Ever wonder how people in rural areas in Aceh live their life? Please allow me to show you through photos that I took in several places in Aceh. But do not expect something fancy as life in these very places are plain, humble, and simple. However, simplicity does not prevent the people from being grateful. They are just content.
Pernah bertanya-tanya bagaimana kehidupan di daerah pedesaan di Aceh? Ijinkan saya untuk menunjukkan lewat foto-foto yang saya ambil dari berbagai tempat di Aceh. Tapi jangan berharap ada sesuatu yang mewah karena kehidupan di daerah ini apa adanya, bersahaja, dan sederhana. Meski demikian, kesederhanaan tidak menghalangi penduduk desa untuk bersyukur. Mereka sudah merasa cukup.
Going into rural areas, we will see simple public facilities which are made from natural and local materials. Look at this bridge. It’s simple, yet looks strong and hmm...a little bit artistic in my opinion. But what’s most important is this brigde functions very well.
Memasuki daerah pedesaan, kita akan menjumpai berbagai macam prasarana umum yang sederhana, bahkan seringkali dibuat dengan menggunakan material alam yang diambil dari daerah setempat. Lihatlah jembatan ini. Sederhana, namun tampak kokoh dan hmm...artistik menurut saya. Dan yang paling penting, jembatan ini menjalankan fungsinya dengan baik.
Another public facility which is also humble is called ‘meunasah’. It is sort of a building where people have meetings to talk about issues in the village. The one you see in this very photo is also very simple, made of wood with sago palm leaves as the roof.
Sarana umum lain yang juga tak kalah sederhana adalah ‘meunasah’. Bangunan ini merupakan sejenis balai pertemuan untuk mengadakan rapat atau pertemuan warga desa. Meunasah yang satu ini juga sangat sederhana, terbuat dari kayu dengan atap daun rumbia.
In many villages, especially those which are far away from city centers, we can easily find ‘high’ houses which are simple and plain. No paint or any decorative ornaments such as carvings.
Di banyak daerah pedesaan, terutama yang jauh dari pusat-pusat kota, kita masih mudah menjumpai rumah-rumah panggung yang dibuat dari papan kayu. Bentuknya sederhana dan polos, tidak ada cat maupun aneka dekorasi berupa ukiran-ukiran.
Around the house, trees and plants thrive very well. They are mostly used for daily life. One tree that we can easily spot is coconuts. Other fruits also live well such as rambutans, rose apples, durians, areca nuts, etc, I was once surprised to find pepper trees grow well in one of the villager’s yard! It was my first time seeing the pepper tree.
Rumah dikelilingi aneka tumbuhan dan pepohonan yang buahnya berguna untuk kehidupan sehari-hari. Pohon yang paling sering kita jumpai adalah kelapa. Buah-buahan juga tumbuh dengan subur. Sebut saja rambutan, jambu, langsat, durian, pinang, dsb. Bahkan saya pernah terkejut menjumpai tanaman lada tumbuh subur di pekarangan rumah seorang penduduk! Itu adalah pertama kali saya melihat pohon lada secara langsung.
Let’s Talk About Coconuts
About coconuts, I’d like to show you some unique stuff about them, First, Acehnese use a particular tool to peel the coconuts. The tool is a metal bar in which one end is pointy and sharp. The other end is being planted in the ground. This device is very helpful when peeling coconuts in a large quantity and it is more efficient compared to using chopping knife like in Java.
Menyinggung masalah kelapa, saya ingin menunjukkan keunikan-keunikan yang terkait dengan kelapa ini. Pertama, orang Aceh mengupas kelapa menggunakan alat serupa linggis yang ditancapkan di tanah. Untuk mengupas kelapa dalam jumlah banyak, alat ini bisa mempercepat kerja dibandingkan dengan mengupasnya menggunakan parang seperti yang biasa kita jumpai di Jawa.
By the way, do you know what fruits are being dried next to the coconuts in this photo? If you don’t know, they are areca nuts. This fruit is usually chewed with betel leaves and it causes a warming sensation in the body and a little alertness. Areca nut trees are easily grow in the house yards and turn out to be one of the Acehnese promising commodities.
By the way, apa teman-teman tahu buah apa yang dijemur di sebelah kelapa ini? Ya, inilah yang bernama buah pinang. Buah ini biasanya dikunyah bersama daun sirih menyebabkan sensasi rasa hangat di badan dan menjadi lebih waspada. Ternyata pohon pinang tumbuh dengan mudahnya di pekarangan-pekarangan rumah dan menjadi komoditi yang menjanjikan.
