Jarum jam tangan saya menunjukkan pukul 03.45 Waktu Indonesia Barat (WIB),
Kami sudah menempuh perjalanan lebih 17 jam dari Banda Aceh menuju Desa Agusen, Kabupaten Gayo Lues. Provinsi Aceh. Di depan kami terdapat galian badan jalan berair bagaikan saluran yang bekum selesai.
Kami mencoba memastikan bahwa jalan yang kami pilih tidak salah. Beberapa teman turun dari mengamati jejak ban mobil untuk memastikan jalur ini sudah benar.
“Apa mungkin ini Bang. Kenapa ada saluran,” tanya Munjier-reporter RRI Stasion Banda Aceh yang berada di belakang stir.
Tanpa sempat menjawab, Munjier pun menyela.
“Tapi ada ban mobil dan beberapa mobil terlihat parkir di depan sebuah bangunan,” kata Munjier meyakinkan.
Sambil sempat memutar arah mobil dan mencari jejak lain. Saya mencoba membuka aplikasi WhatsApp untuk memastikan titik lokasi yang dikirim Mbak Berni saat dalam perjalanan dari Banda Aceh.
“Nah, ini ada tenda biru dan tulisan Jalan Budi Waseso, tapi kita tidak ketemu, gimana?”
“Tapi kita sudah benar masuk gerbang Desa Agusen,” timpal Munjier lagi membela diri.
Di antara temaram cahaya sesaat kami tiba di posko Field Trip. Beberapa mobil terparkir berjejer menghadap kantor kepala desa atau keuchiek- di kawasan Gayo Lues disebut Pengulu.
Kami menuju ke tempat parkir di depan kantor pengulu. Mobil kami mengambil posisi sebelah kanan kantor di antara halaman samping kantor penghulu. Dari kegelapan terdengar suara air yang menurut kami pasti ada sungai. Memang, beberapa meter terdapat titi gantung yang lebarnya sekitar satu meter.
Jam sudah menunjukkan pukul 04.00 pagi waktu setempat, Kami pun tak ingin berlama di luar mobil, hanya sesaat tanpa memeriksa kondisi sekitar. Namun antara Afrizal, kontributor Inews TV, saya dan Munjier masih ragu posisi yang kami tuju. Selain tanpa menemukan gambar petunjuk dari panitia, juga tidak ada tulisan kantor kepala desa.
“Mungkin di sini, kantor geusyiek disebut pengulu,” Munjier mencoba menyimpulkan.
Setelah dia sesaat, kami pun mencoba keluar dari depan kantor penghulu dengan maksud mencari tempat yang menurut kami belum benar. Setelah keluar kembali ke arah jalan Gayo Lues, Kutacane, saya mencoba membuka aplkasi Whats App dan mencari sesuatu petunjuk arah. Saya pun mendapatkan kiriman nomor kontak bernama Jaboi.
Saya segan menelpon karena sudah jam 4 pagi. Tapi dua teman lainnya berusaha meyakinkan jika kondisi saat ini memungkinkan Jaboi ditelpon.
“Telpon aja, kan ini darurat, Panitia sudah siap dengan risiko apa pun, saran Munjier.
Saya pun mengontak Jaboi sambil memberitahukan posisi saat ini. Segan juga rasanya menerlpon orang yang menurut kami sedang nyenyak karena kondisi cuaca sangat dingin.
“ Halo, mohon maaf. Ini Bang Jaboi ya, kami udah putar-putar, Cari kantor keuchiek tidak ketemu,” kata saya.
“Kami sudah di depan kantor pengulu, dan sudah parkir mobil,” saya memastikan.
‘Ya bang, sudah benar tadi,” ujar Jaboi.
Kami pun langsung balik lagi ke tempat awal. Tak lama beberapa penghuni kantor pengulu keluar termasuk Kang Een dari rekam.or.id-fasilitator field trip Agusen.
“Masuk aja Bang, dingin di luar, “ ujar Jaboi sambil membuka daun pintu.
Memang, suhu udara di luar ruangan menunjukkan pada angka 17 derajat celcius, cukup dingin untuk ukuran kita dari daerah pesisir.
“Ya, terimakasih, mohon maaf ya sudah mengganggu tidurnya, kata kami berbasa-basi.
“Kami tunggu sampai jam 1 malam tadi, tidak ada kabar,” timpal Jaboi dan diamini Khairul Wahab-anggota penghuni kantor pengulu yang langsung menyapa saya.
Kami sempat dihidangkan segelas air putih hangat untuk melawan hawa dingin. Afrizal dan Munjier langsung mengambil posisi dalam kamar untuk istirahat. Saya mencoba mengakali untuk tidur dalam mobil karena beberapa penghuni merokok dan bercampur bau obat anti nyamuk.
Sebenarnya, kami mendapat jatah menginap di rumah warga. Karena datangnya sudah dini hari, sangat tidak mungkin menuju ke sana. Kami pun transit sebentar di kantor pengulu.
Saya pun mengambil posisi di luar kantor untuk menghindari asap rokok dan kepulan obat bakar anti nyamuk. Rasa berat berada di luar yang berhawa dingin, tapi apa daya untuk menyelamatkan sesak asap.
Hanya beberapa saat berada di dalam mobil, saya kembali masuk kantor pengulu karena tidak bisa tidur. Apalagi beberapa saat waktu subuh tiba. Takut ketiduran dan waktu salat subuh buyar.
Benar saja. Entah karena lelah, saya tertidur dan harus kesiangan salat subuh. Perasaan bersalah tentunya, Tapi, saya harus tetap salat dengan menuju sungai untuk berwudhuk yang tak jauh dari kantor pengulu.
Sekitar pukul 7. 30 pagi, kami diarahkan ke rumah warga sebagao tempat menginap selama berada di wilayah Agusen. Satu jam kemudian kami harus kembali ke posko untuk pengarahan. Maksud mandi urung jadinya karena suhu dingin. Kami hanya sikat gigi dan minum alakadar kemudian langsung kembali ke posko.
Tak mesti menunggu lama, beberapa peserta mulai berkumpul di depan posko. Ada yang baru menyeberangi jembatan gantung, ada yang diantar dengan kendaraan warga.
Kang Een dan Mbak Berni serta beberapa staf mencoba mengumpulkan peserta untuk rundown kegiatan pada Sabtu pagi. Kami pun diperkenalka perangkat Desa Agusen yang kali ini menjadi tujuan Field Trip kami. Tujuanya adalah mempromosikan desa yang pernah mendapat stigma penghasil ganja tersohor di Kabupaten Gayo Lues.
Nah, hari Sabtu (4/05/2018), ekpedisi tracking hot spot wisata Desa Agusen dimulai. Program Field Trip Jurnalis, dan Aceh Film Documenter dan Blogger Lingkungan akan mempromosikan Agusen.
thank you to @arie.steem for your keep vote my account @toshare
Congratulations You Got Upvote
& Your Content Also Will Got Curation From
@sevenfingers @steemph.antipolo @arabsteem
thank you @sevenfingers