Ketika pariwisata sedang digalakkan dan menjadi salah satu destinasi andalan setiap daerah, maka setiap daerah perlu memikirkan strategi apa yang jitu agar pariwisata daerahnya beda dari yang lain. Adalah Langsa, salah satu pemerintahan kota di bagian timur Provinsi Aceh yang telah berhasil menggali sisi unik tersebut.
Kehadiran hutan manggrove yang berdekatan dengan pelabuhan telah menjadi salah satu destinasi wisata lokal yang menarik minat masyarakat. Tempat ini, bagi kawula muda termasuk hits. Betapa tidak, hutan mangrove menjanjikan tempat berfoto yang aduhai.
Minggu (11/2/2018) sepulang dari Aceh Tamiang saya mampir di kawasan tersebut. Bagi saya, hutan mangrove Langsa terbilang cantik dengan sarana dan prasarana yang mendukung. Seperti, tong sampah, mushalla, toilet, juga menajemen tiket serta beberapa petugas pemandu yang siap siaga.
Sebagai catatan, sepanjang jalan setapak baik yang terbuat dari kayu ataupun semen yang tampak bersih, masih juga ada satu dua sampah. Hal ini tidak terlepas dari pada kesadaran para pengunjung yang terbilang minim akan kebersihan. Tentu, kasus seperti ini sudah jamak terjadi di berbagai tempat wisata. Hanya saja, jika dibandingkan dengan tempat wisata lain, hutan mangrove Langsa boleh dibilang sudah bersih.
Selain pemandangan mangrove sepanjang mata memandang, ada edukasi di dalamnya. Sebagai contoh, untuk beberapa jenis pohon, diberikan papan nama pohon dengan tiga bahasa; Latin, Indonesia, dan Aceh.
Pun demikian, Langsa yang terdengar ketat dengan Syariat Islam-nya, juga berlaku di sana. Tetapi anda tidak perlu phobia, di sana, hanya dituliskan pamplet berupa peringatan.
Oya, keunikan lain dari hutan mangrove Langsa ialah pada penghuninya. Ada banyak monyet yang bertengger di pohon mangrove, pengunjung bebas bercengkrama dengan monyet. Namun, perlu kehati-hatian, jangan sampai membuat para monyet panik, bisa-bisa Anda dikejar. Beberapa kasus, ada yang silap dan tasnya dibawa lari monyet. Sedangkan di bawah, kita akan melihat ikan-ikan yang muncul ke permukaan.
Bagi saya, hutan mangrove merupakan role model yang dapat dijadikan pemantik untuk mengeksekusi ide pariwisata lainnya bagi daerah lain pula. Sebab, selama ini, wajah pariwisata kita relatif monoton, kalau bukan pantai ya gunung. Modelnya pun begitu-begitu saja, di gunung yang penting banyak payungnya, di laut yang penting ada tulisan atau both untuk berfoto.
Harusnya, para stakeholder meramu strategi pariwisata yang lebih cerdas. Memiliki nilai edukasi, estetis, dengan tata kelola modern. Hanya dengan itu, wisata sebuah daerah akan tumbuh. Wisata untuk era kontemporer tidak lagi bertumpu pada hal-hal mainstream semata.
Sore tadi saya pun kembali, dari raut wajah para pengunjung saya mendapati senyum kasmaran pasangan muda. Kehangatan keluarga besar. Tatapan kosong seorang tuna asmara (jomblo). Hingga monyet-monyet yang terlalu gaul, tak makan pisang, tapi mamam es krim. Kesemua itu adalah wajah realis dari pada muka pariwisata lokal kita.
Hutan bakau menawarkan keindahan alam tersendiri, wisata tak mesti mahal hutan bakau menjadi pilihan menarik untuk melepas penat