Akhir Mei di tahun 2003. Di lantai dua kantor redaksi Tabloid Gema Baiturrahman, aku mengetik sesuatu di komputer redaksi media terbitan Masjid Raya Baiturrahman itu hingga larut malam. Beberapa kru redaksi media ini sudah terlelap di atas karpet hijau, karena sangat lelah. Di antara mereka yang masih kuingat adalah Irwandi Zakaria dan Mukhlisuddin Ilyas. Mereka baru saja melewati deadline, batas waktu penyerahan naskah, yang begitu menyiksa kerja otak.
Aku terus saja mengetik, paragraf demi paragraf, hingga menjadi sebuah tulisan yang siap terbit. Sebelum komputer aku matikan, tulisan yang sudah kubaca beberapa kali di layar itu, aku cetak sebanyak dua eksemplar. Panjang tulisannya cuma 4 halaman HVS. Satu eksemplar aku lipat rapi dan kumasukkan dalam amplop putih, yang juga sudah tersedia di meja redaksi. Sementara satu eksemplar lagi aku taruh di atas meja.
Sebelum keluar dari kantor yang berada di sebelah barat Masjid Raya itu, satu persatu peralatan kerja itu kumatikan. Printer, komputer, lalu lampu kamar. Aku bergegas ke kantor Ikatan Siswa Kader Dakwah (ISKADA) di sebelah selatan masjid. Tubuh yang mulai lemah kurebahkan di atas ambal yang sudah kusam. Sebelum mata kupejamkan, aku sempatkan menoleh ke arah jam di dinding kantor. Jarum panjang pada jam berbentuk bulat itu menunjuk pada angka 2 lewat 15 menit. Malam sudah sangat larut.
Tiga hari kemudian, tulisan yang kutulis hingga larut malam itu dimuat di halaman opini Serambi Indonesia dengan judul William Nessen dan Nasib Aceh. Seingatku, itulah tulisan pertamaku yang dimuat saat Aceh berstatus Darurat Militer (DM). Banyak temanku kaget sekaligus kesal. “Jangan tulis lagi opini di koran. Kamu sembunyi saja,” begitu pesan mereka. Dua minggu sebelumnya, sekretariat kami Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) SALAM di PKM IAIN Ar Raniry baru saja digerebek. Beberapa teman kami yang ditangkap belum dilepaskan. Suasana Aceh ketika itu masih sangat mencekam.
Seperti sudah kusinggung pada tulisan Belajar Menjadi Seorang Penulis dan Hal-hal Menyedihkan Lainnya, setelah duduk di bangku kuliah, tulisan opiniku mulai diterbitkan pada halaman opini Serambi Indonesia, sebuah koran lokal di Aceh. Boleh dibilang aku sangat beruntung, karena tulisan kedua yang aku kirimkan ke redaksi koran itu langsung dimuat. Judulnya, Puasa dari Nafsu Jahat, sebuah tulisan yang mengajak TNI/Polri dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melakukan gencatan senjata menyambut bulan Ramadan, bulan suci bagi umat Islam.
Sebagai mahasiswa semester awal, aku memang lebih banyak menulis tema-tema perdamaian. Keterlibatanku dalam organisasi kemahasiswaan memberi banyak perspektif pada tema tulisan. Melalui tulisan, aku mengajak kelompok bertikai (TNI/Polri dan GAM) agar menghentikan aksi brutalnya kepada masyarakat. Di mana-mana, pada setiap konflik bersenjata selalu masyarakat-lah yang lebih banyak menjadi korban. Aku sadar bahwa sebuah tulisan tidaklah mampu menghentikan perang. Namun, minimal kita sudah melakukan salah satu tanggung-jawab sosial sebagai seorang mahasiswa.
Aku tak pernah menghitung berapa jumlah tulisanku bertema perdamaian yang dimuat di koran Serambi Indonesia (dan juga Tabloid Kontras, masih satu penerbit dengan Serambi Indonesia). Kesadaranku mengkliping tulisan ketika itu rendah sekali. Bahkan aku menganggap bahkan tulisan yang sudah dimuat di sebuah koran tidak akan hilang. Ketika itu aku tidak membayangkan bahwa Aceh akan dihempas tsunami seperti yang terjadi akhir Desember 2004 silam. Aku yakin, kapan pun butuh tulisan yang sudah diterbitkan itu, bisa aku cari di kantor media bersangkutan atau di perpustakaan. Namun, gempa dan tsunami Aceh telah menghancurkan banyak arsip penting, bahkan kantor Serambi Indonesia pun rata dengan tanah.
