah di A Famosa dan tempat lainnya. Dari dalam mobil, kami hanya melihat tempat tadi dipenuhi wisatawan asing.Kami perlu bergegas ke Bukit Cina lalu mendaki ke satu puncaknya. Disini terdapat makam Panglima Pidie dari Aceh. Sangat takjub berziarah ke makam seorang panglima yang berasal dari tempat asal kami, ternyata dibaringkan di negeri nun jauh, Melaka. Puaslah hati kami karena sudah terpenuhi hajat berkunjung kedua makam tokoh besar Aceh yang dikuburkan di Melaka.
Dua tokoh ini berangkat dari Aceh pada tahun 1512 Masehi bersama ratusan armada kapal perang. Mengusir Portugis dari Selat Melaka, merupakan tujuan utama keberangkatan dua tokoh ini, sehingga keduanya wafat dan dikuburkan di Melaka. Setelah memanjatkan doa di makam Panglima Pidie, kami turun melalui pekuburan warga Tionghoa yang terdapat disekitar lereng bukit,kemudian melanjutkan perjalanan. Tanpa punya rencana ingin kembali menziarahi A Famosa atau Bukit Melaka, Bang Razi justru membawa kami ke tempat yang jauh di Kampung Duyung. Disini terdapat sebuah tempat yang asri, dinamakan Perkampungan Hang Tuah (Hang Tuah Center).
Di Perkampungan Hang Tuah ini terdapat rumah-rumah tradisional yang terdiri atas satu rumah induk, dan beberapa rumah yang tersebar di area tersebut. Disini juga terdapat satu gelanggang tempat latihan pencak silat dan pacuan kuda. Dua olahraga yang merupakan keahlian yang dimiliki oleh seorang Hang Tuah. Rumah kecil yang tersebar dari satu rumah induk berjumlah lima rumah.Ini merujuk pada lima pahlawan terkenal yang bersahabat. Hang Tuah, Hang Kesturi, Hang Lekiu, Hang Jebat, dan Hang Lekir. Berangkat dari semua cerita tersebut, sebenarnya kisah Hang Tuah masih menjadi sebuah kontroversi, apakah hanya sebatas cerita, atau merupakan sejarah nyata.
Keterikatan batin kembali terjadi ditempat ini, kami diterima dengan ramah oleh para penjaga Hang Tuah Center. Padahal Perkampungan tersebut sudah tutup untuk wisatawan, karena waktu telah menunujukkan pukul 17.00 waktu setempat, tapi kami diizinkan masuk untuk melihat beranda rumah dan menikmati semilir angin yang berhembus ke Perkampungan tersebut. Waktu semakin gelap, sebelum kami berangkat ke satu tujuan akhir di Melaka, yaitu komplek makam Dato’ Arom, kami sempat membeli souvenir khas Melaka di Kampong Duyung. Kemudian Bang Razi memberi isyarat untuk bergegas agar tidak terlalu malam tiba di Kuala Lumpur.
if you follow me then i will follow you....... thanks
Ok, done...thank you
Thank you for the good post..
you are welcome
Ajak saya bg
hayuuuuk
Malaka sama Aceh kalau g salah punya kekerabatan yg kuat dr segi perdagangannya
Bahkan ada hubungan diplomasi yang kuat kan.. Keluarga Dato' Arom di Melaka memesan batu Nisan Aceh dari Aceh, yang di angkut menggunakan kapal, kata bang Razie, kami orang Aceh pertama yang mengunjungi makam keluarga Dato' Arom. Bagaimana? Tour Pocket berencana buat paket wisata sejarah ke Melaka? saya bisa bantu