The tsunami that swept the capital city of Aceh on December 26, 2004 was a disastrous catastrophe. This disaster killed more than 160,000 people throughout Aceh Province, including key government and academic people, and destroyed road, bridge, home, industrial, office and other legacy infrastructures. The magnitude of the scale of the disaster is completely beyond reason to make them aghast and embarrassed for the prolonged minor conflict. Both the central government in Aceh and pro-independence activist groups in a single day lost thousands of members and supporters, far more than the deaths caused by their enemies during the decades-long conflict.
The big prison of Banda Aceh is one of the buildings that was ravaged by the giant waves that hit the city that morning. Many of the hundreds of imprisoned inmates are the elite GAM (Free Aceh Movement) who was seven months previously a member of a peace negotiator and was ambushed as a criminal once Jakarta launched a military operation. One of the few residents who managed to save themselves by climbing to the roof of the prison was Irwandi Yusuf, who managed to escape to Malaysia in a chaotic post-tsunami environment, and then took part in the negotiations for Acehnese peace that began only a month after the tsunami. In February 2007 he became the first directly elected Governor of Aceh, with the responsibility of implementing the contents of the Helsinki peace agreement signed in August 2005, including the wide-ranging autonomous government of a province we now know as Nanggroe Aceh Darussalam (Acehnese state of peace).
The rebirth of Aceh is a very long journey. More warfare than a peaceful atmosphere swept through the country since the Dutch, with British backing that had previously become Aceh's companions, launched an attack on this sultanate in 1873. The prolonged conflict with Jakarta also had a devastating impact on the study of Aceh's past. Such a spirit of independence and foreign resistance attached to the people of Aceh was blurred by the propaganda of each side during the conflict. Serious attempts at research have become impossible due to conditions of war and prohibitions for foreign researchers, especially since 1989. The 2004 tsunami brought a new crisis in the region, swept through the Documentation Center of Aceh, damaged books and manuscripts, and killed many of the great historians and intellectuals owned by Aceh.
Bahasa Indonesia
Tsunami yang menyapu ibukota Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 merupakan malapetaka yang tiada duanya. Bencana ini menewaskan lebih dari 160,000 orang di seluruh Provinsi Aceh, termasuk orang-orang penting di bidang pemerintahan dan akademis, dan menghancurkan infrastruktur jalan, jembatan, rumah, industri, perkantoran dan peninggalan panting lainnya. Besarnya skala bencana benar-benar di luar nalar hingga membuat mereka terperanjat dan jengah akan konflik kecil yang berkepanjangan. Baik orang-orang pemerintahan pusat di Aceh dan kelompok aktivis prokemerdekaan dalam satu hari sama-sama kehilangan ribuan anggota dan pendukung, jauh lebih banyak dari kematian yang diakibatkan oleh musuh mereka selama konflik beberapa dekade.
Penjara besar Banda Aceh merupakan salah satu bangunan yang diporak-porandakan Oleh ombak raksasa yang menghantam kota pagi itu. Banyak di antara ratusan penghuni penjara yang tewas adalah kelompok elite GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang tujuh bulan sebelumnya merupakan anggota juru runding perdamaian dan disergap sebagai penjahat begitu Jakarta melancarkan operasi militer. Salah satu dari sedikit penghuni yang berhasil menyelamatkan diri dengan cara memanjat ke atap penjara adalah Irwandi Yusuf, yang berhasil melarikan diri ke Malaysia dalam suasana kacau pascatsunami, dan kemudian ikut ambil bagian dalam negosiasi untuk perdamaian abadj Aceh yang dimulai hanya sebulan setelah tsunami. Pada Februari 2007 ia menjadi Gubernur Aceh pertama yang dipilih secara langsung, dengan tanggung jawab menjalankan isi perjanjian damai Helsinki yang ditandatangani pada Agustus 2005, mencakup pemerintahan otonomi luas sebuah provinsi yang kita kenal sekarang sebagai Nanggroe Aceh Darussalam (negeri Aceh bumi damai).
Kelahiran kembali Aceh merupakan perjalanan yang sangat panjang. Lebih banyak peperangan daripada suasana damai melanda negeri inj semenjak Belanda, dengan dukungan Inggris yang sebelumnya menjadj sahabat Aceh, melancarkan serangan ke kesultanan ini pada tahun 1873. Konflik berkepanjangan dengan Jakarta juga membawa dampak buruk dalam usaha mempelajari masa lalu Aceh. Semangat kernerdekaan dan antikekuatan asing yang demikian melekat pada masyarakat Aceh menjadi kabur oleh propaganda masing-masing pihak selama konflik. Usaha serius untuk melakukan riset menjadi tidak mungkin karena kondisi perang dan larangan bagi peneliti asing, khususnya sejak tahun 1989. Bencana tsunami 2004 membawa krisis barn di daerah ini, menyapu Pusat Dokumentasi Aceh, merusak buku dan manuskrip, dan menewaskan banyak sejarawan dan cendekiawan hebat yang dimiliki oleh Aceh.
Sneaky Ninja Attack! You have just been defended with a 1.82% upvote!
I was summoned by @milacollis. I have done their bidding and now I will vanish...
woosh
A portion of the proceeds from your bid was used in support of youarehope and tarc.
Abuse Policy
Rules
How to use Sneaky Ninja
How it works
Victim of grumpycat?