Back to the coconuts. For grating, Acehnese build a special tool, it is a machine which is run by the electricity. The machine can grate coconuts in large quantities in a short period of time. It is fast and efficient, but only skilled people are able to operate it. Otherwise, we will not grate the coconuts, but our own fingers. Ouuuch!
Kembali ke masalah kelapa. Untuk memarut kelapa, masyarakat Aceh tidak menggunakan parutan. Mereka memiliki mesin yang dirancang khusus yang dijalankan menggunakan listrik. ‘Kukur kelapa’ (demikian sebutan nama alat ini) ini mampu memarut kelapa dengan cepat dan efisien. Tapi hanya yang terlatih saja yang dapat mengoperasikannya. Jika tidak, takutnya bukan kelapa yang diparut, tapi jari-jari yang terparut. Ngeri!
With many constraints, villagers often make innovations. Take a look at this woman who uses a custom-made coconut grating machine. It does not use electricity, rather, it is run manually by stepping on the wood under the machine. This stroke causes the engine to spin. How creative!
Dalam kehidupan yang terbatas, penduduk desa sering melakukan inovasi. Lihatlah ibu ini yang menggunakan mesin pengukur kelapa rancangan sendiri dengan cara kerja yang unik. Mesin tidak dijalankan menggunakan listrik, melainkan dijalankan secara manual dengan menginjak kayu di bawah alat pengukur. Injakan ini menyebabkan mesin dapat berputar. Kreatif sekali ya?
For those who do not have guts to use the machine like me, there is another manual tool like this. But using this tool also needs a lot of practice. When I learned to use this tool for the first time, it really took me a while to grate because I was exhausted quickly. But for those who are skilled, they can grate the coconuts very quickly.
Bagi yang tidak berani menggunakan mesin seperti saya, masih ada alat manual lain seperti ini. Tapi menggunakan alat ini juga perlu banyak latihan. Saat baru belajar menggunakan alat ini, saya perlu waktu yang sangat lama untuk memarut kelapa karena cepat lelah dan membuat tenaga saya terkuras. Tapi bagi yang sudah lihai, tentu bisa memarut dengan sangat cepat.
Never Leave Out the Bilimbis
There is one more tree that we can easily find in the yards of rural houses, the bilimbis. This is of course because the fact that Acehnese daily cuisine requires bilimbis as one of the main ingredients.
Ada satu tanaman lagi yang dapat kita temukan dengan sangat mudah di rumah-rumah penduduk pedesaan, yaitu pohon belimbing. Hal ini tentu erat kaitannya dengan kenyataan bahwa umumnya masakan Aceh sehari-hari memerlukan belimbing sebagai salah satu bumbu utamanya.
But bilimbis are usually not used as fresh fruits, rather they are preserved using salt and then dried in the sun until they dries. The end result is called asam sunti. So it is a common view to see people dry bilimbis in the front yard of the house.
Tapi belimbing ini biasanya tidak digunakan dalam bentuk buah segar, tapi terlebih dulu diawetkan menggunakan garam dan dijemur di bawah matahari sampai agak mengering. Hasil akhirnya disebut ‘asam sunti’. Maka tidak heran jika kita menjumpai banyak orang di pedesaan sedang menjemur belimbing di halaman rumahnya.
Roaming Free Cattle
One of unique things we will encounter in Aceh rural areas is that cattles such as cows, buffalos, goats are roaming free. They can go to the barren paddy field, to the river, even to the streets. Sometimes you will see a bunch of them sitting peacefully in the middle of an intersection!
Salah satu hal unik yang dapat kita lihat di daerah pedesaan Aceh adalah bahwa hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing umumnya tidak dikurung dalam kandang melainkan dibiarkan berkelana bebas. Mereka bisa leluasa berjalan ke sawah, ke sungai, bahkan jalanan. Tak jarang mereka duduk bergerombol di tengah jalan dengan santainya.
You might wonder if it is safe to let the cattle wander around. Well, in overall, it is safe, no one will harm them. Once in a while, theft does occur, but in a very small number. Remember, bad people are everywhere, including in Aceh, a province which imposes syari’a law.
Kita pasti bertanya-tanya apakah aman ternak dibiarkan seperti itu. Secara keseluruhan, boleh dikatakan aman dalam artian tidak ada yang mengganggu. Memang kasus pencurian ternak juga ada, tapi sangat kecil jumlahnya. Ingat, bahwa orang jahat itu ada di mana-mana, termasuk di Aceh yang dikenal sebagai daerah yang memperlakukan syariat Islam.