Hingga kini aku tidak menyimpan arsip tulisan yang pernah diterbitkan oleh koran. Biasanya aku hanya mencatat judul dan tanggal tulisanku diterbitkan. Bagiku, tulisan yang sudah terbit itu bukan lagi milikku, melainkan sudah menjadi milik publik. Jika tulisan itu cukup penting, biar publik saja yang menyimpannya. Sebuah sikap yang belakangan ini begitu kusesali.
Belakangan, setelah aku rutin mengirim tulisan ke media menggunakan surat elektronik, arsip tulisan itu tersimpan rapi di kotak surat keluar. Kalau tulisan itu tidak dimuat, masih bisa dibaca minimal diedit lagi untuk ditayangkan di blog pribadi.
Dulu, ketika tulisan masih diketik menggunakan mesin tik, dan dikirim ke alamat redaksi menggunakan jasa pos, kita tidak pernah tahu bagaimana nasib tulisan itu lagi jika tak diterbitkan oleh koran. Kalau kita melampirkan prangko balasan dalam amplop, barulah tulisan yang tak dimuat itu dikirim balik ke alamat kita. Namun, aku hampir tidak pernah menggunakan cara seperti ini. Alhasil, banyak tulisanku bernasib seperti anak yang hilang. Susah dicari di mana rimbanya.
Saking seringnya menulis tema-tema perdamaian, momen apa pun kemudian aku lihat dalam kerangka perdamaian. Saat Piala Dunia 2002, aku pernah menulis artikel yang menghubungkan permainan bola dengan nasib perdamaian Aceh. Aku tak ingat persis bagaimana judul tulisanku yang diterbitkan Serambi Indonesia yang mengaitkan sepakbola dengan damai Aceh. Kalau tidak salah, judulnya seperti Sepakbola dan Perdamaian Aceh. Kapan-kapan, aku akan mencari kembali tulisan-tulisanku yang pernah dimuat di koran. Generasi zaman now tidak akan percaya kita pernah menulis kalau tidak ada bukti kliping koran.
Ada satu tulisanku bertema perdamaian yang kutulis bertepatan dengan momentum bulan Muharam, bulan yang dijadikan awal penanggalan oleh umat Islam. Judulnya, 1 Muharram dan Isyarat Perdamaian, diterbitkan satu halaman penuh di Tabloid Kontras [sebenarnya tulisan ini pun aku kirim ke Serambi Indonesia]. Ide tulisan ini bahkan dikutip oleh penulis lain di Media Indonesia. Itulah pertama kalinya aku membaca namaku di koran nasional. Aku berbohong pada kalian kalau kubilang aku tidak senang dengan fakta ini.
**
Setelah tulisanku beberapa kali diterbitkan koran Serambi Indonesia, birahiku sebagai penulis kian bergairah dan menggelora. Aku kian berhasrat menembus koran nasional. Sasaranku adalah Harian Kompas. Aku hampir tiap hari membaca tulisan penulis top di halaman opini Kompas, dan aku membayangkan suatu ketika namaku juga ada di antara para penulis ini.
Secara diam-diam aku mulai rajin mengirimkan satu-dua tulisan setiap bulan ke koran Kompas. Tema tulisan yang kutulis masih sama: soal perdamaian Aceh. Tulisanku tidak ada yang dimuat. Tapi ada satu hal yang membuatku senang mengirim tulisan ke Kompas: staf redaksi opini koran Kompas selalu membalas email dari pengirim tulisan! Bisa dihitung dengan media tanah air yang serajin Kompas membalas email para penulisnya. Ada rasa senang membaca balasan email dari mereka, karena mereka memberikan penjelasan kenapa tulisan yang kita kirim tidak dimuat. Satu lagi, pada bagian akhir balasan email dari mereka, mereka kerap meminta kita agar terus bersedia menulis dan mengirim tulisan ke Kompas. Alamak! Penulis mana yang tidak melayang-layang ke awan membaca permintaan ini.
Ketika aku hijrah ke Jakarta, aku semakin rutin mengirimkan tulisan ke Kompas. Meskipun aku sudah tinggal di Jakarta, namun tulisan yang kukirim ke Kompas masih bertema perdamaian. Aku juga banyak berkonsultasi dengan penulis senior meminta tips menulis dari mereka bagaimana agar tulisan kita diterbitkan oleh Kompas. Misalnya, aku banyak minta saran pada Eep Saifullah Fattah, Indra J Piling, Agus Sudibyo bahkan kepada para redaktur koran seperti Budiman Tanuredjo (kini Pemimpin Redaksi Kompas) dan Rommy Fibri.
