Pantai Manohara yang Masih Lupa Bersolek

in #travel4 years ago (edited)

Pantai di bibir kuala Meureudu itu sebenarnya bernama Pantai Meurah Setia, tapi sering disebut sebagai Pantai Manohara, nama mantan istri putra mahkota Kerajaan Klantan, Malaysia. Pantai indah objek wisata bahari di Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh.

Pantai indah itu membentang antara muara Kuala Meureudu di bagian timur dan Kuala Beuracan di bagian barat. Masa-masa kecil kami sering menjaring ikan dan tarik pukat di sana. Di sana pula kami sering berenang, kami anak-anak kampungku sering membantu dorong boat nelayan yang kandas di sisi kuala yang dangkal. Imbalannya, beberapa ekor ikan segar untuk dibawa pulang.

Kini, aku kembali lagi ke sini, pantainya masih seperti dulu, cuma pohon cemara yang berjejer sepanjang pantai sudah lebih tua, lebih rindang dari dulunya. Pohon-pohon pandan berduri juga tidak ada lagi, sudah berganti dengan balai-balai milik pengelola café yang berjejer di atas pasir.

Meski aku lebih suka menyebutnya Pantai Meurah Setia, tapi biarlah kini aku kembali memanggilnya “Manohara”. Ya, Manohara Adelia Pinot yang cantik itu, mantan istri putra mahkota Kerajaan Klantan, Malaysia, Tengku Muhammad Fakhry Petra.

Pantai Manohara_Foursquare.jpg
Pantai Meurah Setia Kuala Meureudu dikenal sebagai Pantai Manohara sumber

Kawanku bertanya, apa hubungannya model cantik itu dengan Pantai Meurah Setia. Ingatanku kemudian kembali ke beberapa tahun ke belakang. Mencari asbab nama Manohara di sana. Di sudut ingatan akhirnya kutemukan juga jawabannya. “Ini karena infotainment.”

Ya, dulu ketika pantai itu masih alami, karena ramainya orang berkunjung ke sana, seorang warga berinisitaif membuka sebuah café. Dan, saat itu kasus perceraian Manohara dengan sang putra mahkota sedang heboh di media. Maka café itu pun dinamai Manohara.

Aku masih ingat, ketika kawan-kawan ingin bermain ke sana, mereka menyebutnya “Pergi ke Manohara” sampai sekarang pantai itu disebut Manohara, meski nama resminya dari Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya adalah Pantai Meurah Setia, nama yang diambil dari nama balai Kecamatan Meureudu, “Balee Mideun Meurah Setia”.

Di Pantai Meurah Setia ini di sebelah timur jalan masuk, sebuah mushala dibangun oleh Dinas Perhubungan Kebudayaan Pariwisata Komunikasi dan Informatika Pidie Jaya pada masa dinas itu dipimpin oleh almarhum Rizal Mahfuz. “Kita bangun dua mushala untuk pengunjung, satu di sini, satu lagi di komplek makam Tgk Abdullah Syafii,” kata Rizal Mahfuz kepada saya ketika kami melakukan survey penulisan buku “Potret Objek Wisata Pidie Jaya.”

Lebih jauh ke timur dari mushala itu, kita akan menemukan Krueng Meureudu yang kedua sisinya sudah dipasangi break water susunan batu pemecah ombak yang menjorok ratusan meter ke laut. Puluhan orang setiap hari memancing ikan di sana.

Kembali ke Manohara, ketika Pidie Jaya dihembalang lindu, Rabu pagi, 7 Desember 2016, Manohara sempat tersudut menjadi terdakwa. Ia menjadi tertuduh bahwa gempa bekekuatan 6,5 Skala Richter (SR) yang menewaskan 102 jiwa itu, terjadi akibat maraknya praktek mesum di objek wisata itu. Akhirnya objek wisata pantai itu ditutup warga setempat.

Namun, café-café yang berjejer di pantai itu tetap berdiri. Ketika duka akibat musibah maha dahsyat itu pulih, Pantai Meurah Setia kembali dibuka, dan nama Manohara masih saja melekat padanya.

Di pantai itu pula, pada 4 Januari 2017 lalu, sebuah puisi kutulis atas permintaan rekan sastrawan nusantara untuk antologi “6,5 SR Luka Pidie Jaya” Aku menolak pantai itu disebut Manohara dalam puisi “Bukan Manohara.”

Kau sebut namanya Manohara, bukan, itu hanya pasir tempat kami berpeluh, usai berlabuh menambat asa.

Kau tetap sebut namanya Manohara, bukan dan bukan, itu hanya pantai tempat kami bergaduh, dalam gelak tawa menjemput senja.

Lalu mereka juga sebut Manohara, bukan dan tetap bukan, itu tempat dara jelita memadu rasa, dalam asmara usai subuh di meunasah bulan puasa.

Aku tersentak, mereka masih sebut Manohara, itu kuala telah berganti masa, remaja bergandengan bermesum ria, di bilik-bilik terbuka atap rumbia.

Lalu lindu menerpa, tak tanggung 102 jiwa fana, dan di gerbang jalan ke sana kubaca, Manohara ditutup untuk selamanya.

Manohara memang tak ditutup untuk selamanya, Pantai Meurah Setia tetap harus dibuka, ada denyut nadi ekonomi yang terpacu di sana. Hanya saja kearifan lokal perlu dijaga, agar alam tidak lagi murka. Tapi, Manohara harus bersolek kembali, agar pesonanya kembali memikat orang-orang yang ingin meudiwana ke sana.[**]