Humble Wells
There is no running water in rural places. Instead, villagers use wells for the need of water. The shape of the well is quite humble, mostly like this.
Tidak ada air PDAM di daerah pedesaan. Jadi penduduk desa menggunakan sumur untuk memenuhi kebutuhan air. Bentuk sumurpun cukup sederhana, kebanyakan seperti ini.
To take the water, we only need a small pail and a rope like this. Be careful when doing it, otherwise you will be falling into the well.
Untuk mengambilnya, kita hanya perlu timba kecil dan seutas tali seperti ini. Hati-hati saat mengambil air, jangan sampai terjerumus masuk ke dalam sumur!
The Most Epic Scene!
Out of many things I’ve seen in rural areas in Aceh, I think the scene in the following photos is the most epic ones! The villagers work together to move the house. Yes, move literally by lifting a house building!
Dari berbagai hal yang saya jumpai di daerah pedesaan di Aceh, adegan di foto ini adalah yang menurut saya paling epik. Betapa tidak, penduduk desa bergotong-royong memindahkan rumah. Ya, memindahkan secara harfiah dengan cara mengangkat bangunan rumah beramai-ramai!
Of course it was not a masonry house, but a wooden one. To move the house, several long bamboo poles were inserted inside the house. People were being inside and outside of the house and began to lift it up together.
Tentu saja bukan rumah beton yang diangkat, tapi rumah kayu. Cara mengangkatnya adalah dengan memasukkan beberapa bambu menembus kedua sisi lalu orang-orang berada di dalam dan di luar rumah dan mengangkatnya secara bersama-sama.
It was such an amazing view because it depicts a creativity and a solid cooperation among the villagers, a value which begins to fade away in modern communities.
Sungguh pemandangan yang luar biasa karena menggambarkan suatu kreatifitas dan kerja sama yang solid di antara sesama penduduk desa, sebuah nilai yang sudah mulai hilang di kehidupan masyarakat yang lebih modern.
And don’t forget, while visiting the village, we will see cute, friedly yet timid faces. Children like them live carefree even though they are far from big cities dan fancies.
Dan jangan lupa, mengunjungi daerah pedesaan, kita akan berjumpa dengan wajah-wajah mungil yang lugu, ramah, tapi sedikit malu-malu. Anak-anak seperti mereka selalu ceria meski hidup jauh dari gemerlap kota dan kemewahan.
lihat foto ini, aku rindu kampung halaman.
Woe.. Woe.. Woe.. Pulanglah.. ada rindu yang tak pernah padam nun jauh di kampung halaman.
pulanglah, sawoe gampong sigoe goe :D, @only.home
Segera pulang dalam waktu dekat.. terima kasih telah mengingatkan.. hehe
Top, kak!
Well, mengenai narasi kerbau, ada dua hal yang senantiasa melekat; bajak sawah dan bajak tanah untuk dijadikan batu bata. Tapi, sekarang ini kayaknya udah gak lagi deh.
Btw, kakak asli mana?
kerbau jaman now udah ngga kerja berat lagi hahaha, udah diganti sama mesin semua. Sy dari Jawa Timur Ichsan..
Oh iya kak. Kapan-kapan kita ke sana. Hehe
siip deh
Ada banyak daerah pedalaman Aceh yang unik dan masih natural. Daerah yang cukup pantas dijadikan tempat untuk menikmati hari tua. Saya sudah melihatnya beberapa di antaranya dari dekat. Misalnya Gampong Salah Sirong di Bireuen. Pada tahun 2013 daerah tersebut termasuk salah satu kampung unik karena hampi seluruh perangkat desanya perempuan. Teman saya dari Universitas Al muslim pernah buat proposal film dokumenter untuk mengikuti festival di Aceh Documentary Competition mengangkat tema itu pada 2013. Dan itu keren.. Begitulah sekedera berbagi informasi Kak @horazwiwik.. 😁
iya, pastinya @samymubarraq. Aceh kan luas, tiap daerah punya keunikan sendiri2. Wah itu keren banget desa di Biereuen itu. Wanita2 tangguh....
Asli Kak @horazwiwik.. Perempuan keren.. :)
Woww... terima kasih untuk tulisan panjang dan photo2 bagus ini Mbak.. membuat aku makin cinta asam sunti.. hahahhaha
Sama2 kak @rayfa. Saya menulis apa yg pernah saya lihat dan menurut saya itu bagus dan unik. Asam sunti, Acehnese cannot live without it hahaha
Wow, that's my appearance in one of the pictures. such a historical picture with MSF staffs.
biar abadi memori ini, tersimpan di blockchain :D