Kiat dan saran dari mereka sangat berguna bagi pengembangan diri dan peningkatan skil menulis. Mereka memberi tahu banyak penulis lain yang tidak langsung diterbitkan tulisannya saat pertama kali dikirimkan. Ada yang butuh waktu bertahun-tahun menulis sampai tulisan pertamanya diterbitkan oleh media; ada penulis yang tulisannya diterbitkan pada kiriman ke-20; bahkan ada penulis yang mengirimkan tulisan lebih dari 50 baru kemudian tulisannya diterbitkan oleh media.
Belajar pengalaman dari penulis lain, aku pun menjadi bersemangat mengirimkan tulisan ke Kompas. Aku tidak boleh menyerah. Aku belum menulis sebanyak mereka, dan dari segi usia aku pun masih muda, dan masih bisa mengasah kemampuan. Bahkan ada yang memberi saran agar aku tidak hanya mengirim tulisan ke Kompas, tapi juga ke media nasional yang lain. Mereka menyebutkan nama koran itu satu persatu, seperti Media Indonesia, Republika, Sinar Harapan dan Suara Pembaruan. [Sebenarnya, aku pun sudah pernah mengirimkan tulisan ke koran yang disebutkan itu]
Saran yang sangat masuk akal itu pun langsung kucoba. Seusai mengikuti seminar yang digelar oleh Komnas HAM di Jakarta, aku mulai menulis berkaitan dengan tema seminar. Aku menulis tentang visi partai politik terhadap terwujudnya perdamaian permanen di Aceh. Setelah rampung, tulisan itu saya kirim ke Sinar Harapan, sebuah koran sore di Jakarta. Tulisan ini saya kirimkan melalui surat elektronik. Aku sama sekali tidak mengingat lagi soal nasib tulisan ini, sampai beberapa hari kemudian aku mendapat pesan singkat dari seorang kawan. “Selamat ya, tulisanmu masuk Sinar Harapan.”
Bagai orang yang baru saja menang lotre, aku berjingkrak kegirangan. Aku bergegas ke kios terdekat yang menjual koran. Hal pertama yang kulakukan bukanlah membaca halaman depan seperti biasanya. Aku langsung membuka halaman opini. Dan, terpampanglah tulisan “Penyelesaian Aceh Pascapemilu”, di bawahnya tertulis dengan jelas nama saya sebagai penulisnya: Taufik Al Mubarak. Eureka!
Sebagai informasi, tulisan tersebut diterbitkan pada 14 April 2004 atau seminggu setelah pemilihan umum legislatif. Aku tidak tahu kenapa tulisan itu akhirnya diterbitkan, apakah karena momentumnya cocok dengan suasana pemilu, aku tidak tahu. Koran Sinar Harapan yang ada tulisanku selalu aku bawa dalam tas. Hal ini kulakukan untuk beberapa waktu lamanya, hingga rasa gembiraku berkurang. Aku sudah lebih dari cukup terlena karenanya.
Sembilan bulan lamanya aku terlena. Sepanjang waktu tersebut tidak ada tulisan lain yang diterbitkan Sinar Harapan, tidak juga di koran lain. Aku tampak murung dan tidak lagi bergairah. Menjelang tutup tahun, gempa dan tsunami meluluh-lantakkan Aceh. Dunia terkejut dan berduka. Doa dan bantuan tak henti-hentinya dikirim untuk para korban di Aceh. Sekali lagi, aku mencoba menulis tentang Aceh di koran. Awal Januari 2005, tulisanku berjudul Tantangan Aceh Pascatsunami diterbitkan oleh Sinar Harapan. Lalu, dua minggu berselang, tulisanku yang lain juga diterbitkan. Judulnya, Prospek Perundingan RI-GAM Pascatsunami. Aku berharap bahwa musibah tsunami mempercepat terwujudkan perdamaian di bumi Aceh.
Sebagai informasi, tulisan tentang perundingan ini dikutip oleh Farid Husein dalam bukunya, To See the Unseen. Aku melihat namaku pada bagian daftar pustaka dalam buku yang berisi tentang kesaksian orang dekat Jusuf Kalla itu terkait proses perdamaian antara Aceh dan Indonesia. Sebuah kebahagian yang berlipat ganda bagi anak Aceh yang sedang merintis karir sebagai penulis.
Bahkan, aku pun mulai rajin menulis di situs acehkita.com, sebuah situs berita yang dibangun oleh aktivis Aceh di Jakarta. Media online yang mencoba mewartakan Aceh dari kesaksian para korban ini segera menjadi satu-satunya rujukan tentang Aceh yang ingin mengetahui lebih dekat perkembangan Aceh, terutama setelah militer menutup Aceh dari dunia luar. Di acehkita.com tema tulisanku pun tidaklah jauh dari soal perdamaian.
**
Kalau dihitung, lebih kurang ada 50 artikel tentang Aceh yang aku kirimkan ke koran Kompas. Aku lebih banyak menerima penolakan. Alasan tulisanku ditolak pun bermacam-macam, dan salah satu yang paling sering diulang oleh staf redaksi opini Kompas adalah “kami kekurangan tempat untuk menerbitkan tulisan Anda”. Alasan lainnya, pembahasan terlalu klise, terlalu sumir dan masalah yang dibahas terlalu lokal. Intinya, tulisanku ditolak saudara-saudara.
Namun, kata “menyerah” sudah lama saya hapus dari kamus hidupku. Menerima penolakan berkali-kali tidaklah membuatku kapok dan patah arang. Aku justru semakin terobsesi menulis di Kompas. Kalian tahu bagaimana semangat orang yang selalu ditolak cintanya oleh seorang wanita? Dia menjadi semakin cinta.
Semakin sering tulisanku ditolak oleh Kompas, semakin rajin aku mengirim tulisan ke alamat redaksi mereka. Jika sebelumnya aku kirimkan dua tulisan dalam sebulan, kini aku tingkatkan lagi menjadi 4 tulisan. Aku berharap mereka hanya membaca namaku tiap kali membuka email redaksi. Namun, apa boleh buat, semakin banyak tulisan yang aku kirimkan justru semakin banyak pula yang ditolak oleh mereka.
Penantian panjang itu akhirnya tiba juga. Pada 12 Januari 2012, tulisan “Aceh dan Lahan Kosong” dimuat di halaman 7 di Harian Kompas. Aku tidak ingat lagi, tulisan ke berapa yang diterbitkan itu. Yang jelas, lebih 50 tulisan aku kirimkan ke Kompas, dan hanya satu yang diterbitkan. Aku tidak bilang ini sebuah pencapaian yang luar biasa. Namun, bagi kalian yang pernah membaca tulisan di halaman opini koran Kompas, melihat nama kita di antara para penulis bergelar profesor itu, sulit untuk mengatakan bahwa kita tidak bahagia. []
Sebuah perjalanan dalam rangka mengembangkan ide-ide yang sangat super, setiap perjuangan tentunya ada pengorbanan sehingga anda berada diantara penulis yang terkenal. Selamat dan sukses selalu @acehpungo. Kami selalu memberikan dukungan kepada anda
Terima kasih atas dukungannya...tidak mudah memang merintis karir sebagai penulis, apalagi ketika itu dunia belum secanggih sekarang.
Artikel yang bermanfaat, sukses selalu ya
Terima kasih sudah mampir...sukses juga buat dirimu
Kop panyang, sep hek ta bacahahahahah
Hahaha....neubaca unteuk malam mantong sira neu-eh kwkwkw
Lon akan jeut keu prof cit. Itu kalo dari oek saja
Bek that ka karat Oja...donja karap geu-gulong haha
Bak budieks..
krak bereh kira aju tulisan kompas nyan....
Hana bereh...krn lheuh nyan hana fokus le. Nyoe payah mulai ta serang lom kompas nyan
Bereh
Sengkiyu
wah sampe 2012 kisahnya, lanjutannya? 2018?
Kalau mood lagi bagus kita tulis lagi biar sampe 2018 (dan Steemit)
ok deh di tunggu kisah selanjutnya brother
Akhir Mei di tahun 2003. Di lantai dua kantor redaksi Tabloid Gema Baiturrahman, aku mengetik sesuatu di komputer redaksi media terbitan Masjid Raya Baiturrahman itu hingga larut malam...bereh that cara mulai tulisan
Nyan keu mameh kuah sagai bang, hana tatuoh cara mulai laen haha.
yang penting ada unsur iklan Gema he he
Tulisan ini membuat saya bertambah semangat mengirim opini, ke Serambi Indonesia dulu tapi..hehehe..
Btw, saya sekarang sedang di sekretariat Gema Baiturrahman, dan Pak @sayedhusen berada di meja yang abang duduki tahun 2003.
Saya tidak tahu apakah meja dan kursi yang dulu saya duduki itu masih ada. Soalnya, itu sudah lama sekali haha
Hahaha...
Benar juga tuh Bang..
Gema telah jadi laboratorium menulis bagi pemula
Nyoe ka long patis droe neuh penulis bang wkwkwkkk....
Jinoe adak hana soe pateh hana masalah le, awai hom. Hana perle pembuktian apapun le jinoe hai Ihan kwkwkwkw
Luar biasa, bang.
Sebenarnya saya ada beberapa kali kirim cerpen dan puisi di berbagai media daring maupun luring. Karena sudah ditolak delapan kali, saya langsung menyerah. 😂😂